Cerpen "Putriku, Silvya"
19.03
Putriku,
Silvya
“Sedang
menggambar apa sayang?” Andre mendekati Silvya yang tengah asyik menggoreskan
crayonnya di atas kertas. Ia mengelus lembut rambut Silvya.
“Ini,”
Silvya menunjukkan gambarnya. Sebuah rumah, dan ada empat orang yang berdiri di
depan rumah itu. Tiga orang saling bergandengan tangan, dan satu lagi terpisah
dari mereka.
“Wauu!!
Bagus sekali! Ini gambar apa sayang?”
“Ini
aku, Papa, Mama,” ia menunjuk satu-persatu gambar itu.
“Lalu
ini siapa?” Andre menunjuk gambar seseorang yang terpisah itu.
“Itu
seseorang yang belum aku temui.” Ia tersenyum lebar.
“Kekasih
kamu di masa depan?”
“Bukan.
Seorang paman yang membutuhkan kasih sayang.”
Andre
tersenyum, “kamu putri papa yang luar biasa!” Ia memeluk Silvya.
“Aku
sayang Papa dan Mama!” Ia tertawa.
~
~ ~
“Ayah.”
Silvya berdiri di taman itu, dan tersenyum.
Andre terbangun dari
mimpinya. Ini kali kedua ia bermimpi yang sama. Disingkapnya selimut dan turun
dari ranjang. Ia menyalakan lampu tidur di meja, dan sinarnya segera menerangi
sebuah pigura yang terletak di sana. Ada satu kenangan yang terabadikan dalam
pigura itu. Begitu manis. Begitu menyentuh. Moment ketika Ia dan istrinya
mencium sisi pipi Silvya, pada ulang tahunnya yang ke 10.
* * *
“Selamat siang Jendral!”
seru seorang Polisi dengan suara tegas, ketika mobil Andre masuk ke dalam
gerbang kantor kepolisian.
Andre seorang polisi.
Jendral. Selama bekerja, ia meraih banyak penghargaan atas prestasi dan pengabdiannya
terhadap masyarakat. Jujur, adalah mottonya. Keadilan, adalah janjinya.
Melindungi, adalah sumpahnya. Sudah banyak kejahatan yang ia tangani. Entah
sudah berapa banyak penjahat yang ia tangkap. Tak tanggung-tanggung, ia juga
pernah meringkus beberapa anggota pemerintah yang tertangkap basah berpesta
ganja, juga nama sejejeran kalangan artis. Namanya sangat dikenal di dunia
kepolisian. Ia sangat disegani dan dihormati oleh para polisi. Dan ia juga
sangat ditakuti dan dibenci di kalangan penjahat. Namanya, bukan lagi hal yang
baru, namun tabu untuk disebut sembarangan.
“Pak, kami menemukan
kecurigaan adanya komplotan teroris yang bersarang di desa Baynura. Para
anggotanya adalah buron dan selalu berhasil lolos. Mereka semua merupakan
tersangka pembunuhan berencana, penyeludup narkotika, penjualan organ, dan
pelaku pemboman.”
Andre diam sejenak.
Dagunya berpangku pada topangan tangan kanannya. Hal yang selalu ia lakukan
ketika sedang berpikir. Dan hasil dari pikirannya, selalu mengejutkan.
“Itu hanya jebakan.
Mereka adalah keparat-keparat dunia mafia. Tidak mungkin mereka akan begitu
ceroboh untuk mengambil sarang. Selidiki tiga desa di sekitar desa itu. Aku
yakin, salah satunya pasti adalah sarang mereka. Kirim para mata-mata dan
penyamar terbaik! Aku tidak mau
mereka lolos lagi! Bubar!” Ia
mengakhiri rapat malam itu.
“Siap, laksanakan,
Pak!”
Kali
ini, kau tidak akan lolos!
Andre masuk ke
mobilnya, dan menutar stir menuju rumah. Pukul delapan, ia telah tiba di
kediamannya, disambut oleh wanita terhebat dalam hidupnya. Amanda, istri sekaligus
ibu baginya.
“Sudah pulang, sayang?”
Amanda mencium dahi Andre dan mengambil tas kerja itu dari tangan Andre.
“Ya. Terima kasih,
sayang.” Ia tersenyum.
Amanda berjalan menuju
dapur. Andre mengikuti dari belakang, memperhatikan jalan istrinya yang sedikit
timpang. Kaki kiri itu. Ia-lah
Jendral yang sesungguhnya.
~
~ ~
Tiga tahun lalu. 02 Mei
2011.
Di taman kesukaan
Silvya.
“Happy
Birthday Silvya, Happy Birthday Silvya, Happy Bithday, Happy Birthday, Happy
Birthday Silvya!”
Andre, Amanda, dan para
tamu undangan lainnya, menyanyikan lagu ulang tahun untuk putri kesayangan
mereka, Silvya. Usianya 15 tahun. Dan sebentar lagi ia akan mengenakan seragam
putih abu-abu. Sudah lama ia memimpikan hal itu.
Silvya mendekatkan kepalanya
pada kue tart. Menarik nafas dan bersiap untuk meniup.
“Eitt!” Seru Ibunya. “Berdoa dulu dan bikin permohonan!”
“Iya,” ia tersenyum.
Kemudian menyatukan ke sepuluh jarinya. Memejamkan mata dan berdoa.
Ia membuka mata.
“Tiup lilinnya! Tiup
lilinya! Tiup lilinnya!” Sorak para tamu.
Silvya menarik nafas
panjang dan meniup nyala lima belas batang lilin itu. Semuanya bertepuk tangan
dan bersorak riuh.
Tapi tiba-tiba sebuah
bola basket bergelinding ke arah mereka. Dan,, Duuaarrrrr!!!
Sebuah bom meledak dan membunuh
beberapa orang. Menciderai beberapa lainnya, termasuk Amanda. Kaki kirinya
melepuh. Dan,, Dor!! Dor!! Dor!!
Seseorang menembak dari
kejauhan. Membunuh dua orang komandan, dan seorang anak perempuan. Silvya.
“Silvya!” Andre berlari
mendapatkan putrinya. Mengangkat kepala gadis itu. Darah mengalir deras dari
dadanya. Jantungnya memakan peluru itu. Ia tersedak darah.
“Silvya! Jangan takut!
Papa di sini! Kamu akan baik-baik saja, sayang!”
Silvya tersenyum. Ia
mengangkat tangan kanannya dengan sisa tenaga yang ada, mengusap lembut pipi
ayahnya. Kemudian tangan itu terjatuh ke tanah. Ia meninggalkan segala
kesakitan itu.
“Tidak! Bangun sayang!
Silvya!!!” Ia histeris.
“Andre,,” Amanda
memanggilnya.
Andre segera tersadar.
Ia meletakkan kepala Silvya. Meraih senjatanya dari sabuk. Dan lincah
menyelidik segala sisi. Emosinya membara.
“Semua merunduk!”
teriaknya.
Dorr!!
Sebuah
peluru menyerang. Tapi Andre berhasil menghindar. Ia menemukan asal datangnya
peluru itu, dan tanpa ragu menembak.
Dorr!!
Seorang kriminal segera jatuh berdebam ke tanah. Tewas.
Amanda melihat ujung
senapan lain di atas sebuah pohon. Berada jauh dari belakang Andre. Bersiap
menembak.
“Andre!” Amanda bangkit
berdiri, merampas pistol itu dari tangan Andre.
Doorr!
Dua
peluru beradu. Dorr! Peluru lain
menyusul secepat kilat. Kriminal itu jatuh dari atas pohon. Sekarat.
Amanda jatuh ke tanah.
Ia melihat tubuh putrinya yang kaku di sana. Ia menyeret tubuhnya mendekati
Silvya.
“Silvya?” Ia mengusap
pipinya. “Silvya?!” Ia mulai mengguncang wajahnya. “Silvya!!” Ia mengangkat kepalanya. “Siilvyaa!!” Ia tahu, telah kehilangan putrinya.
“Amanda..” Andre
meranggkul bahu Amanda.
Beberapa saat kemudian,
puluhan polisi datang ke tempat itu. Mengamankan lokasi, menyelamatkan para
korban, menyeret tersangka. Orang-orang mengerumini tempat itu. Amanda dibawa
ke dalam ambulance. Andre mengikuti
para perawat membawa tubuh putrinya. Sebelum masuk ke ambulance, ia melihat seseorang yang terlihat aneh. Berdiri di
belakang kerumunan orang banyak itu. Mengenakan baju dan celana hitam, memegang
beberapa tali balon udara. Kemudian melepas balon-balon itu, dan menyunggingkan
senyum menjijikkan. Andre segera berlari mengejar maniak itu. Menembus
kerumunan orang. Tapi sayang, ia kehilangan jejak.
~
~ ~
“Kamu sudah makan,
sayang?” Amanda bertanya. “Sayang.” Andre tampak menghayal. “Pa,” ucapnya
sedikit lebih keras.
“Ya, eh, belum! Hahaha!” Ia kembali dari kenangan pilu masa silamnya.
“Ayo mandi dulu.
Selesai itu, kita makan malam.”
“Ya.”
Selesai mandi. Mereka duduk
di meja makan itu dan menyantap makan malam.
“Apa yang mengganggu
pikiranmu?” Amanda bertanya setelah selesai makan.
“Tidak apa-apa.”
Amanda menghela nafas.
“Aku merindukan gadis kita.”
Andre tersenyum. Kemudian
wajahnya berubah serius.
“Kami berhasil
menemukan dugaan lokasi para buron. Mafia-mafia papan atas. Aku tak sabar ingin
melihat wajah-wajah mereka. Mungkin iblis
itu ada bersama mereka.”
Hening sejenak..
“Andre. Berjanjilah,
kamu akan pulang. Berjanjilah kamu akan menangkap laki-laki itu dalam keadaan
hidup.”
“Kenapa?!” Suaranya
sedikit keras. “Dia yang mem-“ Ia tak melanjutkan perkataan itu. “Tidak ada
hukuman yang lebih pantas diterimanya, selain kematian!”
“Untuk kali ini. Hanya
kali ini saja. Aku mohon, tangkap dia hidup-hidup.” Amanda menggenggam kedua
tangan Andre. Andre tak mengatakan apa pun. Hanya bingung. Dan masih berduka.
*
* *
“Pak, kami berhasil
menemukan lokasi mereka. Desa Daron. Desa ketiga setelah desa Baynura. Kita
harus segera menyergap tempat itu, Pak, sebelum mereka berpindah sarang lagi.”
“Ya. Kita akan
melakukan penyerangan, besok. Tengah malam. Ketika mereka berganti posisi jaga.
Kita hanya punya waktu sepuluh menit. Siapkan semua pasukan. Kita kepung ke
empat desa itu. Perhatikan tanah di desa-desa itu, karena kemungkinan mereka
menggali lubang untuk jalan meloloskan diri. Hari ini juga, kita harus bergerak
menyelidikinya. Lakukan secara tersembunyi dan serapi mungkin. Kita akan
bekerjasama dengan para tentara.”
“Siap, laksanakan,
Pak!”
“Besok, jam dua pagi,
kita berkumpul kembali untuk mempersiapkan strategi penyergapan. Bubar!”
~
~ ~
Pukul dua pagi.
Setibanya di kantor,
Andre dan seluruh pasukannya berkumpul di aula pertemuan. Ratusan anggota
kepolisian dan tentara berkumpul di sana lengkap dengan senjata mereka.
“Ini penyerangan yang
membutuhkan strategi dan kelihaian. Kita akan memasuki sarang para penjahat
kelas kakap. Perlengkapi diri dengan pertahanan dan perlindungan. Aku tidak mau
membawa mayat ke tempat ini, selain mayat para kriminal itu! Begini
rencananya.”
Rencana penyerangan dan
penanggkapan disusun sebaik mungkin. Berbagai kemungkinan telah diketahui dan
cara penanganannya. Seluruh pasukan pengamanan itu telah mencapai kesepakatan.
Mereka akan menyerang tepat tengah malam. Beberapa petugas pergi ke desa-desa
itu, mengamati dan menyelidiki. Beberapa lagi menyamar untuk masuk dan
berkomunikasi dengan beberapa kriminal. Para penembak jitu sudah bersiap di
tempatnya. Yang lain, memasangi senjata bawah tanah. Sisanya bersiap untuk
berperang.
Pukul 10.00.
“Kita berangkat!” seru
Andre.
“Siap, laksanakan
tugas!” Gemuruh seluruh pasukan itu.
Mereka masuk ke dalam
kendaraan. Melaju cepat menuju lokasi. Andre meremas ujung gagang senjatanya.
Ia akan menghabisi semua iblis itu tanpa ampun. Darah mereka akan membayar
jerit tangis para korban tak berdosa yang tinggal di dalam tanah. Dan lagi,
putrinya, orang itu akan meratapi
nasibnya di api abadi, geramnya.
Pukul 11.00.
“Kita sudah di lokasi,
Pak!”
“Baik, segera
berpencar. Siaga di setiap titik yang telah ditentukan. Tunggu aba-aba! Jalan!”
Mereka semua berpencar
dengan cepat, lihai. Meringkuk di bawah rerumputan. Memanjat pohon-pohon.
Bersembunyi di balik gundukan-gundukan tanah. Mengokang senjata. Membidik. Sang
Jendral berada di garis pertahanan paling depan. Maut bukan lagi hal yang perlu
ditakuti.
Mereka sudah bersiap di
tempat masing-masing. Menunggu aba-aba. Hening. Suara nyanyian jangkrik menyempurnakan
penyamaran para pejuang itu dalam persembunyian mereka. Titik-titik kecil air
hujan jatuh ke tanah. Mengurangi gerah dari panasnya hati yang membara. Sergap! perintah itu yang mereka
tunggu-tunggu.
00.00.
Dua orang yang berjaga
di depan rumah itu masuk ke dalam.
“Sergap!” Perintah
Andre.
Semua pasukan itu
bergerak mengepung rumah bercat kuning kusam itu. Mereka berlari mendekati
rumah itu dengan gerakan hati-hati.
“Masuk!”
Pasukan depan mendobrak
pintu. Terlihat 5 orang kriminal sedang membungkus pil-pil ekstasi.
“Angkat tangan!”
Petugas-petugas itu langsung menyerang tanpa ampun dan memborgol.
“Periksa bawah tanah! Tembak
siapa saja yang melarikan diri!” Perintah Andre.
Mereka masuk ke dapur.
Melompat-lompat di semua sisi lantai. Andre masuk ke salah satu kamar.
Mengetuk-ngetuk lantai dengan ujung senapannya.
Tak!
Tak! Tak! Ada ruang kosong di bawah kakinya.
“Beberapa ke sini!
Bantu aku memecahkan lantai ini!”
Pasukan itu segera
datang. Menghancurkan keramik bagian atas. Menarik susunan papan yang ada di
bawahnya. Dan terlihatlah susunan anak tangga di sana. Andre yang pertama
sekali turun. Cahaya lampu di bawah sana remang-remang. Dan ketika tiba di
dasarnya, ia menemukan pemandangan yang sangat mengerikan.
Ada begitu banyak
tumpukan karung daun ganja. Beberapa toples berisi organ mata. Ada banyak
alat-alat bedah. Di bagian depan ruangan, ada sebuah meja dan kursi putar mewah
yang membelakangi meja itu. Kursi itu berputar perlahan, memperlihatkan sosok
seseorang. Si maniak. Andre tak akan pernah melupakan wajahnya.
“Kau!” Andre segera
membidik senjatanya. “Menyerahlah! Kalian sudah tamat!”
“Ternyata ingatanmu
sangat kuat. Kupikir kau sudah melupakanku. Hahahahaha!!
Aku suka perasaan terdesak seperti ini. Rasanya sangat menyenangkan ketika
jantungku berdebar kencang dan hampir melompat keluar dari mulutku!” Ia meraih
sesuatu dari bawah dan dengan cepat mengeluarkan tangannya. “Matilah!”
Dor!
Peluru pertama mengenai bahu kiri Andre. Dorr!
*Andre, berjanjilah. Bawa orang itu hidup-hidup.* Dor! Tembakan kedua dan
ketiga, melubangi tangan dan bahu kanan maniak itu.
“Tangkap!” Seru Andre.
Mereka menyergap maniak
itu, memborgol tangannya, dan menyeretnya keluar tanpa ampun. Darah mengalir
dari bahu kiri Andre. Beruntung ia memakai rompi anti peluru, sehingga peluru
itu tak menembus terlalu dalam.
Ia berdiri sejenak di
sana. Air matanya mengalir. Ia kembali teringat pada putrinya, Silvya. Kematian
maniak itu tidak akan mengubah keadaan. Setelah itu ia naik ke atas dan keluar
dari rumah itu. Mereka membawa semua buronan itu ke markas, beberapa sudah
menjadi mayat.
~ ~ ~
Pagi. Bel di pintu
berbunyi. Amanda bergegas melompat turun dari tempat tidur dan berlari menuju
pintu. Ia membukanya.
“Andre!” Amanda segera
merangkul suaminya. Ia tak dapat menahan air mata.
“Kenapa kamu menangis?
Aku sudah berjanji akan pulang, kan.” Andre membawa istrinya duduk di sofa.
Mencium dahinya. “Kami berhasil.”
“Bagaimana dengan orang
itu?”
“Ada di balik jeruji.”
“Andre, aku ingin
menemuinya. Ada sesuatu yang ingin aku berikan untuknya. Bukan dariku, tapi
dari putri kita, Silvya. Mari, aku ingin menunjukkannya padamu.”
Mereka berdua berjalan
menuju kamar Silvya. Amanda membuka laci meja belajar Silvya, dan mengambil
sebuah kotak berwana merah muda dari sana.
“Silvya, sepertinya
sudah tahu kalau ia akan pergi.”
Amanda membuka kotak
itu. Mengeluarkan isinya. Hanya sebuah gambar crayon. Itu gambar yang pernah
dibuat Silvya ketika berumur tujuh tahun. Gambar sebuah rumah dan empat orang.
Tiga orang bergandengan dan satu yang terpisah. Ada juga sebungkus plester luka,
dan selembar surat kecil. Isinya,
“Untuk
Paman yang belum sempat kutemui. Aku harap kita bisa menjadi teman suatu hari
nanti. Semoga plester ini dapat menyembuhkan luka di kulit Paman, dan luka di
hati Paman. Salam manis, Silvya.”
Andre tak kuasa menahan
air matanya ketika membaca tulisan putrinya itu. Kini ia benar-benar siap untuk
merelakan dan memaafkan kejadian itu. Ia bangga menjadi ayah dari seorang anak
perempuan yang hebat. Silvya.
Esok pagi, mereka
berdua bergegas pergi ke penjara. Mengunjungi sel pria itu. Morze, nama
aslinya. Pria itu meringkuk di sudut ruangan.
“Tuan Morze,” panggil
Amanda.
Morze menoleh kepada
mereka berdua. Ia menatap penuh kebencian.
“Kami membawakan
sesuatu untukmu. Ini dari mendiang putri kami, Silvya,” lanjut Amanda.
Air muka Morze segera
berubah. Ia mulai berdiri, dan berjalan mendekati Amanda dan Andre. Amanda
menyelipkan kotak merah muda itu melalu celah jeruji. Dengan tangan gemetar
karena luka tembakan, Morze menerima kotak itu.
Ia membukanya dan
mengambil isinya. Ia mengamati gambar crayon yang dibuat oleh Silvya, kemudian
membaca surat sederhana yang ditulis oleh gadis itu. Dan saat itu juga, kakinya
bergetar. Ia terduduk di lantai yang dingin. Pipinya basah karena air mata.
Dipeluknya erat gambar dan surat itu. Tangisnya pecah.
“Putri kami sangat
mengasihimu. Ia sudah bertemu denganmu, bahkan sebelum kamu bertemu dengan
dia,” kata Andre.
“Ma.. maaf.. Maafkan
aku! Maafkan aku!!”
The End
Puspita Sandra Dewi
22 April 2014
0 komentar