Save Me (Bab 1)
20.39
Tuan Aldrey
“Hoyyyy! MyPho ngupload foto-foto barunya!!”
“AAAAAAA!!!”
“Mana?! Mana??!”
Anak-anak berseragam
putih abu-abu itu segera berkerumun mengelilingi seorang teman mereka yang
memegang tablet, seperti sekelompok lalat yang mengerubungi bangkai tikus.
Mereka saling berebut tempat dan berdesak-desakan untuk melihat hal yang
terpampang di layar kotak itu. Berbagai ekspresi super gila dan decak kagum
keluar dari mulut mereka. Tingkah mereka mirip seperti parade topeng monyet
yang belakangan dilarang beroperasi di ibu kota, lantaran melanggar peri
kehewanan. Beberapa dari anak perempuan bahkan melompat-lompat kegirangan
seakan baru memenangkan undian berhadiah kencan sehari dengan anggota boy band paling keren.
“Semoga ada foto gue!!”
seru seorang siswi.
“Gilak, luar biasa! Gimana
caranya dia bisa bikin foto-foto jenius kayak gini!” seru siswa lainnya.
“Ahhh!! Kita bisa jadi terkenal kalau wajah kita ada di satu fotonya
aja!!! Ahhh!! Gue bisa jadi terkenal,
jadi model sampul majalah, maen felem bioskop!!! AUUUU!!!”
Bukan hanya para siswa itu
saja yang terserang histeri saat melihat foto-foto MyPho, guru-guru mereka pun heboh
membicarakan foto-foto jenius itu. Beberapa guru wanita bahkan mencoba
mencocokkan dan memirip-miripkan wajahnya dengan salah satu wajah di foto tersebut.
“Kayaknya ini wajah saya!
Hahahha!!” Ia begitu terobsesi dengan
foto-foto MyPho.
“Ihh! Ini wajah saya kali,
Buk! Gak liat, alisnya mirip alis saya! Hahaha!”
Guru wanita lainnya terkekeh PD melihat foto seseorang yang alisnya sama sekali
tidak mirip dengan alis tebalnya itu.
~ ~
~
Seorang pemuda dengan
kemeja biru cerah lengan panjang berjalan menuju sofa sambil merapikan kerah
bajunya. Ia duduk di depan televisi.
“On.” Perintah dari suaranya segera menyalakan televisi berukuran 80
inci dengan teknologi canggih yang dapat dioperasikan hanya dengan gerakan
tangan. Ia menggeser beberapa kali tangannya ke samping untuk memindahkan chanel tv. Ia sampai pada saluran
berita.
“Pemirsa. Hari ini
secara mengejutkan lagi-lagi seorang misterius yang menamai dirinya MyPho telah
mempublikasikan foto-foto jeniusnya di dunia maya. Beberapa orang yang wajahnya
tertangkap dalam kamera MyPho mendadak terkenal dan mendapat banyak tawaran
untuk menjadi model sampul majalah-majalah. Bukan hanya majalah dalam negeri,
bahkan majalah luar negeri pun akan mengejar orang-orang yang tertangkap kamera
MyPho. Sudah tiga tahun lamanya foto-foto jenius MyPho menjadi perbincangan
dunia. Banyak cara yang telah dilakukan untuk mencari, membongkar, dan
menemukan keberadaan MyPho, tetapi hingga saat ini tidak ada seorang pun yang
berhasil mengetahui siapa MyPho yang sesunguhnya. Banyak orang yang mengaku
diri sebagai MyPho, tetapi saat diminta untuk melakukan pemotretan, mereka
semua gagal menghasilkan foto jenius seperti yang dihasilkan MyPho. Siapa dan
di mana MyPho, yang jelas dia telah menarik perhatian dunia. Sekian berita
terkini dari kami.”
“Off.” Tv itu mati. Pemuda tersebut melipat tangannya di belakang
kepala dan bersandar nyaman di sofa putih itu. “MyPho.. Hahahahaha!”
“Tuan Aldrey.”
Seseorang memanggilnya.
Aldrey tersentak kaget dan menoleh.
“Ahhh!!” Suaranya mengalun manja. “Kenapa Abang tidak mengetuk pintu
dulu! Mengagetkan saja!”
“Maaf, tapi kau tidak
menutup pintunya. Kita harus bergegas. Ada pemotretan jam sepuluh.”
Aldrey berpikir sejenak
kemudian beralih melihat dadanya yang sudah berbalut kemeja dengan sebuah dasi
menggantung rapi di kerahnya. Aldrey tersenyum lebar penuh percaya diri sambil
memainkan kedua alisnya dan melihat bangga ke arah asisten pribadinya.
“Look mas Bro. Aku sudah ready. Ayoo.. kita go..” ucapnya dengan logat Inggris bercampur Indonesia. Becek.
Belakangan ia memperhatikan sinetron-sinetron Indonesia, dan mencoba meniru gaya
bicara lebay tokoh-tokoh itu. ‘Gaya bicara anak cabe-cabean’, begitu ia
menerangkan pada asisten pribadinya. Aldrey bangkit berdiri sambil merapikan
kembali dasinya.
“Tapi kau belum memakai
celana.” Asistennya melontar.
Aldrey berhenti
seketika dan melihat ke bawah. Di layar televisi, biasanya akan tertulis
‘sensor’ pada bagian itu. Kakinya yang terlihat sangat seksi dengan warna kulit
langsat cerah tanpa bulu, berhiaskan celana dalam berwarna kuning, dan tak lupa
motif spongebob pada bagian
belakangnya. Melihat penampakan eksotis tubuhnya, wajah Aldrey segera bersemu
merah dan panas. Merah, bukan karena malu, tetapi karena lagi-lagi dia lupa memakai
celana.
“Hahaha... Aku lupa. Sesekali lupa tidak masalah, ‘kan?” Aldrey menggaruk-garuk kepalanya
sambil tertawa lebar.
“Ini sudah yang ke-120
kali dalam kariermu, kau lupa memakai celana.” Asistennya mengingatkan lebih
terperinci. Aldrey langsung mengempiskan tawanya yang lebar. Dengan ekspresi
malu bercampur kesal dia berjalan disertai mulut komat-kamit menggerutu.
Aldrey S. Rievaul,
begitu ia mengenal nama dirinya sejak kecil. Seorang pemuda berusia 25 tahun
dengan karir cemerlang di dunia model. Ia blasteran Indonesia-Jerman. Ayahnya
seorang keturunan berdarah biru dari tanah Jawa. Tingginya sempurna untuk kelas
top-model, 186. Hidung mancung dengan iris mata berwarna biru, rambut coklat
gelap, kulit langsat pucat perpaduan antara kulit langsat Indonesia dan Jerman.
Ia menapaki dunia model sejak usia 19 tahun, dan pada usia 23 tahun ia
mengantongi gelar sebagai model internasional dengan bayaran tertinggi nomor
tiga di dunia. Hampir seluruh brand
ternama telah dibintanginya. Wajahnya yang bag pahatan dewa menarik banyak
perhatian industri hiburan. Entah sudah berapa banyak tawaran bermain film dan
serial yang datang padanya, namun semua ia tolak mentah-mentah. Kini usianya 25
tahun. Dan pada tahun 2014 lalu di bulan September, ia memutuskan untuk kembali
dan berkarir di Indonesia.
“Ok, sudah siap! Let’s go Mas
Bro!”
Luxzury hanya tersenyum
tipis melihat tingkah Aldrey. Ia adalah asisten pribadinya. Berusia 27 tahun,
hanya selisih dua tahun dari Aldrey. Luxzury sudah menjadi manager Aldrey sejak
Aldrey berusia 21 tahun. Boleh dikatakan ia adalah orang kepercayaan Aldrey.
Luxzury lulusan master sebuah
universitas bergengsi dengan predikat cumlaude.
Ia juga merupakan tangan kanan Ayah Aldrey, Mr. Canon. Dulu, ketika keluarganya
ditimpa kesulitan ekonomi, Mr. Canon membantu biaya pendidikannya dan
meminjamkan modal usaha untuk orangtuanya. Lux sudah beberapa kali mencoba
mengembalikan uang itu tetapi Mr. Canon selalu menolak dan memohon agar Lux
tidak mencobanya lagi.
Enam tahun silam.
“Bagaimana cara saya
membalas kebaikan Anda? Saya tidak suka menjadi orang yang hanya menerima
tetapi tidak dapat memberi.”
“Hahaha! Aku menolong dengan tulus tanpa berharap semua itu akan
dikembalikan padaku. Jika kau memang berniat untuk membalasnya, lakukanlah pada
orang lain yang lebih membutuhkan. Tapi.. jika kau memang sangat ingin
membalasnya untukku. Aku hanya meminta satu hal saja.”
“Apa itu? Saya berjanji
akan melakukannya.”
“Aku percayakan Aldrey
padamu. Tolong jaga dan awasi dia. Beritahu padaku jika terjadi sesuatu
padanya. Apa pun itu dan sekecil apa pun. Kau bisa membantuku?”
“Ya. Saya bisa. Tapi,
maaf jika saya lancang, apa Aldrey punya masalah kepribadian atau mengidap
sebuah penyakit? Mengapa Anda harus sebegitu ekstra mengawasinya?”
“Cepat atau lambat kau
akan mengetahuinya sendiri. Dan satu hal. Jangan pernah biarkan Aldrey tidur di
mana pun dengan keadaan terbaring, dan jauhkan dia dari gelap. Hanya itu yang
bisa kukatakan untuk saat ini. Aku harap kau bisa mengerti, Lux. Aku mempercayakan
dia padamu. Dan tolong, jaga rahasianya.”
Lux diam sejenak. Ada apa sebenarnya? Banyak pertanyaan
yang mengganjal pikirannya mengenai ucapan Mr. Canon, tapi dia enggan untuk
bertanya lebih lanjut. Mungkin ada baiknya jika ia mendengarkan usulan Mr.
Canon untuk menunggu dan menemukan sendiri jawaban pertanyaannya itu. Lagi pula
mungkin ini masalah keluarga mereka, ia tidak punya hak untuk ikut campur.
“Baik, Pak. Saya
berjanji.” Ia mengangguk mantap.
Mr. Canon tersenyum
sambil menepuk bahu Lux.
Lux menuju mobil dan
Aldrey mengikutinya dari belakang. Ketika akan membukakan pintu untuk Aldrey, pemuda
itu segera meraih tangan Lux.
“I told you, you are not my
maid. Kau adalah saudaraku. My Mas
Bro!” Ia tersenyum lebar sambil
memberi kedipan mata kanannya kemudian membuka pintu dan masuk ke dalam. Lux hanya
tersenyum, menggeleng, kemudian ia menuju pintu satunya dan duduk di depan
kemudi. Mereka berangkat menuju lokasi pemotretan.
Setibanya di lokasi,
Aldrey segera disambut oleh Managing
Editor dari salah satu majalah terkenal di Indonesia.
“I’m glad that you agree become our model.” Ia menjulurkan jabat
tangan.
“Terima kasih. Saya
bisa berbahasa Indonesia.” Aldrey menyambut jabat tangan itu dengan cengir
lebar. Logat Indonesianya sedikit celemokan. “Little-little I can,” bisiknya sambil memainkan kedua alisnya.
Mendengar guyonan Aldrey,
Managing Editor itu tak kuat menahan
tawa. Mungkin ini kali pertama dia berjumpa model top dunia dengan kepribadian
sedikit unik. Konyol. Biasanya mereka
yang bergelar ‘top worlds model’ akan
mencoba tampil seperfect mungkin.
Tanpa ingin basa-basi, tapi kadang malah membuat mereka basi.
“Kenalkan ini Rio
Dewanto, Photographer terbaik Majalah kami. Walaupun mungkin hasilnya tak akan
se-spektakuler karya si Mypho, tapi
dia punya kualitas tersendiri.” Managing
editor memperkenalkan seorang laki-laki muda berusia 25 tahun dengan gaya
chic dan santai yang sedari tadi berdiri di dekatnya.
“Ya. Semua photographer
punya different taste, ‘kan? That’s called Art.” Aldrey tersenyum
ramah sambil berjabat tangan dengan pria itu.
Setelah itu, ia dibawa
menuju ruang tata rias dan di sana para crew
sudah bersiap menangani penampilannya. Ia keluar dari sana dengan style eksekutif muda yang super cool dan karismatis. Saat berdiri di
depan kamera dan sorotan lampu, ia akan memberikan pose yang terbaik.
“Perfect!”
“Nice
Shoot!”
“Good!”
Photographer berulang kali
menyebut kata-kata itu dalam setiap jepretannya. Setiap foto Aldrey menampilkan
pesona dan gairah tersendiri. Majalah apa pun yang diisi dan dibintangi oleh
foto-fotonya akan terjual dua kali lipat dari biasanya.
“Ok. Selesai! Thank’s
Aldrey!” Juru kamera itu kembali mengulurkan jabat tangan dan Aldrey
menyambutnya.
“Thank’s Aldrey! Saya pastikan hasilnya tak akan mengecewakan.” Managing editor itu mengulurkan jabat
tangan dan Aldrey menyambutnya ramah.
“You’r welcome. Senang bekerjasama dengan kalian.”
Setelah itu mereka
berdua meninggalkan studio dan menuju parkiran. Lux merogoh kantong celananya, menarik
keluar kunci mobil dari sana. Tanpa diduga, Aldrey segera merampas kunci itu
dari Lux dan berlari munuju mobil. Lux tampak bingung sesaat.
“Sir!” Ia berlari mengejarnya.
Aldrey menekan tombol
buka kunci, bergegas masuk dan duduk di depan kemudi. Tak lama Lux datang dan
masuk dari pintu satunya. Setelah ia duduk dan memasang sabuk, Aldrey segera
menginjak gas dan melaju.
“Apa gunanya punya SIM kalau
tidak pernah mengemudi. Hahaha!” Ia
teringat pada Managing editor yang menyinggung
nama MyPho. “Hahaha! Tak kusangka,
kepopuleran MyPho seperti virus tingkat satu yang menyerang software komputer. Bahkan photographer terbaik dari sebuah majalah
terkenal masih belum bisa dibandingkan dengan MyPho. Seorang photographer misterius. Dunia ini memang
unik. Penuh teka-teki. FENOMENAL! Hahahaha!”
Aldrey tertawa cukup kencang. Merasa sedikit bangga dan puas.
“Bisa kita singgah ke
toko buku sebentar?” Lux berkata, seperti tak tertarik dengan yang bernama
‘MyPho’. Detik itu juga tawa gelegar Aldrey bubar bagai suara kentut yang sudah
habis terkuras. Wajahnya berubah kusut dan sudut atas bibir kanannya di tarik
ke atas. Kesal. Lux menoleh, dan wajah kusut itu langsung berubah menjadi wajah
malaikat yang penuh kedamaian.
“Apa pun buatmu Abang!”
Lontarnya setengah jengkel dengan logat lebay ala anak cabe-cabean yang lagi
ramai dilakoni tokoh remaja kencur di layar kaca Indonesia. Lux hanya
menggeleng.
“Sir, sebaiknya kau berhenti menonton sinetron-sinetron itu.”
Entah angin apa yang
berlalu, tiba-tiba Aldrey menaikkan gas dan melaju kencang.
“Berapa kali sudah kukatakan,
Lux. Berhenti memanggilku ‘Tu-an’ or
‘Sir’. Hari ini sudah tiga kali terekam di kepalaku, kau mengucapkan kata
itu.”
“Apa yang kau lakukan?!
Kita bisa menabrak! Turunkan gasnya!”
Aldrey melaju lebih
cepat dari sebelumnya. Tak jauh di depan mereka, lampu lalu lintas akan berubah
menjadi merah dalam tiga detik lagi. Para pejalan kaki sedang bersiap-siap
menyeberang. Aldrey tak juga menurunkan gasnya.
“ALDREY! STOP!!”
Aldrey segera menginjak
habis tungkai rem. Laju kencang mobil yang tiba-tiba direm menghasilkan bunyi
decit dari gesekan ban dan aspal. Mereka berhenti tepat di belakang garis
marka, dan pejalan kaki mulai menyeberang. Lux mengembuskan nafas lega.
Jantungnya hampir meletus karena adrenalin yang dipacu bersama dengan laju
kilat mobil, yang jika sedetik saja si maniak Aldrey terlambat menginjak rem,
mereka akan menggilas rata beberapa dari penyeberang jalan.
“Apa kau gila!! Kita
bisa menabrak orang-orang!!”
“Apa susahnya menyebut
namaku.” Aldrey bekata dengan entengnya tanpa merasa ada yang salah.
“What!? I’m not kidding! It was the last time you were driving!”
Aldrey segera menoleh
dan menatap tajam pada Lux. Tiba-tiba ia menginjak kembali tungkai rem dan gas
sekaligus. Ban belakang berputar kencang beradu dengan aspal, menghasilkan
kepulan asap di belakang mobil mereka. Bunyi klakson dari mobil-mobil di
belakang mulai terdengar riuh dan menimbulkan kebisingan.
“OK!! You win!!”
Aldrey berhenti. Ia mengembangkan
senyum jahil. Saat lampu hijau menyala, ia melaju dengan santai.
“Stubborn.” Lux menggerutu.
Aldrey hanya tersenyum
tipis dan terlihat tidak peduli. Ia menyalakan musik di mobil dan mulai bersiul
mengikuti alunan musik sambil menggoyang-goyangkan kepala dan bahunya.
Sementara Lux hanya diam dan malas berkomentar. Sepuluh menit kemudian mereka
sampai di pusat toko buku. Aldrey memarkirkan mobil di parkiran depan toko.
“Kau tidak ingin
melihat-lihat?”
“Aku?” Ia menunjuk
dirinya. “Buku?” Ia menunjuk toko itu. “Come
on! Aku menunggu di sini saja.”
“Ok.” Lux keluar dari dalam mobil dan masuk ke toko buku.
Aldrey meraih iPhonenya dari dalam saku celana. Ia
membuka penelesuran internet dan mencari berita terhangat saat ini mengenai
photographer misterius bernama MyPho. Ada banyak artikel baru terkait
photographer itu. Saat sedang membaca, tiba-tiba matanya tertarik pada poster
besar yang sedang di tempel oleh dua orang pegawai toko di kaca depan. Poster
itu bertema warna hitam dan sebuah tulisan berwarna perak tercetak jelas, Save Me. Ada gambar siluet putih seorang
laki-laki yang di atas kedua telapak tangannya mengambang gambar jembatan
berwarna abu-abu. Sepertinya itu poster promosi untuk buku yang baru
diterbitkan.
Aldrey merasa sedikit
penasaran. Ia keluar dari dalam mobil dan menuju poster itu. Ia berdiri di depannya,
memperhatikan gambar tersebut. Tak lama ada seseorang yang juga berdiri di
sampingnya dan memperhatikan poster itu. Aldrey menoleh sesaat. Ia seorang
perempuan. Wanita itu juga menoleh padanya, memberi senyum disertai anggukan kecil
tanda salam ramah. Aldrey buru-buru membalas salam wanita itu dan tersenyum.
Kemudian wanita itu masuk ke dalam toko dan bersamaan dengannya pula, Lux
keluar dari sana dan melihat Aldrey berdiri di depan poster itu.
“Hei, sedang apa kau?
Aku sudah selesai. Ayo kembali.”
“Ok!” Aldrey beranjak dari sana. Mereka menuju mobil dan kembali ke
rumah.
* *
*
Seseorang mengetuk pintu
ruang pertemuan dan membukanya. Seorang wanita muda berdiri di sana. Kulitnya
putih bersih dengan tinggi sekitar 170 cm. Rambutnya hitam mengombak, iris
matanya yang coklat gelap memancarkan sinar yang ramah. Ada lesung pipi yang
memperindah senyumnya.
“Maudy! Silahkan
masuk.” Ketua tim penerbitan itu menyambutnya dengan jabat tangan. “Mari
duduk.”
“Terima kasih.” Ia
duduk di depan pria tersebut. “Tadi saya lihat poster promosi sudah dipajang di
depan toko. Terima kasih.”
“Saya yang
berterimakasih. Ini hari pertama peluncuran buku terbaru kamu, tetapi saya
menerima kabar di lapangan kalau hampir seperempat dari buku kamu yang tersebar
di luar sudah laku terjual. Ini benar-benar menakjubkan. Berkat karya-karya
kamu yang fenomenal, banyak penulis yang semakin berminat untuk bekerjasama
dengan kami.”
“Terima kasih. Saya
senang bisa membantu.”
“Kami berharap dapat
menerbitkan karya-karya kamu yang berikutnya.”
“Ou, Haha! Tentu. Saya akan segera mengabari
untuk hal itu.”
“Baiklah, ini lembar
penerimaan honor kamu. Kami sudah mengirimkannya ke rekening kamu. Tinggal
ditandatangani saja.”
“Ok. Terima kasih.” Maudy menandatangani kertas itu. “Baik. Saya
harus pamit sekarang. Saya ada janji lain.”
“Ou, ok!” Pria itu berdiri dan menjulurkan jabat tangan. Maudy
menyambutnya.
“Saya permisi.”
Maudy keluar
meninggalkan ruangan. Sebelum meninggalkan toko buku, ia membeli beberapa
majalah, komik, novel, temasuk novel karangannya. Setelah itu ia menuju
parkiran dalam gedung, menghampiri kendaraan roda empat miliknya, dan melaju ke
kampus. Bukan untuk kuliah tapi untuk mengajar. Ia bekerja sampingan sebagai
asisten dosen kelas Bahasa dan Sastra Indonesia. Sudah beberapa kali ia
ditawari untuk menjadi dosen menetap, tetapi ia selalu menolak. Hal ini sangat
disayangkan oleh dekan fakultas karena Maudy memiliki keterampilan mengajar
yang baik dan juga kreatif. Kelasnya tidak pernah sepi, mengingat pula ia
seorang penulis sukses, maka banyak mahasiswa yang tak ingin ketinggalan
kuliahnya.
“Baiklah teman-teman
mahasiswa. Kita akan memulai kuliah hari ini. Sebelumnya, mari kita awali perkuliahan
dengan doa menurut iman percaya kita masing-masing. Doa dimulai.”
* *
*
Hidangan makan malam
sudah tersaji di atas meja. Aldrey sudah duduk di kursinya, menyusul Lux dengan
membawa salad buah sebagai hidangan pencuci mulut. Aroma lezat dari
makanan-makanan itu mengundang selera. Mata Aldrey melotot pada makanan-makanan
itu. Air liurnya mungkin sudah diujung lidah.
“Wauuu!! Kau memang setengah dewa.” Aldrey terkagum-kagum.
“Malam ini giliranmu
memimpin doa.”
“Ok! Mari mengucap syukur.”
Mereka berdua melipat
kedua tangan dan menutup mata. Aldrey mengucapkan doa syukur atas makan malam
mereka.
“Tuhan mengajarkan kami
untuk setia mengucap syukur. Karena itu tak hentinya kami bersyukur terlebih
atas hidangan makan malam yang telah tersedia bagi kami saat ini. Berkati
terlebih dahulu saudara-saudari kami yang masih menderita lapar, kiranya
berkat-Mu tercurah bagi mereka melalui tangan-tangan kasih termasuk kami.
Terima kasih Tuhan. Amin.”
Mereka membuka mata.
“Selamat makan,” ucap
Aldrey kemudian menyantap makan malamnya.
“Kemarin Mr. Canon berpesan. Malam ini jam
sembilan ia akan meneleponmu melalui video
call.”
“E’m.” Ia menjawab dengan gumaman dilanjut anggukan kepala. Mulutnya
terlalu sibuk mengunyah makanan. “Besok ada jadwal pemotretan lagi?”
“Tidak.”
“Bagus! Aku ingin
sedikit bersantai di luar.”
“Apa kau ingin memotret
lagi?”
“Ssstttt!” Aldrey buru-buru mengangkat sendoknya di depan mulut dan
menoleh ke kanan dan kiri seperti orang parno. “Bagaimana kalau ada yang
mendengar. Kita tidak tahu, bisa saja ada penyusup yang bersembunyi di atap
untuk mencari informasi.” Ia melanjutkan makannya.
“Kau mulai gila lagi.
Rumah ini dilengkapi CCTV di semua sudut dan alarm keamanan. Menyusup artinya
bunuh diri. Sebaiknya kau istirahat yang cukup, karena dua hari lagi kau akan
sibuk dengan pemotretan di luar kota sampai akhir pekan.”
“What!?”
Aldrey menghela nafas
panjang dan wajahnya terlihat kusut. Tapi ia tetap melanjutkan makannya dan
begitu antusias dengan hidangan pencuci mulut. Selesai makan, ia segera
meninggalkan Lux.
“Hari ini giliranmu
yang merapikan meja makan dan mencuci piring. Aku ke kamar dulu. Sebentar lagi
jam sembilan.”
Aldrey naik ke lantai
dua menuju kamarnya. Ukuran kamar itu dua kali lebih besar dari ukuran kamar
pada umumnya. Tertata rapi dan bersih dengan sebuah lemari pakaian besar dan
satu lemari khusus sepatu. Ada sebuah meja kerja berbentuk setengah lingkaran menghadap
kaca putih besar, lengkap dengan beberapa barang elektronik di atasnya. Ada lemari
kaca untuk buku, majalah, dan piagam-piagam penghargaan. Di sisi ruang lainnya
ada sebuah sofa empuk di depan layar televisi yang lebar. Hanya satu yang tidak
ada. Kasur. Bukan tidak ada, hanya sudah disulap membentuk sofa empuk yang
nyaman untuk orang dengan kelainan tidur.
Aldrey duduk di depan
tv dan menyalakannya. Sambil menunggu telepon dari Mr. Canon, lagi-lagi ia menyempatkan diri menonton sinetron
Indonesia. Ia tidak tertarik dengan ceritanya, hanya saja cara komunikasi yang
agak ‘berlebihan’ dari tokoh-tokoh itu sering kali membuatnya tertawa geli.
Seperti, “Kamu ini kenapa sih?” yang
mana kata ‘sih’ terdengar berintonasi
legato. Atau, penyebutan kata “Ihh” yang
intonasinya berlegato ganda. Mungkin dengan kata-kata itu dia bisa menciptakan
sebuah lagu seriosa yang penuh dengan legato yang jika diserempet sedikit bisa
berubah menjadi lagu dangdut.
Tepat jam sembilan,
sebuah panggilan terpampang di layar tv-nya. Ia mengambil remote dan
mengaktifkan telepon vidio. Wajah Ayahnya berlatar ruang kerja segera muncul di
sana.
“Hi Dad!”
“Hai! Bagaimana
kabarmu? Ada masalah?”
“Baik. Sejauh ini tidak
ada masalah.”
“Bagaimana dengan
pekerjaanmu?”
“Ada banyak jadwal
pemotretan dua hari ke depan. Bagaimana kabar Ayah? Apa tidak ada rencana
berlibur ke Indonesia?”
“Yahh, seperti biasa.
Selalu sibuk dengan pekerjaan rumah sakit. Banyak pasien yang butuh
pendampingan intens. Mungkin bulan depan aku akan berkunjung ke sana. Tapi, apa
tidak masalah kau kembali ke Indonesia?”
“Aku rasa tidak. Di
sini cukup menyenangkan.”
“Baiklah kalau begitu.
Jika kau memerlukan sesuatu segera kabari aku. Sampaikan salamku untuk Lux.”
Aldrey menarik nafas
dan, “LUX! DADDY TITIP SALAM!!” Ia
berteriak kencang. Tak ada balasan suara. Sekali lagi, pikirnya. “LUXX!!”
“PELANKAN SUARAMU!!”
Lux membalas dengan satu teriakan keras dari lantai bawah.
“HAHAHAHA!!” Mr. Canon
tertawa terbahak-bahak. “Kau masih tidak berubah! Baiklah, aku pikir semuanya
baik. Selamat malam.”
“See you, Dad.”
Telepon berakhir.
Aldrey mematikan tv dan ia termenung di sana untuk sesaat. Tiba-tiba ia
teringat pada poster yang ditempel di depan toko buku itu. Save Me. Rasa penarasannya muncul. Ia bangkit berdiri dan keluar
dari kamar.
“Lux!”
“Ya!” Suara Lux
terdengar berasal dari ruang santai. Aldrey berlari ke sana untuk menemuinya.
“Hei, besok aku ingin
ke toko‒“ Kalimatnya terhenti. Ia melihat salah satu buku yang baru dibeli Lux.
Sampulnya mirip dengan gambar pada poster itu. Ia mengambilnya. Save Me.
“Itu buku baru. Penulis
buku itu sudah menerbitkan banyak novel. Aku sangat tertarik dengan
cerita-ceritanya. Oh, kau mau pergi ke mana besok?”
“Tidak jadi.” Ia masih
memperhatikan sampul buku itu. “Boleh aku pinjam buku ini?”
“Tentu.” Lux melihat
Aldrey dengan sedikit aneh. Biasanya anak itu selalu menolak untuk membaca
buku. Baginya buku mirip seperti batu bata. Isinya hanya kata-kata yang sering membuat
sakit kepala. Dia hanya membaca buku kalau tidak bisa tidur. Benda yang satu
itu merupakan obat tidur yang paling mujarab ketimbang mantra mbah dukun. Sama
sekali tidak ada unsur seninya. Baginya, komik adalah ordo keluarga besar buku
yang paling memiliki nilai seni. Andai semua buku pengetahuan disusun dalam
bentuk komik, ia akan rela menghabiskan waktu jutaan tahun untuk membaca dan
mencintai buku-buku itu. Seperti syair lagu ternama, ‘I have loved you for thousand years.’
“Seingatku.. kau tidak
suka membaca.”
“Aku mungkin akan
menyukainya. Segera.”
“Bukannya kau sendiri
yang bilang kalau benda yang mirip batu bata itu sama sekali tidak ada sense artnya. Kau yakin bisa lulus
membaca lembar pertama?”
“Ck, ck, ck.” Aldrey berdecak diiringi gelengan kepala. “Kau ini
sarjana terbaik dengan gelar master!
Tapi sayangnya, nilai pikirmu untuk seni hanya dapat C dariku. Ada orang bijak
yang berkata kalau kita suka membaca, kita bisa memiliki dunia. Dan memiliki
dunia adalah sebuah seni. Seni untuk memiliki dunia! Hahaha!” Aldrey menyukai kata-katanya barusan. “Sepertinya aku selangkah
lebih pintar darimu. Mungkin kalau aku tetap melanjutkan studiku, aku bisa
mengalahkanmu dan meraih gelar professor muda. Hahaha! Kau harus lebih banyak membaca dan belajar Mas Bro. Ini saran yang bermanfaat bagimu.” Aldrey
menepuk pundak Lux sambil berlalu dengan membawa novel itu.
Lux hanya tercengang dengan
alis kanan meninggi, mendengar penjelasan Aldrey yang sangat tidak masuk akal.
“Hahaha! Seni untuk memiliki dunia! Hahaha!” Tawanya menggelegar di sepanjang anak tangga dan
menghilang di balik pintu kamarnya.
Lux tersenyum dan
menggeleng kepala kemudian kembali pada buku-bukunya.
Aldrey duduk di depan
meja kerja dengan buku itu di tangannya. Tak biasanya dia tertarik dengan buku
selain komik. Tetapi cover buku ini
cukup memancing keluar rasa penasarannya.
“El’eve.”
Itu nama penulisnya. Tidak ada foto penulis. “Nama yang aneh.” Ia membuka plastik
pembungkusnya, bersandar nyaman di kursi dan mulai membaca.
* *
*
0 komentar