Cerpan 'Tuts' (Bagian 3 dan Coffee Break)
15.16
Bagian III
Pagi. Hari keenam.
Hari ini sepertinya
lebih parah dibanding hari kemarin. Cello merasa panas, dan tiba-tiba merasa
dingin. Kepalanya terasa begitu sakit. Dadanya terasa sesak, membuatnya agak
sulit bernafas. Dan semua tampak bergoyang. Ia tidak kuat berlama-lama di kamar
mandi. Dan sekujur tubuhnya terasa begitu letih, lemah. Ia sendiri tidak
memahami keadaannya.
Ia duduk sejenak di
sofa. Dari villa Mikha, melodi ‘Tuts V
and V’ mengalun lembut, menerobos tiap celah di rumah itu, hingga sampai ke
telinganya. Baru kali ini, ia mendengarkan lagu itu dimainkan oleh seseorang.
Rasanya begitu berbeda. Lebih menyentuh. Apa lagi, ketika yang memainkannya
adalah jemari sang maha cinta.
Melodi itu terasa
seperti suplemen yang menambah tenaga. Membangkitkan semangat dan memberi
sedikit kekuatan. Cello bangkit berdiri dan melangkah cepat menuju pintu villa
Mikha. Pintu sudah terbuka dan ia berdiri sejenak di sana. Memandangi lekat
maha cintanya.
Hidupnya akan berakhir
jika ia tak berhasil mendapatkan hati Mikha dan membawanya kembali. Namun, ia tak
berkuasa pula memaksanya. Ia tak ingin cinta itu ternodai oleh keserakahan dan
ketakutannya pada ajal.
“Pagi Mikha. Boleh
masuk?”
Mikha menoleh, dan
tersenyum, “pagi El. Ayo sini! Aku pingin kita memainkan lagu ini berdua!”
ucapnya polos.
Cello melangkah
perlahan dan duduk di samping Mikha. Ia melekatakkan jemarinya di atas piano.
“Ayo,” ajak Cello.
Kini jemari mereka
menari lincah di atas piano. Menghidupkan nada-nada indah yang lama
terbelenggu. Yang tak sempat dimainkan berdua oleh Venus dan Vero. Alunannya
merobek udara, bergerilya di dalam villa, mencari tiap celah untuk keluar. Membuat
pepohonan dan rerumputan seakan menari bersama.
Irama Cinta.
Dan, selesai.
Bersamaan dengan itu
juga, Cello sudah jatuh pingsan di pundak kanan Mikha. Mikha segera menoleh,
dan ia begitu terkejut melihat Cello sudah terpejam. Ia menyentuh pipi Cello,
dan tubuhnya terasa begitu dingin.
“El! El!” Ia
menepuk-nepuk pipi Cello.
Beruntung, pengurus
tamannya sudah datang. Ia meminta tolong pria itu memapah Cello ke kamarnya.
Mikha menyelimutinya, kemudian menyalakan penghangat ruangan. Ia menelepon
seorang dokter dan memintanya untuk datang. Kemudian ia duduk di dekat Cello,
dan menggenggam tangan kanannya.
₰ ₰
₰
Malam.
Cello mulai membuka
mata. Ruangan itu tampak samar dan sedikit berputar. Dilihatnya pula seorang gadis
duduk di dekatnya dan melihatnya dengan cemas. Ia mengenalinya.
“El?!”
“Mikha.” Suaranya
hampir tak terdengar.
“Tadi dokter sudah
memeriksa kamu. Dia bilang mungkin kamu kelelahan. Dia memberi obat untuk kamu
minun nanti.”
“Percuma. Obat apa pun
tidak akan bisa menyembuhkanku.”
“Kenapa ngomong
begitu?!”
“Karena aku tidak
sakit. Ini bukan tempatku. Dan aku tengah berada dalam satu permainan. Aku
hanya diberi waktu 7 kali senja. Dan besok, adalah senja terakhir.”
“El!! Aku tidak suka
dengan candaan kamu!”
“Aku tidak bercanda
Mik!” Ia bangkit duduk. “Apa kamu pikir kedatanganku ke tempat ini hanya sebuah
candaan? Apa kamu pikir lagu yang kamu kenal itu juga hanya sebuah candaan,
hanya suatu ketidaksengajaan? Kebetulan belaka?”
Mikha terdiam. Melihat
mata Cello. Ia mencoba mencari sesuatu di sana. Tetapi, sama sekali tidak ada
dusta tergambar di sana, seperti yang ia harapkan.
“Kamu bodoh El! Apa
kamu tidak takut mati!?” Suaranya sedikit meninggi. “Bagaimana jika kamu tidak
menemukan orang itu-”
“Aku sudah
menemukannya,” potong Cello. “Hanya saja, mungkin ia belum menemukanku di dalam
hatinya,” ia menatap lekat pada mata Mikha. “Aku tidak takut mati, jika memang
aku harus gagal. Yang terpenting, jangan sampai aku menodai cinta itu dengan
keegoisan dan nafsu untuk memilikinya. Itulah cinta berbalut kasih.”
“Apa orang yang kamu
maksud.. itu aku?”
Cello hanya mengangguk.
Mikha menunduk, menatap
kosong. Ia tak dapat berpikir, tak dapat pula menjawab.
“Kamu istirahat saja di
sini. Aku tidur di kamar tamu. Malam El.” Ia bangkit berdiri, dan melangkah
keluar dari kamar itu, tanpa mengucapkan kata-kata lain. Cello hanya diam,
memandangi Mikha hingga ia menghilang di balik pintu.
Hari itu, penuh dengan
keheningan.
₰ ₰
₰
Pagi ini tak seperti
biasanya. Ketika membuka mata, Mikha merasakan debaran jantungnya bergerak
cepat. Ada sunyi yang begitu pekat hadir di dekatnya. Ia duduk untuk sesaat di
atas tempat tidur, sembari mencoba mengingat-ngingat akan kejadian semalam. Ia
ingin pembicaraannya dengan Cello saat itu hanyalah sebuah mimpi. Bahkan ia
menginginkan, Cello hanyalah mimpi.
Tetapi sesuatu
membuatnya segera bangkit berdiri. ‘Hari ini’. Entah kenapa, tiba-tiba ia
begitu takut kehilangan Cello. Ia berlari menuju kamarnya. Dan dengan sigap
membuka pintu. Tetapi, kamar itu telah kosong, dan selimut yang dipakai Cello
telah terlipat rapi. Ia melihat ada sesuatu terletak di atas kasur. Ia
mendekatinya dan memungutnya. Itu setangkai bunga mawar putih dari kertas.
Bunga yang sama seperti yang diberikan Cello kepadanya pada perjumpaan pertama
mereka. Ada sebuah kertas yang diselipkan pada bunga itu. Mikha membukanya: ‘Awal dari perjumpaan. Akhir dari perpisahan’.
Mikha segera meletakkan
bunga dan kertas itu, dan berlari keluar villa. Ia berlari menyusuri jalan di
pagi yang masih dini itu. Mata dan kepalanya liar melihat ke segala arah,
mencari, dan mencari. Ia tidak tahu ke mana kaki itu akan menggiringnya. Yang
ia inginkan hanya terus berlari dan secepatnya menemukan Cello.
Entah sudah berapa lama
ia mencari, dan entah sudah berapa jauh ia berlari. Kini langkah-langkahnya
mulai melambat. Nafasnya memburu. Keringat mengucur di wajahnya. Setiap
tetesnya bertabuh seirama dengan rasa takutnya. Takut, ia tidak akan bertemu
lagi dengan Cello.
Beruntung sesuatu
melintas cepat di kepalanya, ketika ia melihat sekawanan anak muda yang akan
berangkat kuliah. Ia segera teringat kampus yang pernah ditunjukkan Cello
padanya. Tanpa berlama-lama, ia segera mengambil langkah lari cepat menuju
kampus itu. Tak peduli berapa jauh ia harus berbalik arah, yang terpenting ia
bisa menemukan Cello.
Sekarang ia sudah
berada di depan gerbang kampus. Gerbang itu terbuka. Ia yakin bahwa Cello telah
masuk ke dalamnya. Maka dengan langkah-langkah cepat ia masuk ke kampus itu.
Saat itu juga ia merasakan perubahan udara di sekitarnya. Lebih dingin
dibanding sesaat sebelum ia masuk. Tapi ia tidak peduli. Bahkan ketika melihat
beberapa burung Gagak bertengger di sebuah pohon tua yang sudah kering. Tempat
itu jauh lebih menyeramkan dari sebelumnya.
Kini ia sudah menapaki
anak-anak tangga. Lantai dua. Lantai tiga. Ia berjalan lurus, menuju ruangan
paling ujung. Debar jantungnya tidak seperti biasa. Debaran rasa takut dan
cinta bergerak, melangkah bersama. Ia sudah berdiri di depan pintu. Tangannya
memegang knob. Memutarnya perlahan. Dan membukanya dengan satu dorongan keras.
Pintu itu terbuka lebar. Udara berhembus keluar menyapu tubuhnya.
Dan ia menemukan
suasana yang lain. Keindahan sedang menjajah ruangan itu. Taburan kelopak bunga
mawar putih bertebaran di lantai. Jendela itu dibiarkan terbuka. Gorden putih
tipis yang bersih ditiup angin lembut. Dan cahaya mentari pagi sedang bertamu
di dalamnya. Yang terindah adalah, ia menemukan maha cinta tengah duduk di
sana.
Cello cukup terkejut
melihat kedatangan Mikha. Ia segera bangkit dari kursi piano itu.
“Mikha?”
Tanpa berkata-kata,
Mikha segera berlari ke dalam dan memeluk Cello dengan erat. Cello menyambut
pelukan itu. Kini dua jantung manusia itu bertabuh seirama. Bagaikan melodi-melodi
yang merangkai kidung cinta terindah.
“Bawa aku ke tempatmu,
El!”
“Tapi, Mik! Apa kamu
yakin? Aku tidak bisa membawa kamu dengan hati yang terpaksa!”
“Aku telah menemukan
kamu di hatiku.” Ia tidak berbohong. “Ayo kita mainkan lagu itu bersama. Dan
lagi, aku tidak mau mati di sini!”
“Ah! Iya!”
Mereka berdua duduk
berdampingan di kursi itu. Meletakkan tangan di atas tuts-tuts piano yang
tersisa. Melihat dan mengamatinya dengan seksama. Kesalahan kecil berakibat
kutuk.
“Awal hingga akhir.
Akhir hingga awal. Kamu mengingatnya ‘kan,
Mik?”
“Ya,” ia mengangguk
mantap.
DIMULAI
*
* *
_Awal hingga akhir_
Musik mengalun.
Terjadi sesuatu di
ruangan itu. Benda-benda di dalam sana bergetar. Beberapa benda keramik jatuh
dan pecah. Ada tiupan angin yang tak biasa mulai bergejolak di dalam sana,
membawa serta kelopak-kelopak bunga itu. Jendela terbuka lebar. Gorden itu
dijambak keluar. Perlahan muncul satu cahaya yang tak begitu silau. Menerangi
ruangan itu, bersamanya ruangan itu seakan berputar. Membawanya kembali kepada
keadaan beberapa tahun silam. Potongan-potongan kejadian mulai berjalan.
Sepasang muda-mudi
berdiri di dekat piano itu. Laki-laki itu memberi sebuah buku lagu kepada gadis
manis di depannya. “Itu adalah cinta,”
ucap laki-laki itu. Suatu senja gadis manis itu datang ke ruangan itu lagi. Ia
menunggu kekasihnya. Tiba-tiba pintu terbuka, “Ve? Itu kamu? Ve, jangan bercanda.” Yang muncul di sana bukanlah
orang yang dinantinya. Melainkan seseorang dengan mantel hitam bersimbah darah
dengan palu di tangannya. “Sedang apa
bapak di sini?” ia mengenali manusia berjiwa setan itu! Bersama sunyi,
gelap yang mencekam, dan halilintar yang menjilati langit, satu fenomena keji
terjadi di ruangan itu. Histeris yang tak berkesudahan. Gadis manis itu akan dibantai.
Tetapi ia tidak rela mati di tangan bajingan busuk itu. Dan ia memilih
satu-satunya jalan keluar yang ada di sana. Ia berdiri di atas jendela. Melihat
ke bawah.
Ketika hatinya telah
mantap, ia menoleh untuk terakhir kali, melihat dan merekam wajah monster itu.
Membawa kenangan tentangnnya dan kenangan tentang kekasihnya dalam satu
lompatan bebas. Tubuhnya mendarat telungkup di atas tanah yang basah. Jantung,
paru-paru, dan kepalanya, remuk seketika. Namun kenangan itu tidak bisa sirna,
nafas penuh amarah tidak akan padam, dan ia merasakan satu debaran terakhir
sebelum semuanya berakhir. Debaran itu bukan miliknya, tetapi milik seseorang
yang lain, di balik tanah itu.
*
* *
_Akhir hingga awal_
Musik mengalun.
Rentetan potongan
kejadian itu bergerak mudur dalam hitungan detik-detik yang cepat. Kini muncul
potongan lain. Seorang pria dan seorang laki-laki muda tengah berbicara serius
di dalam satu ruangan. Terlihat antara dosen dan muridnya.
“Ini
sama saja dengan penipuan besar-besaran, Pak! Saya tahu lagu itu bukan karangan
Bapak. Saya telah lebih dahulu menemukan lagu itu dalam tumpukan barang bekas
di gudang. Lagu itu karangan seorang siswi yang sudah lama meninggal, dan ia
belum sempat mempertunjukkan karyanya. Lagu itu milik, Sove!”
“Kau
tidak mengerti apa-apa, Venus!”
“Saya
mengerti, Bapak ingin sekali memiliki satu karya yang menjadi masterpiece.
Tetapi, keinginan itu telah membuat Bapak mabuk dan tidak sadar bahwa yang Bapak
lakukan ini salah! Karya agung tidak tercipta hanya melalui otak, tetapi ia
terlahir dari dalam hati dan perasaan!”
“Kau
hanya anak ingusan! Jadi tutup mulutmu!” Rendy, dosen ‘sang
plagiator’ itu keluar dari ruangan tersebut dengan rasa amarah, benci, dan
takut yang luar biasa.
Suatu senja Venus
sedang berada di ruang piano itu menunggu kekasihnya Vero, untuk menepati
janjinya memainkan lagu ‘Tuts V and V’
itu. Dan sebagai hadiah tepat di hari ulang tahun Vero. Tiba-tiba pintu
terbuka. “Vero, itu kamu?” tanyanya
dalam nada riang. Tetapi semuanya berubah ketika yang dilihatnya berdiri di
depan pintu itu bukanlah Vero melainkan manusia yang telah kesetanan, dipenuhi
arwah dendam, benci, dan nafsu membunuh yang membabi-buta. Tanpa banyak
berkata-kata, pria itu menyerang Venus berkali-kali dengan palu yang ada di
tangannya. Ia menyeret keluar tubuh Venus dan menjatuhkannya melalui anak-anak
tangga. Venus tidak berdaya melawan palu itu. Tubuhnya diseret dan digiring ke
tempat pembantaian terakhir.
Di belakang kampus,
sebuah lubang sempit yang tidak begitu dalam telah digali. Dengan pandangan
yang samar-samar, Venus melihat lubang itu, dan ia diseret masuk ke dalamnya.
Tubuhnya telentang menghadap langit senja yang mendung. Sampai akhirnya ia
merasakan gumpalan tanah dingin perlahan-lahan menyelimuti tubuhnya.
Seluruhnya.
Dan pada detik-detik
terakhir nafas yang tersisa. Ia merasakan ada sebuah tubuh yang jatuh tepat di
atasnya. Hujan membawa masuk aroma tubuh itu ke dalam tanah. Aroma parfum yang
begitu ia kenal. Aroma milik Vero. Di permukaan tanah itu, terbaring tubuh
kekasihnya. Debaran terakhir digunakannya untuk mengucapkan sesuatu dari hati
terdalam, “Aku mencintai kamu Vero.
Selamanya..”
Gadis
itu bisa merasakan debar jantung itu. Dibalik tanah itu, ada degub jantung
seorang manusia. Ia pernah hidup. Dicintai dan mencintai. Manusia itu adalah maha
cintanya. Venus.
* * *
BERAKHIR
Cello jatuh ke lantai,
tidak sadarkan diri. Tubuhnya semakin dingin. Mikha segera memangku kepalanya
dan mencoba membangunkannya. Ia semakin takut ketika melihat tubuh Cello
berubah menjadi uap dingin yang bersatu di udara dan terlihat semakin tipis.
Sampai akhirnya, satu
suara mengejutkan Mikha.
“Jangan khawatir,
Mikha. Cello hanya tertidur.” Itu Venus.
Mikha begitu terkejut
melihat dua orang muda-mudi datang berjalan mendekatinya. Ia baru saja melihat
wajah mereka dalam potongan-potongan kejadian itu. Dan melihat mereka berakhir
dengan mengenaskan. Tetapi yang dilihatnya kini hanya dua orang manusia yang
pernah hidup dengan aura kedamaian yang memancar dari wajah mereka.
“Venus dan Vero?”
“Iya,” Vero menjawab
dengan senyum, “salam kenal, Mikha.”
Venus melangkah mendekati
tubuh Cello. Ia berjongkok dan menggenggam erat tangan kanannya. Uap dingin
yang melebur dari tubuh Cello seketika kembali, bersatu, dan memadat. Tubuh
dinginnya berubah menjadi hangat. Wajahnya merona, sehat. Venus berdiri dan
tanpa ragu menarik tangan Cello, dan bersamaan Cello seakan kembali dari kematian
dan segera bangkit berdiri. Ia cukup terkejut ketika melihat Venus dan Vero ada
di sana.
“Kami tidak punya waktu
banyak untuk berbincang-bincang dengan kalian sambil menikmati secangkir teh.
Tapi, kami sangat berterima kasih, karena kalian telah mempertemukan kami
kembali di sini. Sekarang, kami telah siap untuk berangkat dan melupakan dendam
itu. Namun, aku berharap kepadamu Cello, agar kau bisa menegakkan keadilan bagi
kami berdua,” ucap Venus.
“Terima kasih Mikha,
karena cintamu kepada Cello, telah melepaskan kami dari ikatan dendam dunia,”
ucap Vero disertai senyuman.
“Sekarang kami harus
pergi. Pintu keluar kalian, sudah terbuka.”
Vero memeluk Mikha, dan
Venus memeluk Cello. Tanda persaudaraan dan persahabatan antara manusia dan
mantan manusia. Venus dan Vero menjauh dari mereka. Bergandengan tangan dan
berjalan menuju satu cahaya. Kemudian menghilang.
Semuanya kembali
seperti semula. Tanpa berlama-lama, Cello menggandeng erat tangan Mikha dan
membawanya berlari menuju pintu keluar. Ia memegang erat knob pintu, dan
membukanya dengan lantang. Segera cahaya silau menyapa mata mereka. Dan ketika
semuanya mulai jelas. Cello melihat kerumunan orang banyak di depan ruangan
itu. Ia juga melihat sohibnya, Remi dan Arta. Ada garis polisi yang menghalangi
pintu itu. Cello dan Mikha menerobosnya keluar.
Semua orang yang ada di
sana begitu terkejut dan tidak percaya. Ada beberapa waktu lamanya, keheningan
itu berlangsung. Sampai akhirnya Cello membuka mulut kepada polisi yang
mendakwa tempat itu sebagai TKP.
“Pak, ada dua mayat di
belakang gedung itu. Mayat itu adalah Venus dan Vero, dua mahasiswa yang
dinyatakan hilang beberapa tahun yang lalu. Mereka dibunuh oleh seorang dosen
di kampus ini, bernama Rendy. Rendy melakukannya karena dia tidak mau kedoknya
terbongkar, mengenai kasus plagiasi lagu karya almarhum Sove.”
Setelah menceritakan
kejadian itu secara detail, Cello kembali pingsan. Ia dilarikan ke rumah sakit,
dan polisi segera menangani kasus itu. Tubuh Venus dan Vero benar-benar ditemukan
di sana, dalam rupa kerangka. Rendy, manusia keji itu segera ditangkap di
kediamannya, dan mendapat hukuman dengan pasal berlapis. Hasil akhirnya,
kurungan seumur hidup.
₰ ₰
₰
Coffee Break
“Kamu sedang apa,
sayang?” tanya Mikha sambil membawa dua gelas kopi hangat ke atas meja makan.
Di meja itu Cello terlihat sangat serius dengan laptopnya. “Kamu serius,
banget. Jangan bilang kamu sedang mikirkan cara untuk melamar laptop itu!”
candanya, sambil merangkul Cello dari belakang.
“Hahahaha!! Aku sedang menuliskan kisah cinta kita! Dan ini hampir selesai!”
“Kamu tidak melewatkan
soal tanah yang jadi alas tidurmu dan langit atapmu, ‘kan?”
“HAHAHA!! Tidak akan ada satu bagian pun yang terlewatkan!”
“Lalu, bagaimana kamu
mengakhiri ceritanya?”
“Dengan sebuah puisi.”
“Bunyinya?”
“_Cinta..
Satu
zat tanpa satuan.
Bereaksi
tajam menembus segala kepadatan.
Seperti
racun, yang memompa jantung.
Berdenyut
kencang, membekukan darah.
Melumpuhkan
syaraf. Stroke seketika.
Itulah
defenisi cintaku..
Ketika
tetesannya jatuh darimu.
Tepat
di sini.-
Aduh, ini apa sih!
Kelihatannya mataku udah ‘gak beres!”
“Masa? Coba aku lihat.
Yang mana?” Mikha mendekatkan kepalanya ke samping wajah Cello.
“Ini. Kata terakhir.”
“Oh! Itu kata,
Hati_”
Cello segera mencium
pipi Mikha.
Udara bertiup lembut
membelai gorden di ruang makan itu. Membawa udara surgawi masuk ke dalamnya.
Cahaya mentari pagi sedang berlari riang di ruangan itu. Dan lagi, ada cinta
abadi yang menetap di sana.
The End
Tuts
P.
Sandra D.
21.10.2013
-Agunglah
TUHAN yang telah menganugrahkan Cinta dan membebaskan kaki-kaki sucinya menapak
di atas permukaan bumi.
-Dipersembahkan kepada
seluruh insan yang tengah mengagungkan nama Cinta.
0 komentar