Sahabat dan Cinta
16.48
Memang benar, tanpa kedua orang tua, seorang manusia tidak akan pernah terlahir ke dunia ini.
Memang benar, tanpa kedua orang tua, seorang anak tidak akan pernah bertumbuh besar.
Aku ada karena mereka, dan bertumbuh karena mereka. Terima kasih, Papa dan Mama.
Tapi,,
Aku terlahir dalam situasi yang sedikit miris. Masa kecilku mungkin tak seperti masa kecil kebanyakan anak lainnya. Jika berkata, aku dibesarkan dengan penuh cinta kasih oleh kedua orang tuaku, maka mungkin itu sebuah kebohongan kecil.
Ayahku seorang supir angkutan umum. Berangkat kerja jam 5 pagi dan pulang jam 11 malam. Sering aku terkantuk-kantuk menunggunya pulang. Ibuku hanya seorang pedagang pakaian. Ia bangun jam 9 pagi karena lelah, dan pulang jam 7 sore. Sampai di rumah, sudah tugasku untuk membantunya memasak, kemudian makan betiga dengan adik laki-lakiku, lalu belajar. Aku ingat, sering dapat pukulan dan cubitan, ketika belajar dengan Mama. Sesudah itu, aku akan menemani Mama di tempat tidur dan mengelus-ngelus rambutnya agar ia tidur. Kadang ia menunggu Papa sampai pulang. Dan hal ini terjadi bertahun-tahun lamanya.
Dengan keadaan orangtuaku, aku dituntut untuk dapat mandiri sendiri. Aku menjadi orangtua untuk adik laki-lakiku. Aku mencuci sendiri pakaian kami, bangun sendiri kemudian membangunkan adikku, menyetrika baju sekolah, menyiapkan sarapan untuk adikku, dan berangkat ke sekolah. Setelah pulang sekolah, biasanya kami naik angkot. Pernah sekali kuputuskan memangku adikku, karena ongkos kami tidak cukup.
Jadi, bagaimana aku bisa bertahan sampai sejauh ini. Pertama sekali itu karena, TUHAN. Tanpa Dia, aku tinggallah nama yang tercetak di batu nisan. Yang berikutnya, Sahabat dan Cinta. Dua hal itulah yang membesarkanku di dunia ini. Yang membuatku bertahan dan belajar tentang arti kehidupan.
Karena hanya sedikit waktu yang kumiliki bersama orangtuaku, aku membutuhkan seseorang yang bisa mengisi waktu-waktuku. Yang bisa berbagi cerita denganku. Dialah sahabat. Bersama sahabatku, aku bertumbuh, aku belajar, aku berbagi, aku bermain, terkadang bertengkar, kemudian baikkan. Sahabat menjadikanku seseorang yang penuh dengan pengertian, lemah-lembut, dan mengalah. Jarang mereka menuntutku untuk seperti ini dan itu. Malah akulah yang menuntut diriku untuk seperti itu dan ini terhadap mereka. Dan terkadang kami bercerita, tentang apa yang kami rasa kurang dalam pertemanan kami. Itu membuat kami menjadi saling mengasihi satu dengan yang lain.
Kemudian, tentang cinta. Omong kosong, jika ada seseorang yang berkata, tidak perlu dulu bercerita cinta saat ini. Padahal sesungguhnya, kita hidup karena cinta dari orang-orang. Aku belajar tentang cinta, dengan caraku sendiri. Aku belajar mengapa cinta membutuhkan pengorbanan, mengapa cinta tak menuntut apa-apa, mengapa cinta tidak boleh mendendam, mengapa cinta harus siap merelakan.
Pengalamanku tentang cinta bukan hanya seputar kisah antara laki-laki dan perempuan. Aku tidak pernah pacaran hingga berumur 16 tahun. Meski demikian, aku tidak pernah kekurangan pertanyaan dari sahabat dan teman-temanku mengenai cinta. Jika ilmu psikologi mengatakan, bahwa cinta hanya akan mampu bertahan selama 2 tahun, bagiku, itu tidak berlaku. Untuk cinta pertamaku, aku menghabiskan waktu 7 tahun untuk mencintainya, dan tak pernah berbalas. Dan 1 tahun aku habiskan untuk belajar merelakan, melepaskan, dan memaafkannya.
TUHAN memberikanku anugrah yang luar biasa, yaitu kemampuan untuk belajar secara mandiri, bersahabat, dan mencintai. Itu sebabnya, aku jarang merasa jauh dari Dia. Karena setiap persoalan, cerita, dan kebahagiaan, selalu kubawa dalam doa-doaku dan kuceritakan kepadaNya dengan caraku. Ketika aku kekurangan perhatian dan tempat untuk cerita di dalam rumahku, TUHAN memberikanku para sahabat dan membiarkan cinta tinggal di dalam kami semua. Ketika kurasa begitu suntuk tinggal di rumah, aku ingat untuk menganggap kedua orangtuaku sebagai Sahabat dan mencintai mereka layaknya sahabat.
Dan aku begitu bersyukur kepada TUHAN, ketika Sahabat dan Cinta kubiarkan tinggal di dalam diriku dan kubawa masuk ke dalam rumahku, perlahan kutemukan 'rumah' yang sesungguhnya di dalam rumahku.
Salam,
S.
0 komentar