Perempuan Sebagai Tokoh Hantu dalam Film Horror
16.09
Film
Horor yang Cenderung Mengadopsi Perempuan sebagai Tokoh Hantu
A. Pengantar
Film merupakan hasil
dari perkembangan industri hiburan. Film awalnya memiliki tujuan untuk
menyampaikan suatu permasalahan, intrik, isu, dan cara penyelesaiannya. Pada
dasarnya film bertujuan untuk menghibur dan mendidik para penonton. Namun,
seiring berjalannya waktu, industri perfilman mengalami banyak perubahan dan
kemajuan. Para sutradara berlomba untuk menyajikan suatu film dengan cerita
yang penuh dengan misteri, lika-liku, fantasi, dan efek film yang mampu
menyedot perhatian banyak orang. Dan ada beberapa jenis film yang hadir di
tengah masyarakat; Fantasi, Sci-Fantasi, Komedi, Misteri, Romansa, dan Horror.
Berkaitan dengan film
horror, belakangan ini semakin banyak film horror yang muncul di tengah-tengah
masyarakat, baik itu film horror dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
Sepertinya, sensasi yang dihasilkan film horror selalu berhasil merebut perhatian
banyak orang dari berbagai kalangan. Film horror bertujuan untuk memperlihatkan
kepada masyarakat keberadaan sisi lain dari dunia beserta para penghuninya dan
perilaku mereka. Film horror cenderung mempertunjukkan sesuatu yang
menyeramkan, mengerikan, mencekam, penuh dengan teriakan, dan memiliki tujuan
untuk mamacu adrenalin dan menguji nyali para penontonnya.
Pada tahun 2013 lalu,
ada beberapa film horror yang dinobatkan sebagai film terseram pada tahun itu,
seperti; Insidious 2, Mama, The Conjuring,
Carrie, dan Evil Dead 2. Dari
kelima film tersebut, tiga diantaranya yang telah saya nonton, Insidious 2, Mama, The Conjuring,
menunjukkan sosok hantu utamanya adalah seorang perempuan. Hal ini sepertinya
sangat mengganggu pikiran saya. Bukan hanya dalam film-film tersebut, ada banyak
lagi film yang memperlihatkan perempuan sebagai sosok hantu, seperti; The Shutter, Twins, The Shock Labirinth, Hantu
Jeruk Purut, Penari Ronggeng, Kultilanak, Jelangkung, Hantu Ambulance, dll.
Tetapi bukan hanya dalam
perfilman, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya kehidupan rakyat
Indonesia, kebanyakan cerita-cerita maupun mitos-mitos horror yang beredar mendefenisikan
tokoh negatif seperti hantu dan siluman, memiliki wujud yang mirip dengan
perempuan. Mungkin asumsi ini pulalah, yang menghantarkan banyak film horror
untuk cenderung menggambarkan hantu dalam sosok perempuan. Asumsi ini dapat
memicu sebuah ketakutan dari masyarakat awam terhadap kaum perempuan, dan
berakhir dengan kebencian.
Hal yang demikian dapat
dinamakan sebagai misogini. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, misogini
diartikan sebagai ‘orang yang membenci wanita’, atau ‘kebencian terhadap
perempuan’. Istilah itu dapat mendukung fakta film-film horror yang menjadikan
sosok perempuan, sebagai sosok yang negatif, jahat, merasuki, dan mengahantui.
Dan biasanya, pemeran perempuan dalam film horror cenderung bersifat lemah,
penakut, dan mudah dirasuki, sedangkan laki-laki akan menjadi penolong, dan
berani menghadapi resiko. Hal yang demikian, secara tidak langsung telah
menyampaikan kepada masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih lemah
dari laki-laki.
B.
Analisa
Pada gelombang ketiga
feminis, muncullah istilah Feminisme Postmoderen. Feminisme postmodern memiliki
pemikiran bahwa perempuan telah dipandang sebagai ‘yang lain’. Perempuan
mengalami alienasi yang disebabkan oleh cara berada, berpikir, dan bahasa
perempuan yang tidak memungkinkan terjadinya ketebukaan, pluralitas, dan diversifikasi.
Kelompok feminisme postmoderen menggali persoalan alienasi perempuan secara
seksual, psikologis, dan sastra, dengan bertumpu pada bahasa sebagai sebuah
sistem.
Seorang feminisme postmoderen bernama Helene
Cixous mengemukakan beberapa hal yang mejadi penyebab timbulnya misogini. Cixous
adalah seorang novelis yang menggunakan gaya menulis perempuan (pecriture feminime) dan gaya menulis
laki-laki (pecriture masculine).
Tulisan laki-laki, merupakan tulisan ‘phallogosentrik’. Ann Rosalind Jones
mengemukakan bahwa laki-laki kulit putih, kebangsaan Eropa, dan dari kelas
mapan, pernah berkata; “Saya melambangkan kesatuan, mempunyai kendali, dan
pusat universum”. Dengan cara berpikir yang demikian maskulin, maka muncullah
misogini dalam cara penulisan laki-laki. Hal ini terlihat dalam argumentasi
seperti; Matahari/Bulan, Aktif/Pasif, Siang/Malam, Tinggi/Rendah, dll.
Usut punya usut,
nyatanya hal ini dipicu oleh budaya patriarkhal yang mengasosiasikan laki-laki
sebagai pihak yang aktif, dan perempuan sebagai pihak yang pasif. Laki-laki
merupakan subyek dan perempuan adalah ‘yang lain’ (other) atau objek. Menurut Cixous, tulisan yang berkualitas
seharusnya memiliki gairah dan bukan karena adanya rasio atau reason.
Setelah melihat pernyataan
yang dikemukakan Helene Cixous, maka sangat memungkinkan terjadi diskriminasi
bersifat misoginis terhadap kaum perempuan. Laki-laki memandang dirinya sebagi
pusat dari perkembangan, dan memandang perempuan sebagai pihak lain. Dengan
adanya pemikiran yang demikian, maka akan timbul ketimpangan-ketimpangan pola
pikir laki-laki terhadap perempuan. Perempuan hanyalah bayang-bayang, pasif,
dan misterius. Maka mulailah bermunculan asumsi-asumsi yang mengkaitkan
perempuan dengan cerita-cerita misteri. Dan pola pikir ini merambah masuk
semakin dalam, hingga kepada bagian industri hiburan seperti perfilman.
Wanita cenderung
dijadikan sebagai lakon hantu yang menakutkan, misterius, haus darah, dan
membunuh. Dan sering kali, laki-laki mendapat peran sebagai penolong dan
pembasmi hantu-hantu tersebut. Secara tidak langsung, hal-hal demikian
menjadikan citra perempuan semakin terpojok. Perempuan dikenal sebagai makhluk
yang kejam, mendendam, penuh amarah, ditakuti, dan akan menjajah ketika diberi
kebebasan. Hal ini sangat tidak baik jika tertanam dalam pemahaman masyarakat
awam, sebagai dampak dari film-film maupun cerita-cerita dan mitos-mitos yang
beredar tersebut.
C.
Fokus Masalah
Setelah merenungkan
persoalan tersebut, ini merupakan sebuah masalah yang sangat memerlukan
perenungan. Mengapa kaum perempuan harus mendapat citra buruk berkaitan dengan dunia
gaib, hal yang negatif? Tak sedikit tempat yang ketika ditanyai berkenaan
dengan hal-hal gaib, maka sering sekali muncul dugaan adanya sosok ‘perempuan’
di sana, seperti; Kuntilanak, Kolong Wewe, Arwah Seorang Nenek, Siluman
Perempuan Ular, dll. Bahkan menurut kabar burung yang beredar, Lucifer (sang
malaikat pembelot) adalah seorang perempuan. Jikalau pun ada sosok laki-laki,
jumlahnya tak sebanyak perempuan.
Ini sangatlah
berbahaya. Hal demikian, dapat menumbuhkan ketakutan tersendiri di kalangan
masyarakat terhadap sosok perempuan. Dan akan memperkuat sistem patriarkhal di
tengah masyarakat.
Dan dalam dunia sastra
yang ditulis oleh laki-laki pun, perempuan sering sekali mendapat julukan,
label, dan pencitraan yang tidak sejajar dengan laki-laki. Misalnya saja;
Matahari (laki-laki) dan Bulan (perempuan).
Melihat dari julukan tersebut, kita sudah dapat melihat seperti apa
posisi yang diterima perempuan. Matahari adalah bintang raksasa yang memiliki
sinar sendiri. Manusia membutuhkan matahari untuk mengetahui awal dari hari dan
waktu untuk bekerja. Sedangkan bulan hanyalah satelit bumi yang tidak
memancarkan cahaya. Ia membutuhkan cahaya dari matahari untuk dapat bersinar.
Melalui hal ini, kita dapat memahami, bahwa pihak perempuan dianggap lemah dan
bergantung pada laki-laki.
D. Seharusnya
Alangkah lebih indah
jadinya, jika tercipta suasana harmonis antara kedua belah pihak; laki-laki dan
perempuan. Ada baiknya, jika budaya patriarkhal diperbincangankan kembali,
bukan untuk menjatuhkan martabat para laki-laki, tapi untuk mengingatkan
kembali tugas masing-masing pihak. Perempuan bukan untuk ditakuti apalagi
dibenci. Pria dan wanita diciptakan bukan untuk saling menindas dan
mendiskriminasi, tetapi untuk menjadi teman sekerja dan sepikir antara satu
dengan yang lain.
Setiap pihak
(pria-wanita), memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri. Pria dan wanita
bukanlah manusia yang sempurna penuh, ada banyak kekurangan di antara keduanya.
Namun ada pula keunggulan yang mampu menyeimbangkan kekurangan-kekurangan
tersebut.
Laki-laki tidak akan
terlahir tanpa seorang ibu, dan perempuan tidak akan terlahir tanpa seorang
ayah. Bagaimana mungkin, ditengah perbedaan yang bergitu mencolok dan rasa
butuh satu-sama lain, masih ada pihak yang tega mendiskriminasi pihak yang
lain? Ini bukanlah hal yang patut dicontoh apalagi menjadi budaya.
Laki-laki harus
mempergumulkan kembali pola pikirnya tentang kekuatan, kekuasaan, keunggulan,
pusat perkembangan, dan pengendali yang berada lebih tinggi di atas kaum
perempuan. Perempuan harus mempergumulkan kembali pola pikirnya tentang
kelemahan, dikuasai, pekerja dalam rumah, dan berada lebih rendah dari pihak
laki-laki.
Laki-laki dan perempuan
adalah makhluk yang sama-sama kuat dalam porsinya masing-masing. Keduanya
memiliki keterampilan yang sama dalam berbagai hal, namun memiliki pola pikir
yang unik dalam menyelesaikan dan mengerjakan berbagai hal tersebut.
Laki-laki dan perempuan
adalam simbol kesatuan yang utuh.
E. Refleksi Teologis
‘Aku
bukan Laki-laki, Aku bukan Perempuan. Aku adalah Ayah, Aku adalah Ibu’,
itulah pandangan saya terhadap Tuhan dan terhadap ciptaan-Nya yang paling hebat
bernama, manusia. Laki-laki dan perempuan, sama dihadapan Tuhan.
Saya memandang Tuhan
sebagai Pencipta yang agung, dan yang tak memandang jabatan, kekayaan,
kepintaran, apalagi status biologis seseorang. Tuhan adalah Ibu dan Ayah, bagi
saya. Dia tidak memihak pada laki-laki, atau pada perempuan. Ia adil kepada
siapa saja, dan tak pernah terlambat memberi pertolongan.
Terkadang saya
memanggil-Nya; Bapak, Ibu, Sobat, Yang Terkasih, Saudaraku, Saudariku. Tidak
ada batasan untuk mengenal Dia lebih dalam, dan Dia tidak membatasi diriNya
untuk dikenal oleh siapa pun.
Jika Tuhan yang
menciptakan manusia saja, tak memandang rupa, mengapa manusia yang diciptakan
itu malah memandang rupa? Bukankah, akan lebih indah jika kita saling menjaga,
melengkapi, menghormati, menolong, memahami, mengasihi, mencintai, satu dengan
yang lain. Mengapa harus berpikir, atas/bawah, besar/kecil, jika kita bisa
berpikir ‘sama/setara’.
Kristus mengasihi
setiap orang, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Kristus rela
berkorban untuk setiap orang, membayar keselamatan manusia dengan nyawaNya
sendiri. Sebagai seorang Kristen yang telah hidup dalam kasih Kristus, apakah
sulit mengasihi orang lain dengan kasih yang telah kita terima dan pelajari?
Kita telah menerima kasih, mengapa harus pelit dalam membagikannya. Kasihilah
siapa saja dengan kasih Kristus, tanpa memandang siapa dia.
0 komentar