Cerpen "Lose Memory"

00.38

 
Kisah ini sebenarnya terlalu panjang untuk diceritakan, dan terlalu sakit untuk dikenang kembali.
Siang itu aku menunggu kedatangan kekasihku Ray direstoran yang biasa kami datangi. Aku duduk ditempat yang biasa kami duduki, tepatnya disamping kaca putih berukuran kira-kira 4x3 meter dan tak jauh dari pintu masuk, sehingga dari tempat dudukku aku bisa melihat pemandangan diluar dari dalam restoran.
Siang itu matahati bersinar agak terik, membuatku meneguk kembali lemon tea yang ada dihadapanku. Tak lama kemudian aku melihat seseorang yang sepertinya tidak asing bagiku tapi tentu saja dia bukan Ray. Tak kusangka orang itu berjalan menuju restoran dan masuk melalui pintu masuk dan duduk bersebrangan dari tempatku duduk, sehingga kami saling berhadapan.
Kulihat kembali baik-baik wajah yang sepertinya tidak asing bagiku itu. Ku putar kembali memori masa laluku dan akhirnya kutemukan identitas pria yang tak jauh dari hadapanku itu. Ternyata dia adalah Kevin, cinta pertamaku dan orang yang sudah kubuang dari memori kehidupanku. Detik itu juga kuputar ulang ingatanku untuk mengingat kembali kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan dengannya.
Bermula dari enam tahun yang lalu ketika aku berusia dua belas tahun dan duduk di bangku kelas 1 SMP. Saat itu sudah memasuki bulan November, latihan untuk menyambut perayaan natal sudah dimulai. Aku dengan dua orang temanku dan Kevin dengan dua orang temannya kebagian tugas untuk mengisi acara dengan tarian adat.
Saat itu aku dekat dengan seorang teman menariku, sebut saja namanya Reta dan kebetulan dia anak dari kakak mamanya Kevin, jadi mereka masih bersaudara dekat. Kebetulan saat itu dia berpasangan dengan Kevin, sedang aku dengan yang lainnya. Awalnya aku tidak memiliki rasa apapun dengannya tapi kami sering sekali adu mulut, begitu juga dengan Reta. Kami berdua tidak bisa akrab dengan Kevin.
Hingga suatu waktu kami bertukar pasangan, dan tak sengaja saat aku sedang menari aku melihat mata Kevin yang tajam, dan detik itu juga jantungku berdegub dengan kencang, pikiranku tak lagi konsentrasi membuat gerakannku jadi kacau. Saat itu juga pelatih menyuruh kami untuk istirahat sejenak.
Seperti biasa aku duduk berdua dengan Reta. Entah kenapa aku menceritakan hal itu kepada Reta. Tapi aku sangat terkejut ketika Reta menjawab, “Tapi kak, aku sudah terlebih dahulu merasakan hal itu terhadap Kevin. Meski kami terlihat tidak akrab, tapi sebenarnya aku sudah duluan menyukainya. Lagian dari segi posisi, aku yang lebih berhak mendapatkan Kevin. Maaf ya kak, bukan maksudku melarang kakak untuk menyukai Kevin hanya saja sebaiknya kakak mundur. Lagi pula aku dan dia sudah dijohkan.” Katanya sambil beranjak dari sampingku. Saat itu juga aku bagai disambar halilintar, aku tak tahu kata-kata apa yang tepat untuk mewakili perasaan yang saat itu sedang kuhadapi. Tapi yang jelas saat itu juga air mataku mengalir. Aku tak tahu apa penyebabnya, apakah karena perkataan Reta atau kerena rasa berkecil hati yang saat itu kuhadapi.

*   *  *

 
Sehabis perayaan natal, semua yang ikut mengisi acara natal termasuk kami diajak berlibur kesebuah pemandian alam. Masih teringat jelas diingatanku, saat itu aku sangat senang sekali karena bisa bermain dengan Kevin, meski bukan permainan yang asik tapi bisa dibilang seperti gaduh-gaduh kecil. Kami saling memersikkan air, saling mengejar dalam air. Bahkan dia sempat-sempat menarik tali braku saat aku hendak berenang untuk menjauh darinya.
Sepulang dari berlibur, aku begitu bahagia hatiku seperti berbunga-bunga. Aku tak tahu kata apa yang tepat untuk mewakili perasaan yang saat itu sedang kurasakan. Tapi entah kenapa setiap memori bahagia yang aku lalui bersamanya harus dibarengi juga dengan memori yang menyedihkan ataupun yang mengecewakan.
Siang itu Reta datang kerumahku, kebetulan sedang tidak ada orang dirumah jadi kami bisa lebih leluasa berbicara. Tapi entah kenapa Reta menyampaikan sesuatu padaku mengenai Kevin.
“Kak, tau nggak sih, semalam adalah malam yang paling menyenangkan bagiku?” Katanya sambil tersenyum-senyum.
“Menyenangkan?”
“Iya? Soalnya semalam aku berbincang-bincang dengan kak Kevin?”
“Oh ya? Apa-apa saja yang kalian bicarakan?”
“Banyak. Salah satunya soal siapa yang sedang disukai kak Kevin.”
“Terus dia bilang siapa?” Tanyaku ingin tahu.
“Sabar! Sabar dong kak! Pertama aku tanya sama dia apakah dia suka sama kakak.”
“Dia jawab apa?” Tanyaku berharap jawabannya adalah ‘Iya’.
“Dia jawab, ‘tidak’. Yang dia suka itu aku.”
Saat itu juga aku bagai ditimpa sesuatu yang sangat berat, hatiku terasa seperti ditikam puluhan pisau. Rasanya sangat sakit membuat nafasku serasa sesak sesaat. Rasanya air mataku mau tumpah, tapi aku mencoba menahannya.
“Reta. Bisa kita sambung pembicaraannya lain waktu? Kakak sedang tidak enak badan.”
“Oh! Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu, ya? Kakak istirahat saja.” Katanya sambil beranjak keluar dari rumah.
Sesegera mungkin aku menutup pintu rumah sessaat setelah ia keluar dari gerbang rumahku. Saat itu juga aku merasa benar-benar tak enak badan, dan segera aku masuk kedalam kamarku dan mengunci pintu. Kurebahkan tubuhku diatas tempat tidur sambil mengulang kembali perkataan Reta itu, dan tak sadar air mataku mengalir begitu saja.
(“ . . . Aneh. Kenapa aku harus menangisi seseorang yang baru kukenal beberapa saat saja. Padahal aku hanya menyukainya dan tidak lebih. Dan kenapa juga aku harus berharap pada seseorang yang tak menaruh harapan padaku?”) Ucapku dalam hati mencoba untuk membesarkan hatiku.

*   *   *

Minggu itu setelah aku pulang dari kebaktian minggu aku melihat papan pengumuman sensus warga gereja. Saat itu juga aku segera mencari nama Kevin. Setelah aku menemukannya, betepa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa Kevin memiliki tanggal kelahiran yang sama denganku. Ketika aku tengah serius memperhatikan hal itu, seseorang menepuk pundakku.
“Kak!” Ucapnya seraya menepuk pundakku.
“Hehhh! Kamu bikin kaget saja!” Ucapku pada Prety, yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri.
“Emang kakak lagi liatin apa sih?”
“Ini, tanggal kelahiran Kevin.” Ucapku sambil menunjuk pada tanggal itu.
“Memang ada apa dengan itu?”
Kuletakkan jari telunjukku pada tanggal kelahiran Kevin, lalu ku geser perlahan jariku menuju pada tanggal kelahiranku. Saat itu juga Prety sontak mengerti.
“Astaga! Kakak dan Kevin, punya tanggal kelahiran yang sama!” Ucapnya seakan percaya tak percaya.
“Iya. Tepatnya bisa dibilang persis sama. 17 September 1992.”
“Wahhhh! Kayaknya beneran jodoh ni, kak?!”
“Aku harap begitu...
 Kakak pulang duluan, ya?” Kataku ingin mengakhiri pembicaraan.
Segera aku meninggalkan papan pengumuman itu dan pergi meninggalkan Prety yang masih melihat papan pengumuman. Sambil berjalan kaki menuju rumahku yang tak jauh dari gereja, aku memikirkan kembali tanggal itu. Saat aku sedang memikirkannya, terlintas sesaat wajah Kevin dipikiranku, entah kenapa saat itu juga seperti aura panas merasuk kedalam tubuhku, jantungku berdenyut kencang. Langkahku terhenti sesaat, kulihat pepohonan tertiup angin ringan.
Tanpa pikir panjang, kulanjutkan kembali perjalananku menuju rumah. Setelah sampai dirumah, kulihat kedua orang tuaku dan kedua saudaraku sedang menungguku dimeja makan. Segera saja aku mengganti pakakianku dan menuju ruang makan untuk makan bersama keluargaku. Setelah selesai makan siang, aku pamit kepada kedua orang tuaku, untuk pergi kerumah sahabatku Rachel. Rachel adalah sahabatku sedari kecil, bahkan kami sudah seperti bersaudara.
Setelah menempuh perjalanan kaki kira-kira sepuluh menit, akhirnya aku sampai didepan rumahnya, dengan segera ia membukakan pintu dan mengajakku kekamarnya. Disana aku mulai bercerita tentang semua unek-unek dihatiku.
“Say, aku mau cerita ni.”
“Soal Kevin pastinya kan?”
“Iya.”
“Memang ada apa? Tapi tunggu dulu, kalau dlihat dari wajah kamu yang asem, pasti beritanya nggak enak!”
“Iya. Tadi sewaktu pulang gereja, tak sengaja aku melihat papan pengumuman sensus warga gereja. Dan disana kulihat kalau ternyata tanggal lahirku dan tanggal lahir Kevin itu sama.”
“Apa?! Sama?! Maksudnya sama-sama 17 September 1992?!”
“Iya.”
“Wahhh! Bahaya ni! Biasanya orang yang memiliki tanggal kelahiran yang sama, tidak akan pernah bisa akur, apalagi berjodoh. Bisa beda pendapat terus, bisa beranten mulu! Gak baik ini!”
“Tapi aku suka sekali padanya.”
“Tenang aja ya, sayang? Jodoh nggak kemana kok?! Biarkan saja semuanya berjalan seiring waktu. Biarkan waktu yang memberikan jawabannya sama kamu.”
“Iya, makasih ya?” Ucapku masih memasang wajah asam.
“Ya udah?! Dari pada kita suntuk mikirin jodoh, lebih baik kita nonton film horror. Kemarin aku baru beli banyak film horror. Gimana?!”
“Boleh! Boleh! Ayo kita nonton sekarang. Aku nggak sabar ingin menguji adrenalinku!” Kataku semangat, seraya melupakan hal tadi.

*   *   *

Lima tahun hampir berlalu, aku dan Rachel bertumbuh semakin dewasa. Tapi sayangnya aku dan Kevin tidak satu SMA, tapi rasa sukaku kini berubah menjadi rasa cinta yang dalam. Aku tak tahu mengapa aku bisa sangat mencintai seseorang yang sama sekali tidak pernah menaruh hatinya padaku. Tiap kali aku berusaha melupakannya, tiap kali itu juga aku semakin sulit melupakannya.
Saat itu pertengahan awal bulan November, sudah mulai mendekati Natal. Latihan untuk menyambut Natal sudah dimulai. Tapi entah kenapa, tiap rasa sakit yang kurasakan itu terjadi disaat mendekati Natal.
Kebetulan aku, Kevin, dan Prety serta lima teman kami yang lainnya kebagian tugas untuk mengisi acara dengan vokal group, dan seperti biasanya latihan dirumahku.
Kini hal yang menyakitkan hatiku, dimulai lagi dari sini. Aku dan Prety berteman baik. Tapi aku dan dia berbeda karakter, tidak seperti halnya aku dengan Rachel. Dia sangat agresif dan mudah bergaul dengan lawan jenisnya. Entah kenapa aku merasa, kian hari ia kian berusaha mendekati Kevin, padahal ia tahu kalau aku menyukai Kevin. Hingga akhirnya dipertengahan bulan November Kevin menyatakan cintanya pada Prety didepanku. Sontak aku bagai disengat listrik ribuan volt tak mampu berkata apapun, hanya bisa terdian dan terpatung melihat mereka berpeluk mesra. Dan ketika Prety menoleh kearahku, aku sama sekali tidak melihat raut penyesalan diwajahnya. Saat itu juga dendam amarah muncul dihatiku, tapi aku tak sampai hati meluapkannya.
Saat itu juga aku berpikir, kalau akulah wanita yang paling lemah. Aku tak pernah berani mengungkapkan perasaanku, karena aku terlalu menjaga harga diriku, terlalu egois dan berharap kalau dialah yang akan menyatakan perasaannya kepadaku.
Dan dari situ aku mulai berkomitmen (“Ketika perasaan itu singgah dihatiku, maka aku akan mengungkapkannya, tak peduli dia suka atau tidak, yang penting dia sudah mengetahui perasaanku. Ketika rasa itu hilang, hancur, atupun pergi, maka aku akan membuka hatiku untuk rasa yang baru.”)

*   *   *

Akhirnya, setelah tamat dari SMA, aku dan Rachel memutuskan untuk pergi kuliah diluar kota, sebelum aku dan Rachel berangkat, aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku pada kevin. Aku mengajaknya bertemu disebuah restoran kecil.
“Kevin... Sebenarnya...
 Sebenarnya aku sudah menyukaiku sejak 6 tahun yang lalu.” Ucapku dengan gugup.
“Lalu?”
“Aku ingin tahu bagaimana perasaan kamu padaku?”
“Jujur. Sebenarnya aku gak pernah punya rasa apapun terhadap kamu. Maaf ya?! Lagian aku sudah memiliki seseorang yang sangat kucintai.” Ucapnya tanpa basa-basi.
Saat mendengar jawabannya, entah kenapa dadaku terasa begitu sakit dan sesak, air mataku seakan mau meleleh, tapi berusaha menahannya, aku tak mau terlihat sebagai wanita yang lemah dihadapannya. Saat itu juga aku merasa kalu tubuhku menjadi kaku, dunia serasa sunyi dan senyap.
Untungnya Rachel yang memahami perasaanku, saat itu juga langsung menarik tanganku dan segera keluar dari restoran itu. Dan sejak dari itu aku bersumpah untuk melupakannya.
Dan berakhirlah sudah putaran memory yang pernah kubuang dari ingatanku. Saat itu juga jelaslah diingatanku siapa sosok yang ada tak jauh dari hadapanku itu. Rasa menyesal dan sakit kembali timbul dihatiku, untungnya Ray telah tiba dan saat itu juga kuajak Ray untuk pulang.
“Ray, kita pulang aja, yuk?” Ajakku dengan wajah ceria, mencoba menyembunyikan rasa amarah dihatiku.
“Lho? Kok pulang sih? Apa kita nggak makan dulu?”
“Tiba-tiba aku jadi pingin jalan-jalan sama kamu?”
“Jalan-jalan? Kamu ini permintaannya suka yang aneh-aneh, ya?”
“Ayolah? Gimana kalau kita piknik dipuncak?”
“Emmm? Boleh! Tapi kamu yang masak ya?!”
“Iya?!”
Aku segera berjalan keluar dari restoran sambil menggandeng tangan Ray. Dan ketika kami hendak menuju motor Ray, seseorang menarik tangan kiriku. Dengan segera aku dan Ray menoleh pada orang itu.
“Scarlet?! Apa kamu tidak mengenali aku?”
“Tidak, saya tidak kenal dengan kamu.” Ucapku dengan mimik yang tak meragukan.
“Scarlet, aku Kevin! Aku tahu kamu berpura-pura! Tolong maafkan aku, aku baru sadar kalau ternyata aku mencintai kamu?! Kembalilah padaku. Berikan aku kesempatan?!”
“Maaf teman. Tapi aku tak mengenal kamu.”
Kataku sambil menarik tanganku dari genggamannya, dan menarik Ray menuju motornya.
“Ayo, sayang?”
“Sayang, kamu kenal orang tadi?”
“Tidak?! Aku tak pernah mengenalnya.”

*     *     *

Original by: Puspita Sandra Dewi 
 
 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images