CERPAN "The End"
06.31
Story 01
Ini adalah kisah cintaku, setahun yang lalu. Meski sudah
berlalu cukup lama, tapi kenangan manis bersamanya tak akan pernah bisa
kulupakan.
Waktu itu aku adalah seorang gadis yang sedang memasuki
tahap usia remaja dewasa. Aku duduk di bangku SMA tepatnya kelas 1-SMA.
Masa yang sangat menyenangkan buatku, karena sifat anak-anak
masih bercampur dengan usia remajaku.
Seperti yang biasa dilakukan siswa baru, aku berkenalan
dengan semua teman-teman di kelasku. Dan dari sinilah kisahku bermula. Aku berkenalan
dengan seorang anak cowok, teman sekelasku, namanya Rinchard. “Aneh?” pikirku saat itu ketika aku
merasakan jantungku berdegub kencang, merasa kikuk dan kaku saat berjabat
tangan dengannya. Tapi aku tak paham apa maksud dari debaranku saat itu dan aku
tidak terlalu menghiraukannya.
Hari demi hari pun kulalui, aku semakin dekat dengan
teman-teman sekelasku, tapi tidak demikin halnya dengan Rinchard. Aku jarang
berkomunikasi dengan Rinchard. Karena Rinchard sendiri pun bisa dibilang
seorang yang pendiam, dia hanya bicara pada teman-teman dekatnya saja.
Minggu berlalu dan bulan pun berganti. Tapi belum sampai
setengah semester, aku melihat perubahan dalam diri Rinchard, dia sering
merenung sendirian, terkadang kelihatan sedih, dan seperti sedang memikirkan
sesuatu.
“Aneh..” pikirku lagi, ketika entah kenapa aku mulai khawatir padanya.
Hingga munculah perasaan dalam hatiku yang membuatku ingin mendekatinya,
memahaminya, dan menyelami pikirannya.
Akhirnya aku mulai menyadari, ternyata kata “aneh..” itu menunjukkan kalau aku
sedang menaruh hati padanya. Kucoba untuk mencari informasi tentangnya pada
teman dekatku Carla.
“Carla, apa kamu merasa, kalau akhir-akhir ini Rinchard.. kelihatan agak aneh?”
“Maksud kamu?”
“Belakangan ini dia sangat pendiam, tidak semangat.. ya,
seperti itulah!?”
“Hmm.. Aku juga merasa begitu. Tapi dia terlalu pasif,
pendiam, dan sepertinya tertutup. Jadi aku kurang tahu soal dia?!”
“Begitu, ya?”
Esok paginya, ketika akan memasuki pelajaran pertama aku tak
melihat Rinchard di kelas. Dan aku segera menanyakannya pada teman sebangkuku
yang kebetulan sekretaris kelas kami.
“Via, sepertinya hari ini Rinchard tidak masuk, apa ada
kabar darinya?”
“He-e?!” Via mengangguk. “Tadi pagi orangtua Rinchard
memberikan surat ini padaku?!” ucapnya sambil menunjukkan sebuah amplop surat.
“Isinya kalau tidak salah, hari ini Rinchard tidak bisa hadir karena dia sedang
sakit?”
“Sakit?..”
Saat aku mendengar kalau Rinchard sedang sakit, tiba-tiba
jantungku berdegub kencang. Aku ingin tahu dia sakit apa, ingin tahu apa
sakitnya parah, juga takut kalau-kalau terjadi apa-apa padanya.
Seminggu telah berlalu, tapi aku tak juga melihat Rinchard.
Sampai keesokan paginya ketika aku sampai di kelas, aku melihat Rinchard duduk di bangku kelas sudut bagian belakang.
Aku melihatnya sedang menundukkan kepala, kelihatan pucat, bingung, dan tampak
sedih. Tapi aku bisa sedikit lebih tenang, karena aku melihatnya masih dalam
keadaan baik-baik saja.
Saat itu kebetulan baru kami berdua yang ada di kelas,
teman-teman yang lainnya belum datang. Mungkin karena ini masih terlalu pagi.
Aku mencoba memberanikan diri mendekati dan menyapanya.
“Pagi Rinchard?”
Seketika itu juga Rinchard menoleh padaku.
“Oh, Jeslyn? Selamat pagi juga. Hmm.. maaf, bisa tidak
jangan memanggilku Rinchard? Panggil dengan namaku yang lainnya saja, Alex,
Kilien, Chard, atau yang lain sejenisnya? Aku tidak terlalu suka dipanggil
dengan nama Rinchard.”
“Lho? Kenapa? Menurutku nama kamu bagus.”
“Memang bagus. Tapi tiga kata di depannya membuatku
terkadang geli mendengarnya.”
“Maksud kamu, ‘Rin’?”
“Hahaha!! Iya! Terdengar seperti memanggil nama perempuan,
‘kan?!”
“(Hehe! Dia tidak
seperti yang terlihat selama ini... Dia cukup ramah..)” ucap Jeslyn dalam
hatinya. “Oh iya Rin! Ehh, maksudku Alex..”
“Tak apa.” potong Rinchard seraya tersenyum.
“Ehmm.. Oh, bagaimana kalau kamu kupanggil Richard saja?
Keren ‘kan?”
“Ehm.. Ok?! Kedengarannya nggak buruk?!”
“Richard? Apa kamu sedang ada masalah?” tanyaku dengan
gugup.
“Maksud kamu?”
“Ehm.. Begini, biasanya kalau seseorang sedang ada masalah,
bisa langsung terbaca di wajah mereka. Kurang semangat dan lebih banyak diam,
dan mungkin yang lainnya..”
“Hm.. aku pikir aku baik-baik saja, kok?!” jawabnya dengan
nada meyakinkan.
“Ok..” Jeslyn diam sejenak. “Oh iya? Seminggu ini aku nggak
melihat kamu di kelas, kudengar dari Via, kamu sakit.”
“Iya..”
“Memangnya kamu sakit apa?”
Sejenak ia diam, tak menjawab pertanyaanku. Tapi kemudian
raut wajahnya berubah menjadi sedih, dan sesaat kemudian air mata mulai menetes
membasahi pipinya.
“Lho? Kenapa kamu nangis? Apa ada yang salah dengan
kata-kataku?”
“Tidak.. sebenarnya aku..” ucapnya terbata-bata. “Aku
bingung, aku takut! Beban ini terlalu berat untuk kujalani, Jes.”
“(..Richard?) Tak
apa, ceritalah.. Kalau ini rahasia, aku janji tidak akan cerita pada siapa pun
bahkan pada diaryku. Biasanya,
menceritakan masalah kita, dapat mengurangi sedikit sesak yang menggumpal dalam
hati kita. Dan biasanya, seseorang akan merasa sedikit lebih tenang, jika ia
sudah menceritakan masalahnya.”
Sambil meneteskan air mata, Rinchard mulai menceritakan
masalahnya padaku.
“Sebenarnya saat itu aku tidak datang.. itu karena aku
sedang dirawat di rumah sakit. Hari itu setelah pulang dari sekolah dan tiba di
rumah, lagi-lagi perutku terasa sangat sakit, tapi saat itu sakitnya
benar-benar menusuk, aku tidak tahan menahankan sakitnya. Setelah itu aku tidak
tahu apa-apa lagi, tapi saat bangun, aku sudah ada di sebuah ruangan di rumah
sakit. Dan tak sengaja aku mendengar pembicaraan dokter dengan kedua orangtuaku
di luar ruangan.
Aku dengar, dokter
mengatakan, kalau aku terserang kanker liver dan sudah sangat parah. Sebenarnya
aku masih bisa diobati kalau saja aku berobat jauh-jauh hari sebelumnya. Tapi
aku tidak pernah mau cerita pada orangtuaku. Aku takut mereka khawatir. Dan
dokter memvonis, kalau aku tidak akan bertahan lebih lama lagi..
Kenapa?..” Rinchard
mulai menangis ter-isak.
“Kenapa, harus aku yang menerima ini?! Aku tak pernah tahu
kalau akan jadi begini akhirnya. Aku sama sekali tidak tahu apa pun soal
sakitku. Aku pikir ini hanya sakit perut biasa. Tapi satu hal yang sudah pasti
aku tahu, hidupku tidak lama lagi..
Kalau boleh aku
berharap, aku tidak mau menjalani hidupku seperti ini..”
“Richard..”
“Kenapa Tuhan tidak adil padaku?! Kesalahan apa yang sudah
aku lakukan, sampai aku harus menerima ini!!
Jeslyn, aku takut!?
Sangat takut?! Aku takut mati..” kalimat terakhir terdengar lebih pelan.
Aku diam, dan saat itu juga jantungku berdegub kencang, bulu
tanganku berdiri. Kalimat terakhirnya terdengar sangat menakutkan. Begitu
horor..
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Ditambah lagi, aku tidak sanggup
melihatnya menangis. “Kasihan..”
pikirku, padahal dia masih sangat muda, tapi harus menjalani cobaan yang berat.
Kalau sekarang aku berdiri di posisinya, aku mungkin hanya akan menangisi hidupku, menyesal kenapa aku harus hidup kalau tahu aku hanya akan
menjalani kehidupan yang seperti ini. Di saat remaja seusia kami yang lainnya
menikmati masa remaja mereka, dia malah harus menjalani sisa-sisa kehidupan
yang diberikan padanya.
“Richard, jangan menangis.. Menangis tidak akan membuat
segalanya menjadi lebih baik. Kamu harus percaya, Tuhan sangat sayang sama
kamu. Dia pasti punya rencana yang indah di balik ini semua. Kamu tidak boleh
terlalu larut dalam kesedihan, kamu harus kuat! Dan kamu tidak boleh mengatakan
kalau Tuhan itu tidak adil.”
“Aku harap aku bisa melihat di mana letak keadilanNya padaku
saat ini..”
“Suatu saat nanti kamu pasti bisa melihatnya..”
“.. Terima kasih.. kamu sudah mau mendengar. Tapi tolong
rahasiakan ini, ya?”
“Pasti?! Aku janji, bahkan aku juga akan merahasiakannya
dari diaryku?!”
“Hehehe! Tidak harus segitunya, kok?!”
Kukeluarkan sehelai tisu dan menghapus air matanya. Kemudian
ia berkata..
“ .. Jeslyn aku tahu hal ini tidak pantas kuminta..
Tapi boleh aku
memelukmu.., karena biasanya kalau aku sangat sedih, aku pasti memeluk ibuku..
Bisa tidak kamu berpura-pura jadi ibu saat ini.. sekali ini saja..”
“…” Aku diam dan bingung.
“Tapi kalau kamu keberatan, tidak apa-apa, kok? Aku juga
tidak bermasuk memaksa?! Dan sumpah, aku juga tidak bermaksud yang tidak-tidak.
Aku bukan laki-laki yang seperti itu. Hanya saja terkadang aku memang terlalu
kekanak-kanakan..”
“(Rinchard..)”
Aku segera meneluknya, sekejap ocehannya berhenti. Ia agak sedikit
terkejut, tapi kemudian ia membalas pelukanku. Sesaat dadaku terasa sesak,
sepertinya aku bisa merasakan apa yang dirasakannya. Dia berusaha keras menahan
tangisnya di balik punggungku.
Beberapa hari kemudian setelah
Rinchard menceritakan masalahnya padaku, ia terlihat semangat kembali. Saat aku
melihatnya tersenyum, aku juga ikut tersenyum. Aku sangat senang tiap kali
melihat senyuman manis di wajahnya.
* * *
Story 02
Tak terasa, ujian semester pertama pun dimulai. Aku, Rinchard,
dan teman-teman yang lainnya sedang menjalani ujian. Sering aku melihat
Rinchard kelihatan pucat, dan aku sangat cemas tiap kali melihatnya memegang
bagian perutnya.
Hehe!.. Rinchard juga sering mendapatiku sedang memperhatikannya, dan
ia membalasnya dengan senyuman manis.
Aku akui, Rinchard memang bisa dikatagorikan anak cowok yang manis dan juga cool. Dan sejujurnya, aku memang sudah jatuh hati padanya. Tapi aku
enggan mengatakannya. Pernah terlintas sesuatu dalam pikiranku, ‘Aku tidak boleh suka padanya. Bagaimana jika suatu hari nanti dia pergi
untuk selamanya. Aku hanya akan menjadi hati yang hancur dan kesepian.’
Tapi akhirnya aku membuang pikiranku itu. Aku merasa terlalu
egois kalau harus membunuh perasaanku, hanya kerena ia tak bisa hidup lama
sepertiku dan takut kalau suatu waktu nanti dia akan pergi meninggalkan aku.
Jadi aku putuskan untuk terus menyukainya, meski mungkin dia tidak menaruh hati
padaku. Tapi pikirku ‘itu tak masalah’.
Bisa mencurahkan perasaanku sebagai seorang teman yang baik untuknya saja sudah
cukup untukku.
Seminggu lebih kami menjalani ujian semester pertama.
Seperti biasa, setelah ujian semester belum ada libur. Tapi kami wajib datang
ke sekolah, meski guru-guru tidak mengajar.
Siang itu, Rinchard bersama teman-temannya sedang bermain
basket di lapangan. Aku memperhatikannya dari atas bersama dengan temanku yang
lainnya, ia kelihatan sangat keren sewaktu memasukkan bola ke ring.
Tak lama, akhirnya aku merasa bosan. Aku kembali ke kelas
dan di kelas hanya ada aku seorang. Teman-temanku yang lainnya beramai-ramai ke
kantin. Saat itu suasana di luar kelasku begitu ramai, tapi entah kenapa aku
tidak merasakan keraian itu. Mungkin karena aku tidak suka dengan banyak suara,
jadi aku memilih untuk tidak menghiraukan suara-suara itu Aku duduk di bangkuku, meletakkan kepalaku di atas lipatan
kedua tangaku di atas meja, lalu kupenjam mataku.
Tapi kemudian terdengar satu suara yang memanggilku. Suara
yang tidak bisa kuacuhkan. Suara yang begitu akrab di telingaku.
“Jeslyn?!”
Segera aku melihat ke pintu, ke arah datangnya suara itu.
Sesaat aku terkejut, tapi kemudian aku tersenyum pada Rinchard.
“Kenapa kamu
sendirian di sini? Kenapa gak ikut sama yang lainnya ke
kantin?”
“Hemm, malas.. aku lebih suka sendirian begini?” jawabku
gugup, sambil melihat wajahnya yang kelihatan agak pucat.
“Kenapa kamu suka sendirian? Ehm.., kamu suka suasana yang tenang, ya?”
“Iya, aku suka sekali suasana yang tenang. Oh iya? Kamu
nggak main basket lagi?”
“Tadi aku sedikit pusing. Tapi sepertinya sudah baikkan. Nih, aku mau
main lagi?! Kalau gitu aku pergi dulu, ya?!” ucapnya dengan samangat meski
sepertinya ia kelihatan tidak begitu baik.
Kemudian Rinchard mulai berjalan menuju keluar. Tapi,
tiba-tiba saja ia berhenti, ia mulai memegang perutnya. Segera ia mendekati
bangku terdekat, dan duduk di sana. Kepalanya tenggelam dalam lipatan tangan
kirinya, sedang tangan kanannya memegang bagian perutnya.
Aku segera berlari menghampirinya dan duduk di sampingnya.
Aku meletakkan tangan kananku di atas bahu kanannya dan merangkul bahu kirinya dengan tangan kiriku.
“Richard!! Kamu kenapa?” tanyaku cemas.
“Eh..” Rinchard sama sekali tak mengatakan apa-apa, ia hanya
menunduk dan memegang bagian perutnya.
Tiba-tiba air mataku mengalir begitu saja. Aku sangat takut kehilangan dia. Lalu ia menoleh
kepadaku dengan wajah yang seputih kapas.
“Jeslyn..? Tolong.. jangan menangis..?”
“Bertahanlah Richard !! Aku akan memanggil bantuan?”
Sebelum aku sempat berdiri, ia sudah tak sadarkan diri. Aku panik, tapi segera aku memanggil bantuan dan Rinchard segera dilarikan ke
rumah sakit.
Tiga hari hampir berlalu, aku sangat gelisah, karena
Rinchard belum juga hadir di kelas, padahal aku sangat ingin bertemu dengannya.
Keesokan paginya, seperti biasa aku selalu datang lebih pagi
dan lebih awal dari temanku yang lainnya, karena aku suka sekali suasana pagi
yang tenang. Aku mulai berjalan memasuki ruangan kelas, berharap
hari ini bisa melihat Rinchard di kelas.
Saat aku akan memasuki kelas..
“Jeslyn??”
Seperti yang kuharapkan, aku melihat Rinchard hari ini. Dan
dengan sangat cepat ia berdiri dari bangkunya, dan berjalan..
“Richard kamu sudah kembali!! Aku sangat..?”
Belum lagi aku selesai bicara, Rinchard sudah mendekapku.
“.. Senang bisa melihat kamu..”
“.. Aku takut.. Jeslyn aku sangat takut, aku tidak suka ada
di rumah sakit. Aku takut saat aku tidur, aku tidak akan bangun dari tidurku.
Aku takut tidak bisa melihatmu lagi!?”
Rinchard masih memelukku, sampai kemudian aku merasakan
tetesan air matanya yang membasahi lengan bajuku.
“Richard.. jangan menangis. Tangisanmu rasanya begitu
menyayat hati..”
“Maaf, tapi aku tidak bisa menahan air mataku.. Aku takut..
sangat takut Jeslyn? Begitu takut untuk menjalani hari-hari terakhirku..”
Kemudian Rinchard melepaskan aku dari pelukannya, sejenak
aku diam. Kutatap wajahnya yang bisa memancarkan kesedihan dan ketakutannya
dengan jelas. Entah kenapa aku mulai berkata yang tidak-tidak dalam hatiku.
Seperti memberontak..
“Ya Tuhan, kenapa beban seberat ini
harus Kau berikan pada Richard. Dia masih sangat muda. Tidak bisakah Kau
biarkan dia hidup lebih lama, setidaknya agar dia bisa menikmati masa remajanya
dengan teman-temannya. Bapa, kenapa tidak Kau berikan saja penyakit ini pada
orang-orang yang berhati dengki dan kepada para penjahat yang berperi
kebinatangan di negeri ini?! Kenapa harus pada Richard..”
Kuambil sehelai tisu dari saku rokku, kemudian menghapus air
matanya. Lalu mengajaknya duduk.
“Richard, sudahlah jangan menangis terus?”
“Aku sangat cengeng, ya? Padahal aku laki-laki, tapi cengeng
setengah mati..
Tapi, bukannya aku memang sudah setengah mati?..”
“Bukan?! Bukan itu maksudku?! Andaikata aku di posisi kamu,
mungkin aku pun akan sama seperti kamu, menangis dan menangis. Dan mungkin aku akan terus mengurung diri
di kamarku, menghindar dari teman-teman dan orang yang dekat denganku,
memberontak pada Tuhan, menyesali kenapa aku harus hidup kalau harus menjalani
kehidupan yang seperti ini, dan mungkin aku akan mempercepat proses kematianku.
Tapi.. kalau boleh
jujur, aku sangat kagum sama kamu.. Kamu cukup berani untuk menjalaninya meski
sejujurnya kamu sangat takut. Kamu tidak terlalu memberontak sama Tuhan, dan tidak
melakukan hal-hal yang gila. Banyak orang, saat dia tahu kalau hidupnya tidak
akan lama lagi, dia benar-benar menikatinya hari-hari terakhirnya tapi dengan
cara yang salah. Tapi kamu berbeda, sangat berbeda..”
“Tapi.. beberapa hari yang lalu, akhirnya pikiranku
terbuka.. Aku menyerah pada buku kehidupan yang ada di tangan Tuhan, tapi bukan
berarti aku merasa kalah. Aku akan tetap menikmati masa remajaku meski tak akan
lama.. Sebenarnya tak mudah untuk
menjalaninya tanpa ari mata. Air mataku ini menadakan kalau aku hanya manusia
biasa, yang punya rasa takut dengan kata “mati”.
.. Aku
berpikir, mungkin ini semua sudah menjadi jalan kehidupanku. Inilah novel kisah
kehidupanku yang sudah diselesaikan Tuhan setiap babnya. Sekarang Ia sedang
membacanya ulang untuk memberi sedikit pengeditan,
dan mungkin sekarang ia sedang membaca bab-bab terakhir dari novelNya. Dan bab
itulah yang sedang kujalani saat ini. Dan aku hanya bisa menanti kata The End dari novelNya.”
“(Kata-katanya dewasa
sekali.. Aku yakin dia pasti kuat! Hehe! Dan sepertinya harus kuakui, aku
benar-benar suka padanya..)” pikirku.
“Dan satu lagi, awalnya aku juga tak sebaik yang kamu
pikirkan, Jes? Sejujurnya beberapa hari
yang lalu aku berpikir untuk mengakhiri hidupku.
Tapi, ada sesuatu yang menahan.. Tepatnya ada seseorang yang membuatku tak
mampu melakukannya..”
“Benarkah?! Boleh aku tahu
siapa orangnya?” tanyaku benar-benar ingin tahu, meski
nantinya aku tahu orang itu bukan aku.
“Dia sudah ada di depanku..” ucapnya seraya menatapku dengan
senyum lembut. Bagai disambar, sekejab itu juga jantungku berdetak tak karuan,
aku hampir tak percaya dengan ucapannya, tapi aku senang mendengarnya. Begitu
cepat, sampai-sampai aku tak bisa menghindar dari ciuman hangatnya yang
mendarat di dahiku.
Dengan sedikit gugup dan malu, juga terlihat kikuk, aku memandangnya. Tapi segera aku melangkah keluar dari ruangan kelasku. Aku
senyam-semyum seperti orang setengah tidak waras. Ketika sudah jauh dari
kelasku, aku bertemu dengan Leon. Dia adalah sahabatku yang paling baik dan
paling manis.
“Leon?!” ucapku menyapanya, masih tersenyum-senyum.
“Jeslyn, kenapa kamu senyam-senyum begitu?!”
“Ahh?! Tidak apa-apa, kok?!”
“Masa?! Aku nggak percaya?!”
“Benar?! Tidak ada apa-apa?!”
“Baiklah?.. Jeslyn, bisa kita bicara?” ucap Leon dengan nada
sedikit serius.
“Ya?! Mau bicara apa!?”
“Jeslyn, sebenarnya aku sudah lama sekali memendam perasaan
ini. Jeslyn apa kamu sayang samaku?”
“Iya, aku sangat sayang sama kamu?”
“Ohh yaa?? Apa kamu juga menyukai aku?”
“Hmm..” aku tersenyum. “Tentu saja?!” lanjutku.
“Kalau begitu apa kamu mau jadi pacarku?”
Sekejab itu juga aku terdiam, bingung, karena Leon salah
mengartikan maksud dari kata-kataku.
“Kenapa kamu diam?”
“Leon? Maaf sbelumnya.. tapi sepertinya kamu salah mengerti maksudku. Aku memang sayang
sama kamu, tapi hanya sebagai sahabat, dan karena aku sudah menganggap kamu
seperti kakakku sendiri?”
“Jadi kamu tidak memiliki perasaan itu padaku?”
“Aku sangat minta maaf Leon, bukan maksudku mau menyakiti
kamu. Tapi aku tidak memiliki perasaan seperti yang kamu rasakan. Sekali lagi
aku minta maaf, Leon? Aku benar-benar tidak bermaksud menyakiti perasaan
kamu..”
“Hmm, ya sudahlah?! Tidak apa-apa?! Aku nggak akan dan nggak
akan mungkin memaksa kamu untuk menyukai aku juga. Karena aku sama sekali tidak
memiliki hak untuk itu?”
“Aku benar-benar minta maaf, Leon?” ucapku dengan nada
merasa bersalah.
“Hei, jangan begitu?! Aku tidak akan marah, kok?! Tidak
apa-apa, ok?!”
“Aku sangat mengagumi sahabat seperti kamu?! Kamu benar-benar bisa
memahami seseorang. Aku juga suka dengan sikap kamu yang selalu berpikir lebih
dewasa. Meski terkadang dari luar kamu terlihat kasar dan keras tapi sebenarnya
kamu punya hati yang lembut. Sejujurnya, aku merasa sangat beruntung bisa punya
sahabat seperti kamu?”
“Jangan terlalu memujiku. Rasanya telingaku sudah
memanjang!? Aku tidak sebaik itu juga,
kok?!
Tapi kalau boleh aku
tahu, apa ada seseorang yang kamu suka?”
“.. Ada.”
“Ohh yaa?! Siapa? Apa aku mengenalnya?!”
“Mungkin kamu kenal. Dia teman sekelasku, namanya Rinchard.”
ucapku dengan senyum kecil.
“Rinchard, ya? Hmm..” dia mencoba mengingat. “Oh dia?! Ya,
aku kenal dengannya.”
“Sepertinya, bukan hanya suka, tapi aku juga menyayanginya?”
“Aku yakin, cepat atau lambat dia pasti akan mengungkapkan
perasaannya sama kamu!?”
“Kenapa kamu bicara seyakin itu?”
“Ya iyalah!? Habiss, mana ada cowok yang nggak tertarik sama
gadis semanis dan selembut kamu? Sangat perhatian, penyabar, dan sangat
keibuan?!”
“Hahaha! Aku tidak sebaik itu, kok!? Tapi, terimakasih atas
pujiannya, ya?!” ucapku sambil tersenyum.
“Iya?!”
“Leon aku pergi dulu ya, mau ke kantor?”
“Ok?!”
“(Jeslyn.. Sangat
manis, seperti namanya. Tapi sayang, gadis manis ini menutup pintu kecil di
hatinya untukku… Tapi aku sangat yakin, suatu saat nanti, pintu kecil itu akan
terbuka untukku..)” pikirnya.
* * *
Story 03
Saat Leon akan
berjalan menuju kelasnya, Rinchard berjalan keluar dari ruangan kelas. Tapi
tiba-tiba saja, langkahnya
menjadi sempoyongan. Karena merasa heran, Leon berhenti berjalan, ia bingung
melihat Rinchard yang sempoyongan sambil menunjukkan expresi wajah yang
kesakitan.
Rinchard berjalan semakin mendekati Leon, tapi Leon hanya diam tak
bergerak, ia tak begitu menanggapinya, tapi ia menunggu. Hingga akhirnya
Rinchard menabrak tubuh Leon, tapi Leon masih diam dan tenang, tak ada respon
terkejut darinya.
“Eh.. Maaf..” ucap Rinchard dengan kesadaran yang tak lagi penuh.
Rinchard masih berdiri di depan Leon, memandang wajah leon yang tampak
samar-samar. Ia bingung akan
berjalan ke mana.
Akhirnya Rinchard kehilangan keseimbangan, ia akan roboh. Untung Leon segera menahan tubuh Rinchard, dan meletakkan
tangan kiri Rinchard di atas bahunya. Ia membantu Rinchard berjalan ke kelasnya
dan membantunya duduk di bangku.
Sambil menunggu Rinchard berhenti merintih, Leon hanya duduk diam dan
menunggu. Bisa dibilang, Leon tipe cowok yang dingin dan tenang, ia juga
seorang yang sedikit misterius dan ia bisa membaca pikiran seseorang, meski
terkadang tak seratus persen benar.
Sesaat kemudian, Rinchard agak tenang, rasa sakitnya mulai hilang.
“Bagaimana, apa kau sudah merasa cukup baik?” tanya Leon dengan ketus.
“Ya..” jawab Rinchard singkat
dengan nada yang lemah.
“Rinchard, kutunggu kau sepulang sekolah di taman belakang sekolah.
Kalau kau tidak datang, kuhajar kau besok!!”
“Ya, nanti aku ke sana..”
Leon segera meninggalkan ruangan kelas dengan menyembunyikan kepalan
tangannya. Agaknya dia merasa kesal.
Akhirnya sekolah pun usai, seperti janji Rinchard, Rinchard menemui Leon
di taman belakang sekolah dan Leon sudah menuggu di bangku taman. Rinchard
menghampirinya, kemudian duduk di samping Leon.
“Leon.. terima kasih ya, kau sudah menolongku tadi?”
“Hehh!! Kau tak perlu berterima kasih dulu!! ucap Leon sinis. “Itu sama
sekali nggak penting buatku! Asal kau tahu saja, ya!? Sebenarnya tadi aku ingin membiarkanmu tergeletak di situ atau
pura-pura tidak melihat?! Kalau saja bukan karena Jeslyn menyukaimu, mungkin
aku sudah menghajarmu!? Meski kau sudah hampir mati sekalipun!” ucap Leon
dengan dingin.
“Jadi kenapa tidak kau lakukan?”
“Aku kasihan, melihat orang lemah sepertimu!?”
“Kalau memang kau keberatan menolongku, kenapa tidak meminta pada orang
lain saja? Atau seperti yang kau katakan
tadi, tinggalkan saja aku di sana. Jadi kau tak perlu
repot-repot.”
“Kau ini bodoh, ya? Aku tahu, kau tidak mau membuat orang lain mencemaskanmu.
Dan aku juga tahu, tadi kau mau bersembunyi di tempat sepi ‘kan? Agar kau bisa mati dengan tenang,
tanpa harus melihat orang lain menangisimu?!”
“Ya, tidak salah lagi?..”
“Hehh?!.. Pikiranmu sangat mudah terbaca. Tapi ada alasan lain kenapa
aku ingin kau ke sini. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan?!”
“Apa?”
“Tapi, jangan pernah kau berpikir untuk berbohong, karena aku bisa membaca pikiranmu.”
“He-‘m..” Rinchard mengangguk.
“Kau sakit apa?”
Rinchard terdiam, ia bingung akan menjawabnya.
“Jawab?!”
“.. Kerusakan hati.. sangat parah..”
“Berapa lama lagi kau akan hidup?!” tanya Leon mulai geram.
“… Tak lama lagi. Hanya dalam hitungan bulan dan beberapa minggu..”
“Begitu, ya? Aku mau tanya.. kau
tidak menyukai Jeslyn ‘kan?!”
“.. Kalau boleh jujur.. Aku sangat menyayanginya..”
Leon tak bisa menahan kegeramannya lebih lama lagi. Ia benci pada
Rinchard yang dianggapnya sangat egois. Akhirnya ia melepaskan kegeramannya. Ditariknya kera baju Rinchard, lalu mendaratkan tinjunya di pipi kanan Rinchard.
“Berani sekali orang yang sudah mau mati sepertimu menyukai Jeslyn?!!”
Leon berdiri, mengangkat kera baju Rinchard, mendorongnya, sampai
punggung Rinchard menghantam tembok pembatas taman. Rinchard terduduk, ia
merasa tubuhnya begitu lemah, dan tiba-tiba sakitnya kembali terasa. Wajahnya
memucat, ia menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan kanannya yang
terpangku di atas lipatan kaki kanannya. Tangan kirinya mengepal di atas
perutnya.. mencoba menahankan sakit yang ia rasakan.
Leon menghampirinya, ia berjongkok.
“Angkat kepalamu?!!”
“Eh..” Rinchard merintih. “Bisa.. tunggu sebentar?”
Leon diam, sesaat ia merasa takut, merasa bersalah, merasa kasihan, tapi
juga masih merasa kesal terhadap Rinchard.
“.. Rinchard? Kau kenapa? Apa sakit lagi?!” nada suara Leon melunak.
“H.. sakit..” ucap Rinchard hampir tak terdengar.
“Tunggu! Aku akan memanggil bantuan?!”
Saat akan beranjak, Rinchard menarik tangan kanan Leon. Rinchard
mengangkat kepalanya dan menghadapkan pandanganya pada Leon.
“Eh.. Jangan.. Duduklah..”
Leon menurut, ia duduk di depan Rinchard.
“Satu hal.. bisa jangan panggil aku Rinchard? Cukup Richard saja. Tiga
kata di depan namaku itu terdengar seperti nama perempuan..” ucapnya dengan senyum tak utuh.
“Kau masih bisa bercanda di saat-saat begini?”
“Hehe..”
Rinchard kembali menenggelamkan kepalanya. Rasa sakitnya belum juga
berkurang, dan sialnya dia lupa membawa pil-pilnya yang hampir mirip dengan pil
ekstasi itu.
Leon mengangkat kepalanya, memandangi gumpalan awan-awan putih yang
bergerak perlahan di langit biru.
“Sebenarnya aku benci kau menyukai Jeslyn. Tapi aku juga kagum pada
keberanianmu menghadapi semua ini. Kau tahu.. sebenarnya sudah lama aku
menyukai Jeslyn. Dulunya aku dan dia hanya sahabat, danaku
tak pernah berpikir akan menyukainya. Entah sejak kapan aku
jatuh hati padanya.
Tapi yang sangat aku suka darinya
adalah sisi keibuan yang ada padanya. Dia begitu pandai merawat orang sakit,
bahkan dulu supaya Jeslyn datang ke rumahku untuk merawatku, aku sengaja
hujan-hujanan dan tidak makan seharian, supaya aku bisa dirawatnya. Dia juga
seorang pendengar yang baik, aku sering datang padanya dan memuntahkan semua
masalahku. Dia selalu menyemangatiku saat aku gagal dalam melakukan sesuatu,
atau saat aku putus asa. Dia juga membantuku mencari jalan keluar tiap kali aku
menggangap hanya jalan buntu yang aku temui.. Satu nasihat darinya yang
selalu aku ingat, “Jalan buntu itu
seperti tembok besar yang mengahalangimu. Hanya ada dua cara untuk melaluinya..
berbalik arah atau melompati tembok itu dengan siap menghadapi resiko yang ada
di baliknya.”” ucap Leon masih memandangi langit.
Rinchard sudah merasa sedikit lebih baik, rasa sakitnya sudah berkurang.
Diangkatnya kepalanya.
“..Mungkin kau berpikir kalau aku ini orang yang tak
berperasaan, ya? Dan
mungkin kau juga mau mengatakan, apa aku ini tidak tahu betapa sedihnya Jeslyn
jika suatu waktu nanti aku akan meningal. Kau salah kalau berpikir seperti itu,
dan kau juga salah kalau kau mengira aku ini orang yang kuat. Sejujurnya,
beberapa hari yang lalu aku berniat mau bunuh diri. Tapi aku tidak berani
melakukannya, bukan berarti aku masih takut mati, tidak.. aku sudah sama sekali
tidak peduli dengan kematian. Buatku kematian adalah kewajiban yang harus
kujalani dan hidup adalah hak yang kuterima. Aku tidak melakukannya, karena aku
ingin meninggalkan suatu kenangan yang manis pada Jeslyn. Menitipkan kenangan
tentang diriku padanya.
Aku ingin membuatnya merasa
bahagia bersamaku, meski hanya beberasa saat saja.”
“.. Maafkan sikapku tadi, ya?
Tak kusangka, kau tidak seperti
laki-laki yang ada dibayanganku sebelumnya..”
“Tak masalah. Aku juga minta maaf, karena sudah berani menyukai cinta
pertamu.”
“Dari mana kau tahu Jeslyn cinta pertamaku?”
“Baru saja kau mengakuinya.
Hanya cinta pertama yang mampu
bertahan cukup lama di hati seseorang. Cinta pertama mempunyai kesan yang
berbeda. Biasanya orang yang mengalami cinta pertama akan berkata ‘aku akan
setia menantinya’. Dan itulah yang bisa kutangkap dari perkataan-perkataanmu
tadi, meski tak kau ucapkan, tapi tersirat dari kalimatmu.”
“Apa kau sudah merasa cukup baik?”
“Lumayan..”
Sejenak suasana sepi, meraka saling diam. Kemudian..
“Apa Jeslyn tahu tentang penyakitmu?” Leon memecah keheningan.
“He-‘m, dia sudah tahu..”
“Kau janji akan membuatnya bahagia sebelum kau pergi ‘kan?”
“Janji..”
“Ingat!? Kalau sampai kau tak menepati janji, akan kukejar kau sampai ke
neraka?!”
“Kau tak perlu khawatir, aku pasti akan membuat Jeslyn bahagia. Aku
pasti bisa membuatnya melepas kepergianku dengan ikhlas.
Dan satu lagi, kau tak perlu
repot-repot mengejarku sampai ke neraka. Buang-buang waktu kau mencariku di
sana, karena aku yakin, tempatku pasti di surga.” ucap Rinchard sambil
tersenyum.
“Ck! Dasar kau!? Ya sudah, apa kau bisa berdiri? Ayo kita pulang?”
Leon berdiri.
“Bisa tolong bantu berdiri orang yang sudah mau mati ini?” ucap Rinchard
mengulurkan tangan kanannya.
Segera Leon menarik tangan kanan Rinchard.
“Terimakasih.. Oh iya, ternyata pukulanmu cukup mengerikan, ya? Selain
membuat memar di pipi dan di bibirku yang seksi ini, ternyata juga bisa membuat
penyakitku kambu. Sepertinya aku harus waspada dengan kedua tanganmu itu?!”
ucap Rinchard sambil memijat pelan sisi pinggir bibir sebelah kanannya.
“Aku ‘kan sudah minta maaf?!” ucap Leon dengan sedikit berteriak.
“Iya?! Aku tahu? Kau tidak perlu harus berteriak ‘kan?”
“.. Apa perlu kau kubantu berjalan sampai ke depan gerbang?”
Rinchard tersenyum geli. Ia berpikir, ternyata Leon tak sekeras yang
dibayangkannya, laki-laki yang satu ini memiliki sisi lembut dalam dirinya. Dan lagi ia juga sudah membayangkan bagaimana kalau Leon
memapahnya berjalan sampai keluar gerbang, bisa-bisa mereka dianggap pasangan
... ya, seperti itulah.
“Hmm.. tidak. Terima kasih.” Rinchard tersenyum.
Mereka meninggalkan taman itu, dan pulang dengan rute perjalan yang
berbeda.
* * *
Story 04
Esok paginya. Di sekolah, di lantai tiga tempat ruangan
kelas mereka, Rinchard sedang berdiri di pinggir dinding pembatas sambil
memandangi ke bawah. Tiba-tiba saja Leon datang mengejutkannya.
“Heyy?!” ucap Leon setengah berteriak sambil menepuk pundak
Rinchard.
“Hahh!!! Kau ini?!”
“Pagi-pagi begini, kau melamunin apa? Yang jorok-jorok,
ya?!”
“Hahh..” Rinchard menghela nafas, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ck! Maaf?! Kau ini tidak bisa diajak bercanda, ya?”
“Hehh.. bukannya tidak bisa diajak bercanda. Tapi candaanmu
itu cocoknya untuk waktu tengah malam, tahu?! Pagi-pagi mana seru melamunin
yang jorok-jorok?! Ha! Ha! Ha! Ha!” Rinchard tertawa.
“Ha! Ha! Ha! Ha! Ternyata kau cukup gila juga, ya?!!”
Akhirnya aku tiba di lantai tiga, dan aku merasa cukup heran
dengan kedua teman baikku itu. Kenapa mereka bisa sedekat itu, padahal mereka
berbeda ruangan, saling menegur saja jarang, apalagi berkomunikasi.
Aku segera menghampiri mereka.
“Richard? Leon??
Kenapa kalian kelihatan dekat sekali?”
“Kami baru saja jadian semalam?!” jawab Leon sambil
merangkul bahu Rinchard.
“Jadian? MAKSUDNYA?!” ucapku sambil
mengerutkan alis dalam-dalam.
“Jeslyn, sebaiknya kamu tidak usah mendengarkan ucapannya?!
Semalam tak sengaja
kami bertemu di kafe, dan dari sanalah kami mulai dekat. Ternyata dia cukup
asik diajak ngobrol.” jawab Rinchard sambil tersenyum dan menunjukkan wajah
yang meyakinkan.
“Ohh, begitu, ya?!
Leon memang asik diajak ngobrol. Dia juga sahabatku yang paling baik. Tapi
memang terkadang dia sedikit tidak waras!? Hihihi!” aku tersenyum
geli.
“He-‘m?! Aku setuju dengan kamu?!”
Oh iya, Jeslyn?!,
pulang sekolang nanti, kamu ada waktu tidak?” tanya Rinchard sedikit gugup.
“Ehm.. Ada sih?! Memangnya kenapa?”
“Bisa kita bicara di taman belakang, nanti?”
“Ehm.. bisa?! Tapi nanti aku agak telat sepuluh menit,
soalnya ada rapat OSIS? Gimana?”
“Nggak apa-apa, kok?! Aku tunggu kamu?”
“Ok, kalau gitu
aku ke kantor dulu, ya?”
“Iya?! Jawab Leon dan Rinchard hampir bersamaan.
Aku pergi ke ruangan kelasku, meletakkan tasku, kemudian
pergi ke kantor untuk mengambil peralatan kelas. Aku tak tahu apa yang
dibicarkan kedua sahabatku itu setelahnya.
“Apa yang ingin kau bicarakan dengan Jeslyn, nanti?”
“Aku yakin kau sudah tahu.”
“.. Semoga sukses, ya?”
“Apa kau tulus mengatakan itu?”
“Bodoh?!” ucap Leon sambil mendorong pelan bahu Rinchard.
“Aduh?!” Rinchard menyentuh bahu kanannya yang didorong
Leon. “Bisa tidak, jangan membunuhku sekarang?”
“Aku mendorongmu pelan, kok?!”
“Aku rasa tanganmu itu punya sentuhan ajaib?! Soalnya
sentuhan tanganmu itu terasa sakit meski kau menyentuhnya pelan!?”
“Apa tanganku sehebat itu, ya?” Leon menatap kedua telapak
tangannya dengan wajah
serius.
“.. Kau percaya, ya?! HA! HA! HA! HA!”
“Hahhh!! Kau memang bajingan kecil!!”
Tak terasa, bunyi yang dinanti-nantikan setiap siswa
akhirnya berbunyi, yaitu lonceng pulang. Leon pergi pulang duluan, sedangkan
Rinchard menungguku di taman belakang sekolah, seperti janji kami tadi pagi.
Sementara aku sedang mengikuti rapat OSIS.
Tiga puluh menit yang membosankan di ruangan rapat OSIS pun
selesai. Aku tak menyangka kalau rapatnya akan selama itu. Aku berjalan secepat
mungkin, tak sabar ingin menemui Rinchard. Tak lama aku tiba di depan gerbang
taman, dari kejauhan aku melihat Rinchard yang sedang duduk menungguku di
bangku taman di bawah sebuah pohon besar. Ia tersenyum padaku, dan aku membalas
senyumannya.
Sesaat kemudian aku sudah duduk di samping Rinchard.
“Maaf aku telat?! Soalnya banyak yang harus dibicarakan!?”
“Tidak apa-apa, kok?!”
Tapi kemudian kami diam. Rinchard memandangi langit biru.
Dan aku sangat menikmati keindahan dan ketenangan di taman itu. Di sekelilingku
aku melihat bentangan rumput hijau yang luas, yang dihiasi dengan bunga-bunga
yang indah. Kupandang ke atas terlihat langit biru yang bersih disinari cahaya
matahari yang cerah, angin sejuk yang bertiup
lembut meniup helaian rambutku dan sekujur
tubuhku dengan sejuk. Aku merasa sangat nyaman di sana.
Sesaat kemudian Rinchard memecah keheningan.
“Di sini nyaman ‘kan?”
“He-‘m?..” ucapku menganggukkan kepala.
“..Jeslyn?”
“He’m!?” aku menatapnya.
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan kamu?”
“.. Apa?”
“.. Sebenarnya aku.. aku suka kamu..“
“…”
Aku diam. Gugup, tapi senang dengan pernyataan Rinchard.
“Jeslyn.. apa kamu menyukai aku?”
“…” Aku masih terdiam.
“.. Tidak apa-apa kok, kalau kamu tidak suka.. Tidak
masalah. Aku tidak akan memaksa..”
“Tidak? Tidak?! Bukan itu.. Sebenarnya, aku juga suka
kamu..”
“Kamu yakin, kamu suka samaku? Bukan karena kasihan ‘kan?” ucap Rinchard mengerutkan dahinya.
“Tidak.. aku benar-benar suka sama kamu?”
“… Kalau begitu, bersediakah kamu menjadi kekasihku?” ucap
Rinchard sambil menunjukkan bunga mawar putih yang sedari tadi disembunyikannya
di balik punggungnya.
“Hem?” aku tersenyum.. sangat senang. “Kamu mengatakannya
terlalu formal?! Tapi.. aku bersedia?!” ucapku dengan senyum paling manis.
“Benar?!”
“He-‘m?!” aku menganggukkan kepala.
“Terima kasih?! Boleh aku peluk kamu?!”
Aku mengangguk, dan segera Rinchard memelukku erat. Aku
membalas pelukannya. Terasa dadanya yang hangat, dan aroma farfumnya yang khas.
Aku begitu nyaman bersamanya.
* * *
Story 05
Keesokan paginya saat aku tiba di lantai tiga, aku bertemu
dengan Leon yang sedang berdiri di pinggir dinding pembatas.
“Pagi Jeslyn!?” Leon menyapaku.
“Leon?!” ucapku sambil berjalan cepat menuju Leon, kemudian
memeluknya.
“Sepertinya kamu bahagia sekali hari ini?!”
“Bahkan sangat bahagia?!” ucapku sambil melepaskan
pelukanku.
“Ayo cerita?! Kenapa kamu sampai seceria ini?!”
“Semalam aku dan Richard sudah jalan?!”
“Kalau begitu selamat ya? Richard pasti akan menjadi kekasih
yang baik buat kamu, aku sudah merasakannya semalam?!”
“Merasakan apa?!” alisku berkerut.
“Apa lagi, kalau bukan ciumannya?! Dia pintar sekali
berciuman?!”
Seketika itu juga seseorang yang menjitak kepala Leon dari
belakang.
“Kau ini!? Ini masih pagi, tahu?! Jeslyn, sebaiknya kamu
jangan terlalu mendengar perkataan sahabatmu yang rada tidak waras ini?!”
“Hihihihi!” aku tertawa geli melihat sikap mereka berdua.
“Ya sudah?! Aku permisi dulu, ya? Ada tugas yang harus kukerjakan di kantor
OSIS!?”
“Ok?!” jawab Leon.
Kemudian aku meninggalkan mereka di sana.
“Kau ini?! Pagi-pagi pikiranmu sudah porno?!”
“Hehehe! Kau sudah mencium Jeslyn, belum?!”
“Bodoh!? Kau pikir aku segila itu?! Mana aku berani
selancang itu!?”
“Kalau begitu, berikan ciuman pertamanmu untuk Jeslyn,
padaku?!”
“Uweekk?!” Rinchard mengeluarkan lidahnya dengan mimik yang
jijik.
“Ha! Ha! Ha! Ha! Aku bercanda!!??”
Rinchard meninggalkan Leon sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya, dan Leon mengikuti Rinchard dari belakang.
Tidak terasa, ujian semester dua sudah selesai. Liburan
sekolah pun tiba. Lima bulan lebih aku sudah jalan dengan Rinchard.
Dia sangat perhatian, sangat lembut. Ia tahu kalau aku
sedang ada masalah. Dalam satu minggu, ada saja kejutan yang diberikan Rinchard
untukku. Ia sering membawaku ke tempat-tempat yang indah, tempat yang sejuk,
tenang, dan nyaman. Pokoknya tempat dan suasana yang aku sukai. Aku benar-benar
bahagia memiliki seseorang seperti Rinchard.
Satu hal lagi, Rinchard begitu pandai membuatku terhanyut
dalam setiap kejutannya. Ia bisa membuatku lupa pada penyakitnya. Setiap kali
aku menanyakan keadaannya, dia selalu menjawab “Jangan
khawatir?” dengan memasang senyum yang manis dan wajah yang meyakinkan.
Sabtu pagi itu, Rinchard lagi-lagi mengajakku ke sebuah
tempat yang begitu indah. Sebuah sungai kecil yang ada di pinggiran sebuah hutan. Cahaya matahari pagi yang menembus
pepohonann dan menyinari sungai, membuat suasana pagi sangat indah dan membuat
hatiku terasa begitu tenang. Sampai akhirnya Rinchard mengeluarkan sesuatu dari
sakunya.
“Jeslyn, berikan tangan kiri kamu?”
“Ada apa?” tanyaku sambil memberikan tangan kiriku.
Kemudian Rinchard menyematkan sebuah cincin kecil yang manis
di jari manisku.
“Richard, kamu tak perlu repot-repot memberikan cincin ini
untukku?” ucapku, meski di sisi lain aku sangat senang menerimanya.
“Cincin adalah lambang pengikat. Cincin diberikan untuk
seseorang yang memang sangat berarti bagi kita. Dan aku memberikan cincin ini,
karena kamu adalah seseorang yang sangat berarti bagiku..
Bisa tolong kamu
pejamkan matamu?”
Segera kupejamkan mataku, tiba-tiba jantungku berdebar kencang.
Dan kemudian aku merasakan sentuhan bibir Rinchard yang mendarat dengan lembut
di bibirku. Hanya sesaat, tapi begitu hangat, dan sangat berarti. Kemudian ia
memelukku.
“Jeslyn, kamu sudah tahu kalau aku tidak akan hidup lebih
lama lagi ‘kan? … Karena itulah, aku
selalu berusaha memberikan kejutan untuk kamu. Aku ingin kamu mengenang
kenangan manis bersamaku.” ucapnya seraya melepas pelukannya dariku.
“Kamu tahu, tidak ada satu pun jiwa di dunia ini yang ingin
dilupakan saat mereka tiada nanti. Dan hanya orang bodoh dan tak berperasaan yang berusaha melupakan semua kenangan tentang seseorang, untuk
melenyapkan kesedihannya dan rasa kehilangannya.
Jangan pernah
lupakan aku.. meski aku tahu suatu saat nanti akan ada seseorang yang
menggantikan posisiku. Tapi sisakanlah satu ruang kecil di hatimu untukku..”
lanjutnya.
Ucapannya begitu menyayat hatiku, sangat perih. Saat itu
juga, tiba-tiba aku merasa sangat takut kehilangan dirinya. Meski aku tahu, aku
tidak punya hak untuk memiliki hidupnya.
“Aku berjanji.. tidak akan melupakan kamu..” ucapku seraya
mendekapnya kembali, sangat erat.
Tak terasa hari menjelang sore. Rinchard mengantarku pulang
ke rumah.
Hampir tiga hari aku tidak mendengar kabar Rinchard. Ia
tidak mengunjungiku ke rumah, juga tidak meneleponku.
Ternyata pagi dihari ketiga itu, Rinchard kembali ke tempat terakhir kami
bertemu. Ia merenung sendirian di pinggiran sungai itu.
Saat ia tengah tenggelam dalam suasana indah
di tepi sungai itu, tiba-tiba penyakitnya kambu
lagi. Ia memegang bagian perutnya, merintih kesakitan. Ia tak bisa bergerak,
sangat sakit, begitu menusuk. Lalu ia merasa seperti mual, ditutupnya mulutnya
dengan tangan kanannya, tapi ia tak mampu menahan darah yang mengalir keluar
dari mulutnya. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi mengeluarkan suara pun dia
tidak bisa. Seketika itu juga ia merasa sangat takut, karena dia belum siap
untuk mati sekarang. Tapi apa daya, ia hanya bisa pasrah dan berharap akan ada
yang melihatnya di sana dan menolongnya. Ia tak mampu lagi untuk tetap terjaga,
dan akhirnya ia roboh.
Saat itu entah kenapa dan bagaimana, Leon tak sengaja sedang
melukis tak jauh dari tempat itu. Dan tak sengaja Leon melihat seseorang yang
sepertinya sedang tiduran di tepi sungai. Tapi ia juga merasa aneh, akhirnya ia mendekati orang
tersebut dengan langkah yang cepat.
Saat ia tiba, betapa terkejutnya dia mendapati Rinchard tak
sadarkan diri dengan darah yang bersebaran di mulut dan di tangan kanannya.
“RICHARD?!!” Leon segera mengangkat bahu Rinchard. Tanpa
pikir panjang, Leon segera menggendong Rincard di punggungnya dan membawa
Rinchard ke mobilnya. Dengan cepat Leon melaju ke rumah sakit terdekat, dan
setibanya di sana, Rinchard segera di bawa ke UGD.
Leon menunggu di luar ruangan. Ia mondar-mandir cukup lama
di depan pintu ruangan, sampai akhirnya dokter keluar dari ruangan Rinchard.
“Dokter?! Bagaimana keadaan teman saya?!”
“Maaf, teman kamu tak bisa bertahan lebih lama lagi. Kami
sudah melakukan semampu kami. Tapi sepertinya, penyakitnya sudah sangat parah.”
Segera Leon masuk ke ruangan Rinchard. Ia duduk di samping
ranjang Rinchard. Ia menungu cukup lama. Akhirnya hari menjelang sore, dan
Rinchard sadar dari pingsannya.
“Leon?” ucap Rinchard dengan nada yang lemah.
“Richard?!”
“Kenapa wajahmu sedih sekali?”
“Richard.. kata dokter kau..” Leon tak mampu menyambung
kalimatnya.
“Hei? Sudahlah, kau tak perlu sedih begitu. Aku saja yang
menjalaninya tak kelihatan sedih sepertimu. Dokter itu pasti mengatakan kalau
aku tak bisa bertahan lebih lama lagi ‘kan?”
“Richard, kenapa kau bisa sampai sekuat ini menghadapi
masalah yang sebenarnya sangat berat untuk dijalani. Kau tahu, kurasa kalau
sekarang ini aku ada di posisimu, aku akan menangis setiap hari.. karena aku
takut menjalani hari-hariku menuju kematian..”
“Jeslyn.. Jeslyn yang membuatku sekuat ini.. dia yang
menjadi semangatku.. Melihat senyumannya yang manis, rasanya satu hari bagiku
sudah sama seperti satu minggu.”
“.. Richard.. Terima kasih, kau sudah menepati janjimu, untuk
membuat Jeslyn bahagia?”
“Bodoh! Kau pikir aku melakukannya untukmu? Aku melakukannya
karena memang aku mencintai Jeslyn dengan sepenuh hatiku..”
“Aku tahu..”
“Leon.. aku tahu waktuku akan tiba..”
“Kau jangan terlalu banyak bicara, bodoh?!”
“.. Sebenarnya aku iri padamu. Kau sangat sehat, beda
denganku.. Aku hanya jiwa yang berdiam dalam raga yang akan menemui ajalnya.
Aku iri, karena aku
tidak punya waktu lebih lama sepertimu untuk menemani Jeslyn..
Karena itu.. aku
titipkan cinta yang ada dalam jiwaku pada ragamu. Kau yang akan menggantikan
aku untuk menjaga, mencintai, dan menyayangi Jeslyn.
Mungkin itu
permintaan terakhirku.. bisa tolong kau kabulkan?”
“.. Pasti sobat?! Aku berjanji?!”
“.. Terima kasih.. Leon, bisa tolong kau bawa aku keluar
dari rumah sakit ini? Aku bosan dengan rumah sakit. Rumah sakit membuatku
merasa kalau aku benar-benar sudah mau mati.. Bisa tolong kau antar aku ke
rumah Jeslyn?”
“Tentu?! Aku akan membawamu pada Jeslyn?”
“Terima kasih..”
* * *
Story Ending
Leon membawa Rinchard keluar dari rumah sakit dan
membantunya berjalan ke mobil. Keadaan Rinchard semakin melemah. Dua puluh
menit di perjalanan, akhirnya Rinchard dan Leon tiba di rumahku.
Sebelum mengetuk pintu, Leon menatap Rinchard. Sesaat kemudian matanya
berkaca-kaca dan segera dipeluknya erat sahabatnya itu.
“(..Selamat jalan
sobat.. Aku tidak akan pernah melupakanmu..)” ucap Leon dalam hatinya.
Rinchard membalas pelukan Leon seraya menepuk punggungnya.
Kemudian Leon melepas pelukannya.
“Senang bisa bersahabat denganmu, Richard?”
“Aku juga sangat beruntung bisa bertemu dan memiliki sahabat
sepertimu?” ucapnya dengan senyum.
“Sekarang, selesaikan tugasmu sebagai seorang lelaki dan
seorang kekasih, kawan?!”
“He-‘m?” Rinchard mengganguk pelan.
Kemudian Leon mengetuk pintu.
“Jeslyn?! Jeslyn?!” ucap Leon setengah berteriak dari luar.
Aku segera berlari menuju pintu rumah, dan membukan pintu.
“Oh? Kalian berdua, ya? Ayo masuk? Kebetulan sekali,
orangtuaku sedang di luar kota?! Aku bosan sendirian di rumah?!”
Rinchard berusaha menunjukkan tidak terjadi apa pun.
“Jeslyn? Bisa kita bicara di luar saja? Aku rasa malam ini
akan ada banyak bintang?! Pasti seru kalau kita bicara-bicara sambil memandangi
bintang.”
“Ehm? Ok?!” ucapku tanpa merasa curiga sedikit pun.
“Aku menunggu di dalam saja, ya? Ada acara televisi yang
tidak boleh kulewatkan?!” ucap Leon dengan senyum kaku. Dipandangnya untuk
terakhir kali sahabatnya itu, kemudian masuk ke dalam rumah.
“Ayo kita duduk di situ?” ucapku sambil menggandeng tangan
Rinchard menuju bangku yang ada di taman sederhana di samping rumahku.
“Tumben kamu dan Leon main ke rumahku? Ada apa?!”
“Ah tidak? Tadi di jalan tak sengaja aku bertemu dengan
Leon, katanya dia mau main ke rumah kamu, ya sudah aku ikut saja?” ucap
Rinchard dengan wajah yang kelihatan sangat pucat.
Tiba-tiba saja Rinchard meletakkan kepalanya di bahuku.
Kemudian dia memandang ke atas langit. Di sana tampak satu bintang yang
cahayanya cukup terang.
“Kamu bisa lihat bintang yang ada di atas sana?”
“Iya?” jawabku saat melihat ke langit. “Dia sendirian..
tanpa bulan.. dan tanpa bintang yang lainnya..”
“Salah.. dia tidak sendirian. Itu karena dia adalah bintang
yang cukup besar dibandingkan bintang yang lainnya, dan dia bintang yang paling
dekat dengan bumi, jadi dia muncul lebih dahulu dari pada bintang yang lainnya.
Sebentar lagi akan ada bulan dan berjuta bintang yang akan menemaninya di
sana.. Hanya tinggal menunggu waktu saja..
Kamu tahu.. saat ini
aku seperti bintang itu..”
Detik itu juga, darah seakan naik turun di tubuhku. Bulu di
belakang leherku dan di sekujur tanganku berdiri. Aku merinding bukan karena
angin yang terasa dingin, tapi karena aku merasa ada jiwa yang tak lagi utuh
dalam raga seseorang. Dan aku harus siap untuk mengantar jiwa itu pergi.
Air mataku mengalir. Aku tahu Rinchard akan pergi.. untuk
selamanya.
“Lihat.. Bulan sudah mulai muncul di sana, dan sekarang
bintang yang sendirian itu berada tepat di sampingnya. Sebentar lagi pasti akan
muncul bintang-bintang yang lainnya..”
Aku tak mampu berkata apa pun. Hanya sedih, sedih, dan
sangat sedih. Tapi aku harus kuat.
“Jeslyn.. kamu tidak akan melupakan janjimu ‘kan?”
“Tidak.. Aku berjanji..”
Detik itu juga, kurangkul tubuh Rinchard yang terasa dingin.
Aku ingin memeluknya sampai detik itu berhenti.
“Kamu ingat tidak? Kamu pernah berkata, kalau Tuhan pasti
punya sebuah rencana yang indah di balik ini semua..?”
“Ia.. Aku ingat.. Sangat ingat..” ucapku dengan menahan isak
tangisku. Aku tidak ingin Rinchard mendengar suara tangisku.
“Kamu tahu, Ternyata kamulah rencana indah yang sudah Tuhan
hadiahkan untukku. Tak pernah terpikir olehku sebelumnya, kalau aku akan
mendapatkan seorang kekasih yang baik sebelum aku mati. Tuhan memang adil,
hanya saja kita selalu terlambat menyadarinya.
Ia memberikan aku
kesempatan untuk bertemu denganmu..
Ia akan membawaku
pergi, tapi Ia tidak membiarkanku merasa sendirian di akhir menuju
perjalananku..
Jeslyn.. terima kasih
banyak..”
Ia melepas pelukannya sejenak. Menatap wajahku, menghapus
air mataku, menyentuh lembut kedua sisi pipiku dan untuk terakhir kalinya ia
memberikan ciuman lembut di bibirku. Kemudian kembali didekapnya tubuhku,
segera kurangkulkan erat kedua tangaku di punggungnya.
Kudengar tarikan nafasnya yang panjang..
(Inilah akhirnya.. Aku sudah siap..)
“Pergilah kekasihku.. Pergilah dengan tenang..
Cintaku abadi
untukmu..” Tangisku mulai pecah.
“.. Aku mencintaimu, Jeslyn..”
Ia tersenyum manis di balik punggungku. Ia sangat puas
dengan perjalan hidup yang telah dilaluinya. Kudengar bisikan kecil yang keluar
dari mulutnya, samar-samar namun terdengar..
“The End..”
Selesai..
Setahun telah berlalu, setelah
kepergian Rinchard. Kini Leon menjadi kekasihku, menepati janjinya pada
Rinchard setahun yang lalu. Ia sahabat sekaligus kekasih yang baik.
Siang itu kami berdua berdiri di samping
tempat peristirahatan terakhir Rinchard. Mengantarkan bunga untuk memperingati
genapnya satu tahun ia menjadi penghuni alam surgawi.
Kupandang ke langit biru yang cerah,
samar-samar tampak seberkas wajah dan senyuman kecil Rinchard yang dibentuk oleh awan-awan putih
yang menggumpal di langit. Seperti mengisyaratkan suatu pesan yang hangat ..
“Tersenyumlah.. karena hanya senyumanmu yang mampu membuatku
bahagia..”
The End
Kehidupan layaknya sebuah bintang yang muncul lebih dahulu
di langit..
Kau, aku, atau mungkin orang lain yang kita kasihi akan
pergi terlebih dahulu meninggalkan dunia ini..
Mereka seperti bintang itu, awalnya terlihat kesepian..
Tapi sebenarnya ia sedang menanti..
Menanti bintang lainnya yang akan menemaninya di langit..
Menanti sang bulan yang dicintainya..
-P.
Sandra. D.
Hi teman-teman semua, terima kasih untuk kamu yang sudah membaca cerpanku ini, ya?
Aku minta maaf jika ada penulisan yang sedikit salah dari cerpan ini. Jika, kalian menemukan kesalahan, mohon beritahu aku ya? Oh iya, jangan segan-segan memberi komentar dan kritikan. Kalau ada pertanyaan, aku akan sangat senang menjawabnya.
Terima kasih sekali lagi. ^_^
Don't copy, pleaseeeeeeeeee! :)
0 komentar