Legenda Pohon Enau

00.22

 
 Legenda Pohon Enau
(Cerita Rakyat dari Tanah Karo)
| Posted and Renew by: P. Sandra D. |
 
 
Tumbuhan enau atau aren adalah tumbuhan yang dapat menghasilkan banyak hal. Hal ini membuatnya populer sebagai tanaman serba-guna setelah tumbuhan kelapa. Salah satu hasil yang terkenal dari pohon adalah tuak (nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi masyarakat Batak di Sumatera Utara.
 
Dalam tradisi orang Batak, tuak juga dipergunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu (seperti menanam tanaman) dan manulangi (menyulangi). Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu yang telah meninggal dunia. Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. 
 
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kasih sayang si Beru kepada abangnya yang bernama Tare Iluh. Hingga suatu waktu si Tare Iluh dipasung oleh penduduk suatu negri. Beru Sibou ingin menolong abngnya, tapi bagaimana caranya?
 
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Anaknya yang pertama seorang laki-laki yang diberi nama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan yang diberi nama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
 
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istrilah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari harus bekerja keras, akhirnya wanita itu pun jatuh sakit dan meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya si Beru yang masih kecil akhirnya menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibiknya, adik perempuan dari ayah mereka.
 
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Tare Iluh sudah mulai berpikir secara dewasa. Dan ia memutuskan untuk pergi merantau mencari uang dengan hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
 
“Adikku, Beru!” demikian Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, bang?!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibik. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat kamu?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibik. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemanimu dan bibik di sini.” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, bang! Tapi, abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil!” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.
 
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibik dan adiknya, Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa seperti kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukan abangnya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu saat pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
 
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga adiknya Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Berhari-hari Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyeberangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, Beru Sibou bertemu dengan seorang kakek tua.
 
“Selamat sore, kek!” tanya Beru.
“Sore, cucuku! Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang. Apakah kakek tahu di mana negeri itu?”
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya.”
 
Setelah menyampaikan sarannya, sang kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskan abangnya.
 
Sudah berjam-jam Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
 
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dengan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku untuk dimanfaatkan bagi kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
 
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Air matanya menjelma menjadi nira (tuak) yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
 
Suatu hari, jelmaan Beru Sibou bertemu dengan seseorang, dan ia menceritakan tentang abangnya Tare Iluh yang dipasung dan pengorbanannya, agar abangnya dilepaskan. Ternyata orang itu adalah penduduk dari negri tempat abangnya dipasung. Setelah orang itu bercerita kepada semua penduduk di negrinya, akhirnya Tare Illuh dibebaskan.
 
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo masih meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu menyanyikan lagu enau setiap kali mereka ingin menyadap nira.
 
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antaranya adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta mengetahui akibat buruk dari suka bermain judi. Sifat tenggang rasa ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi nilai tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images