Save Me (Bab 1)

20.39


Tuan Aldrey

“Hoyyyy! MyPho ngupload foto-foto barunya!!”
“AAAAAAA!!!”
“Mana?! Mana??!”
Anak-anak berseragam putih abu-abu itu segera berkerumun mengelilingi seorang teman mereka yang memegang tablet, seperti sekelompok lalat yang mengerubungi bangkai tikus. Mereka saling berebut tempat dan berdesak-desakan untuk melihat hal yang terpampang di layar kotak itu. Berbagai ekspresi super gila dan decak kagum keluar dari mulut mereka. Tingkah mereka mirip seperti parade topeng monyet yang belakangan dilarang beroperasi di ibu kota, lantaran melanggar peri kehewanan. Beberapa dari anak perempuan bahkan melompat-lompat kegirangan seakan baru memenangkan undian berhadiah kencan sehari dengan anggota boy band paling keren.
“Semoga ada foto gue!!” seru seorang siswi.
“Gilak, luar biasa! Gimana caranya dia bisa bikin foto-foto jenius kayak gini!” seru siswa lainnya.
Ahhh!! Kita bisa jadi terkenal kalau wajah kita ada di satu fotonya aja!!! Ahhh!! Gue bisa jadi terkenal, jadi model sampul majalah, maen felem bioskop!!! AUUUU!!!
Bukan hanya para siswa itu saja yang terserang histeri saat melihat foto-foto MyPho, guru-guru mereka pun heboh membicarakan foto-foto jenius itu. Beberapa guru wanita bahkan mencoba mencocokkan dan memirip-miripkan wajahnya dengan salah satu wajah di foto tersebut.
“Kayaknya ini wajah saya! Hahahha!!” Ia begitu terobsesi dengan foto-foto MyPho.
Ihh! Ini wajah saya kali, Buk! Gak liat, alisnya mirip alis saya! Hahaha!” Guru wanita lainnya terkekeh PD melihat foto seseorang yang alisnya sama sekali tidak mirip dengan alis tebalnya itu.

~     ~     ~

Seorang pemuda dengan kemeja biru cerah lengan panjang berjalan menuju sofa sambil merapikan kerah bajunya. Ia duduk di depan televisi.
On.” Perintah dari suaranya segera menyalakan televisi berukuran 80 inci dengan teknologi canggih yang dapat dioperasikan hanya dengan gerakan tangan. Ia menggeser beberapa kali tangannya ke samping untuk memindahkan chanel tv. Ia sampai pada saluran berita.
“Pemirsa. Hari ini secara mengejutkan lagi-lagi seorang misterius yang menamai dirinya MyPho telah mempublikasikan foto-foto jeniusnya di dunia maya. Beberapa orang yang wajahnya tertangkap dalam kamera MyPho mendadak terkenal dan mendapat banyak tawaran untuk menjadi model sampul majalah-majalah. Bukan hanya majalah dalam negeri, bahkan majalah luar negeri pun akan mengejar orang-orang yang tertangkap kamera MyPho. Sudah tiga tahun lamanya foto-foto jenius MyPho menjadi perbincangan dunia. Banyak cara yang telah dilakukan untuk mencari, membongkar, dan menemukan keberadaan MyPho, tetapi hingga saat ini tidak ada seorang pun yang berhasil mengetahui siapa MyPho yang sesunguhnya. Banyak orang yang mengaku diri sebagai MyPho, tetapi saat diminta untuk melakukan pemotretan, mereka semua gagal menghasilkan foto jenius seperti yang dihasilkan MyPho. Siapa dan di mana MyPho, yang jelas dia telah menarik perhatian dunia. Sekian berita terkini dari kami.”
Off.” Tv itu mati. Pemuda tersebut melipat tangannya di belakang kepala dan bersandar nyaman di sofa putih itu. “MyPho.. Hahahahaha!
“Tuan Aldrey.”
Seseorang memanggilnya. Aldrey tersentak kaget dan menoleh.
Ahhh!!” Suaranya mengalun manja. “Kenapa Abang tidak mengetuk pintu dulu! Mengagetkan saja!”
“Maaf, tapi kau tidak menutup pintunya. Kita harus bergegas. Ada pemotretan jam sepuluh.”
Aldrey berpikir sejenak kemudian beralih melihat dadanya yang sudah berbalut kemeja dengan sebuah dasi menggantung rapi di kerahnya. Aldrey tersenyum lebar penuh percaya diri sambil memainkan kedua alisnya dan melihat bangga ke arah asisten pribadinya.
Look mas Bro. Aku sudah ready. Ayoo.. kita go..” ucapnya dengan logat Inggris bercampur Indonesia. Becek. Belakangan ia memperhatikan sinetron-sinetron Indonesia, dan mencoba meniru gaya bicara lebay tokoh-tokoh itu. ‘Gaya bicara anak cabe-cabean’, begitu ia menerangkan pada asisten pribadinya. Aldrey bangkit berdiri sambil merapikan kembali dasinya.
“Tapi kau belum memakai celana.” Asistennya melontar.
Aldrey berhenti seketika dan melihat ke bawah. Di layar televisi, biasanya akan tertulis ‘sensor’ pada bagian itu. Kakinya yang terlihat sangat seksi dengan warna kulit langsat cerah tanpa bulu, berhiaskan celana dalam berwarna kuning, dan tak lupa motif spongebob pada bagian belakangnya. Melihat penampakan eksotis tubuhnya, wajah Aldrey segera bersemu merah dan panas. Merah, bukan karena malu, tetapi karena lagi-lagi dia lupa memakai celana.
Hahaha... Aku lupa. Sesekali lupa tidak masalah, ‘kan?” Aldrey menggaruk-garuk kepalanya sambil tertawa lebar.
“Ini sudah yang ke-120 kali dalam kariermu, kau lupa memakai celana.” Asistennya mengingatkan lebih terperinci. Aldrey langsung mengempiskan tawanya yang lebar. Dengan ekspresi malu bercampur kesal dia berjalan disertai mulut komat-kamit menggerutu.
Aldrey S. Rievaul, begitu ia mengenal nama dirinya sejak kecil. Seorang pemuda berusia 25 tahun dengan karir cemerlang di dunia model. Ia blasteran Indonesia-Jerman. Ayahnya seorang keturunan berdarah biru dari tanah Jawa. Tingginya sempurna untuk kelas top-model, 186. Hidung mancung dengan iris mata berwarna biru, rambut coklat gelap, kulit langsat pucat perpaduan antara kulit langsat Indonesia dan Jerman. Ia menapaki dunia model sejak usia 19 tahun, dan pada usia 23 tahun ia mengantongi gelar sebagai model internasional dengan bayaran tertinggi nomor tiga di dunia. Hampir seluruh brand ternama telah dibintanginya. Wajahnya yang bag pahatan dewa menarik banyak perhatian industri hiburan. Entah sudah berapa banyak tawaran bermain film dan serial yang datang padanya, namun semua ia tolak mentah-mentah. Kini usianya 25 tahun. Dan pada tahun 2014 lalu di bulan September, ia memutuskan untuk kembali dan berkarir di Indonesia.
Ok, sudah siap! Let’s go Mas Bro!”
Luxzury hanya tersenyum tipis melihat tingkah Aldrey. Ia adalah asisten pribadinya. Berusia 27 tahun, hanya selisih dua tahun dari Aldrey. Luxzury sudah menjadi manager Aldrey sejak Aldrey berusia 21 tahun. Boleh dikatakan ia adalah orang kepercayaan Aldrey. Luxzury lulusan master sebuah universitas bergengsi dengan predikat cumlaude. Ia juga merupakan tangan kanan Ayah Aldrey, Mr. Canon. Dulu, ketika keluarganya ditimpa kesulitan ekonomi, Mr. Canon membantu biaya pendidikannya dan meminjamkan modal usaha untuk orangtuanya. Lux sudah beberapa kali mencoba mengembalikan uang itu tetapi Mr. Canon selalu menolak dan memohon agar Lux tidak mencobanya lagi.

Enam tahun silam.
“Bagaimana cara saya membalas kebaikan Anda? Saya tidak suka menjadi orang yang hanya menerima tetapi tidak dapat memberi.”
Hahaha! Aku menolong dengan tulus tanpa berharap semua itu akan dikembalikan padaku. Jika kau memang berniat untuk membalasnya, lakukanlah pada orang lain yang lebih membutuhkan. Tapi.. jika kau memang sangat ingin membalasnya untukku. Aku hanya meminta satu hal saja.”
“Apa itu? Saya berjanji akan melakukannya.”
“Aku percayakan Aldrey padamu. Tolong jaga dan awasi dia. Beritahu padaku jika terjadi sesuatu padanya. Apa pun itu dan sekecil apa pun. Kau bisa membantuku?”
“Ya. Saya bisa. Tapi, maaf jika saya lancang, apa Aldrey punya masalah kepribadian atau mengidap sebuah penyakit? Mengapa Anda harus sebegitu ekstra mengawasinya?”
“Cepat atau lambat kau akan mengetahuinya sendiri. Dan satu hal. Jangan pernah biarkan Aldrey tidur di mana pun dengan keadaan terbaring, dan jauhkan dia dari gelap. Hanya itu yang bisa kukatakan untuk saat ini. Aku harap kau bisa mengerti, Lux. Aku mempercayakan dia padamu. Dan tolong, jaga rahasianya.”
Lux diam sejenak. Ada apa sebenarnya? Banyak pertanyaan yang mengganjal pikirannya mengenai ucapan Mr. Canon, tapi dia enggan untuk bertanya lebih lanjut. Mungkin ada baiknya jika ia mendengarkan usulan Mr. Canon untuk menunggu dan menemukan sendiri jawaban pertanyaannya itu. Lagi pula mungkin ini masalah keluarga mereka, ia tidak punya hak untuk ikut campur.
“Baik, Pak. Saya berjanji.” Ia mengangguk mantap.
Mr. Canon tersenyum sambil menepuk bahu Lux.

Lux menuju mobil dan Aldrey mengikutinya dari belakang. Ketika akan membukakan pintu untuk Aldrey, pemuda itu segera meraih tangan Lux.
I told you, you are not my maid. Kau adalah saudaraku. My Mas Bro!” Ia tersenyum lebar sambil memberi kedipan mata kanannya kemudian membuka pintu dan masuk ke dalam. Lux hanya tersenyum, menggeleng, kemudian ia menuju pintu satunya dan duduk di depan kemudi. Mereka berangkat menuju lokasi pemotretan.
Setibanya di lokasi, Aldrey segera disambut oleh Managing Editor dari salah satu majalah terkenal di Indonesia.
I’m glad that you agree become our model.” Ia menjulurkan jabat tangan.
“Terima kasih. Saya bisa berbahasa Indonesia.” Aldrey menyambut jabat tangan itu dengan cengir lebar. Logat Indonesianya sedikit celemokan. “Little-little I can,” bisiknya sambil memainkan kedua alisnya.
Mendengar guyonan Aldrey, Managing Editor itu tak kuat menahan tawa. Mungkin ini kali pertama dia berjumpa model top dunia dengan kepribadian sedikit unik. Konyol. Biasanya mereka yang bergelar ‘top worlds model’ akan mencoba tampil seperfect mungkin. Tanpa ingin basa-basi, tapi kadang malah membuat mereka basi.
“Kenalkan ini Rio Dewanto, Photographer terbaik Majalah kami. Walaupun mungkin hasilnya tak akan se-spektakuler karya si Mypho, tapi dia punya kualitas tersendiri.” Managing editor memperkenalkan seorang laki-laki muda berusia 25 tahun dengan gaya chic dan santai yang sedari tadi berdiri di dekatnya.
“Ya. Semua photographer punya different taste, ‘kan? That’s called Art.” Aldrey tersenyum ramah sambil berjabat tangan dengan pria itu.
Setelah itu, ia dibawa menuju ruang tata rias dan di sana para crew sudah bersiap menangani penampilannya. Ia keluar dari sana dengan style eksekutif muda yang super cool dan karismatis. Saat berdiri di depan kamera dan sorotan lampu, ia akan memberikan pose yang terbaik.
“Perfect!”
“Nice Shoot!”
“Good!”
Photographer berulang kali menyebut kata-kata itu dalam setiap jepretannya. Setiap foto Aldrey menampilkan pesona dan gairah tersendiri. Majalah apa pun yang diisi dan dibintangi oleh foto-fotonya akan terjual dua kali lipat dari biasanya.
Ok. Selesai! Thank’s Aldrey!” Juru kamera itu kembali mengulurkan jabat tangan dan Aldrey menyambutnya.
Thank’s Aldrey! Saya pastikan hasilnya tak akan mengecewakan.” Managing editor itu mengulurkan jabat tangan dan Aldrey menyambutnya ramah.
You’r welcome. Senang bekerjasama dengan kalian.”
Setelah itu mereka berdua meninggalkan studio dan menuju parkiran. Lux merogoh kantong celananya, menarik keluar kunci mobil dari sana. Tanpa diduga, Aldrey segera merampas kunci itu dari Lux dan berlari munuju mobil. Lux tampak bingung sesaat.
Sir!” Ia berlari mengejarnya.
Aldrey menekan tombol buka kunci, bergegas masuk dan duduk di depan kemudi. Tak lama Lux datang dan masuk dari pintu satunya. Setelah ia duduk dan memasang sabuk, Aldrey segera menginjak gas dan melaju.
“Apa gunanya punya SIM kalau tidak pernah mengemudi. Hahaha!” Ia teringat pada Managing editor yang menyinggung nama MyPho. “Hahaha! Tak kusangka, kepopuleran MyPho seperti virus tingkat satu yang menyerang software komputer. Bahkan photographer terbaik dari sebuah majalah terkenal masih belum bisa dibandingkan dengan MyPho. Seorang photographer misterius. Dunia ini memang unik. Penuh teka-teki. FENOMENAL! Hahahaha!” Aldrey tertawa cukup kencang. Merasa sedikit bangga dan puas.
“Bisa kita singgah ke toko buku sebentar?” Lux berkata, seperti tak tertarik dengan yang bernama ‘MyPho’. Detik itu juga tawa gelegar Aldrey bubar bagai suara kentut yang sudah habis terkuras. Wajahnya berubah kusut dan sudut atas bibir kanannya di tarik ke atas. Kesal. Lux menoleh, dan wajah kusut itu langsung berubah menjadi wajah malaikat yang penuh kedamaian.
“Apa pun buatmu Abang!” Lontarnya setengah jengkel dengan logat lebay ala anak cabe-cabean yang lagi ramai dilakoni tokoh remaja kencur di layar kaca Indonesia. Lux hanya menggeleng.
Sir, sebaiknya kau berhenti menonton sinetron-sinetron itu.”
Entah angin apa yang berlalu, tiba-tiba Aldrey menaikkan gas dan melaju kencang.
“Berapa kali sudah kukatakan, Lux. Berhenti memanggilku ‘Tu-an’ or ‘Sir’. Hari ini sudah tiga kali terekam di kepalaku, kau mengucapkan kata itu.”
“Apa yang kau lakukan?! Kita bisa menabrak! Turunkan gasnya!”
Aldrey melaju lebih cepat dari sebelumnya. Tak jauh di depan mereka, lampu lalu lintas akan berubah menjadi merah dalam tiga detik lagi. Para pejalan kaki sedang bersiap-siap menyeberang. Aldrey tak juga menurunkan gasnya.
“ALDREY! STOP!!”
Aldrey segera menginjak habis tungkai rem. Laju kencang mobil yang tiba-tiba direm menghasilkan bunyi decit dari gesekan ban dan aspal. Mereka berhenti tepat di belakang garis marka, dan pejalan kaki mulai menyeberang. Lux mengembuskan nafas lega. Jantungnya hampir meletus karena adrenalin yang dipacu bersama dengan laju kilat mobil, yang jika sedetik saja si maniak Aldrey terlambat menginjak rem, mereka akan menggilas rata beberapa dari penyeberang jalan.
“Apa kau gila!! Kita bisa menabrak orang-orang!!”
“Apa susahnya menyebut namaku.” Aldrey bekata dengan entengnya tanpa merasa ada yang salah.
What!? I’m not kidding! It was the last time you were driving!”
Aldrey segera menoleh dan menatap tajam pada Lux. Tiba-tiba ia menginjak kembali tungkai rem dan gas sekaligus. Ban belakang berputar kencang beradu dengan aspal, menghasilkan kepulan asap di belakang mobil mereka. Bunyi klakson dari mobil-mobil di belakang mulai terdengar riuh dan menimbulkan kebisingan.
OK!! You win!!
Aldrey berhenti. Ia mengembangkan senyum jahil. Saat lampu hijau menyala, ia melaju dengan santai.
Stubborn.” Lux menggerutu.
Aldrey hanya tersenyum tipis dan terlihat tidak peduli. Ia menyalakan musik di mobil dan mulai bersiul mengikuti alunan musik sambil menggoyang-goyangkan kepala dan bahunya. Sementara Lux hanya diam dan malas berkomentar. Sepuluh menit kemudian mereka sampai di pusat toko buku. Aldrey memarkirkan mobil di parkiran depan toko.
“Kau tidak ingin melihat-lihat?”
“Aku?” Ia menunjuk dirinya. “Buku?” Ia menunjuk toko itu. “Come on! Aku menunggu di sini saja.”
Ok.” Lux keluar dari dalam mobil dan masuk ke toko buku.
Aldrey meraih iPhonenya dari dalam saku celana. Ia membuka penelesuran internet dan mencari berita terhangat saat ini mengenai photographer misterius bernama MyPho. Ada banyak artikel baru terkait photographer itu. Saat sedang membaca, tiba-tiba matanya tertarik pada poster besar yang sedang di tempel oleh dua orang pegawai toko di kaca depan. Poster itu bertema warna hitam dan sebuah tulisan berwarna perak tercetak jelas, Save Me. Ada gambar siluet putih seorang laki-laki yang di atas kedua telapak tangannya mengambang gambar jembatan berwarna abu-abu. Sepertinya itu poster promosi untuk buku yang baru diterbitkan.
Aldrey merasa sedikit penasaran. Ia keluar dari dalam mobil dan menuju poster itu. Ia berdiri di depannya, memperhatikan gambar tersebut. Tak lama ada seseorang yang juga berdiri di sampingnya dan memperhatikan poster itu. Aldrey menoleh sesaat. Ia seorang perempuan. Wanita itu juga menoleh padanya, memberi senyum disertai anggukan kecil tanda salam ramah. Aldrey buru-buru membalas salam wanita itu dan tersenyum. Kemudian wanita itu masuk ke dalam toko dan bersamaan dengannya pula, Lux keluar dari sana dan melihat Aldrey berdiri di depan poster itu.
“Hei, sedang apa kau? Aku sudah selesai. Ayo kembali.”
Ok!” Aldrey beranjak dari sana. Mereka menuju mobil dan kembali ke rumah.

*     *     *

Seseorang mengetuk pintu ruang pertemuan dan membukanya. Seorang wanita muda berdiri di sana. Kulitnya putih bersih dengan tinggi sekitar 170 cm. Rambutnya hitam mengombak, iris matanya yang coklat gelap memancarkan sinar yang ramah. Ada lesung pipi yang memperindah senyumnya.
“Maudy! Silahkan masuk.” Ketua tim penerbitan itu menyambutnya dengan jabat tangan. “Mari duduk.”
“Terima kasih.” Ia duduk di depan pria tersebut. “Tadi saya lihat poster promosi sudah dipajang di depan toko. Terima kasih.”
“Saya yang berterimakasih. Ini hari pertama peluncuran buku terbaru kamu, tetapi saya menerima kabar di lapangan kalau hampir seperempat dari buku kamu yang tersebar di luar sudah laku terjual. Ini benar-benar menakjubkan. Berkat karya-karya kamu yang fenomenal, banyak penulis yang semakin berminat untuk bekerjasama dengan kami.”
“Terima kasih. Saya senang bisa membantu.”
“Kami berharap dapat menerbitkan karya-karya kamu yang berikutnya.”
“Ou, Haha! Tentu. Saya akan segera mengabari untuk hal itu.”
“Baiklah, ini lembar penerimaan honor kamu. Kami sudah mengirimkannya ke rekening kamu. Tinggal ditandatangani saja.”
Ok. Terima kasih.” Maudy menandatangani kertas itu. “Baik. Saya harus pamit sekarang. Saya ada janji lain.”
“Ou, ok!” Pria itu berdiri dan menjulurkan jabat tangan. Maudy menyambutnya.
“Saya permisi.”
Maudy keluar meninggalkan ruangan. Sebelum meninggalkan toko buku, ia membeli beberapa majalah, komik, novel, temasuk novel karangannya. Setelah itu ia menuju parkiran dalam gedung, menghampiri kendaraan roda empat miliknya, dan melaju ke kampus. Bukan untuk kuliah tapi untuk mengajar. Ia bekerja sampingan sebagai asisten dosen kelas Bahasa dan Sastra Indonesia. Sudah beberapa kali ia ditawari untuk menjadi dosen menetap, tetapi ia selalu menolak. Hal ini sangat disayangkan oleh dekan fakultas karena Maudy memiliki keterampilan mengajar yang baik dan juga kreatif. Kelasnya tidak pernah sepi, mengingat pula ia seorang penulis sukses, maka banyak mahasiswa yang tak ingin ketinggalan kuliahnya.
“Baiklah teman-teman mahasiswa. Kita akan memulai kuliah hari ini. Sebelumnya, mari kita awali perkuliahan dengan doa menurut iman percaya kita masing-masing. Doa dimulai.”

*     *     *

Hidangan makan malam sudah tersaji di atas meja. Aldrey sudah duduk di kursinya, menyusul Lux dengan membawa salad buah sebagai hidangan pencuci mulut. Aroma lezat dari makanan-makanan itu mengundang selera. Mata Aldrey melotot pada makanan-makanan itu. Air liurnya mungkin sudah diujung lidah.
Wauuu!! Kau memang setengah dewa.” Aldrey terkagum-kagum.
“Malam ini giliranmu memimpin doa.”
Ok! Mari mengucap syukur.”
Mereka berdua melipat kedua tangan dan menutup mata. Aldrey mengucapkan doa syukur atas makan malam mereka.
“Tuhan mengajarkan kami untuk setia mengucap syukur. Karena itu tak hentinya kami bersyukur terlebih atas hidangan makan malam yang telah tersedia bagi kami saat ini. Berkati terlebih dahulu saudara-saudari kami yang masih menderita lapar, kiranya berkat-Mu tercurah bagi mereka melalui tangan-tangan kasih termasuk kami. Terima kasih Tuhan. Amin.”
Mereka membuka mata.
“Selamat makan,” ucap Aldrey kemudian menyantap makan malamnya.
“Kemarin Mr. Canon berpesan. Malam ini jam sembilan ia akan meneleponmu melalui video call.”
E’m.” Ia menjawab dengan gumaman dilanjut anggukan kepala. Mulutnya terlalu sibuk mengunyah makanan. “Besok ada jadwal pemotretan lagi?”
“Tidak.”
“Bagus! Aku ingin sedikit bersantai di luar.”
“Apa kau ingin memotret lagi?”
Ssstttt!” Aldrey buru-buru mengangkat sendoknya di depan mulut dan menoleh ke kanan dan kiri seperti orang parno. “Bagaimana kalau ada yang mendengar. Kita tidak tahu, bisa saja ada penyusup yang bersembunyi di atap untuk mencari informasi.” Ia melanjutkan makannya.
“Kau mulai gila lagi. Rumah ini dilengkapi CCTV di semua sudut dan alarm keamanan. Menyusup artinya bunuh diri. Sebaiknya kau istirahat yang cukup, karena dua hari lagi kau akan sibuk dengan pemotretan di luar kota sampai akhir pekan.”
What!?
Aldrey menghela nafas panjang dan wajahnya terlihat kusut. Tapi ia tetap melanjutkan makannya dan begitu antusias dengan hidangan pencuci mulut. Selesai makan, ia segera meninggalkan Lux.
“Hari ini giliranmu yang merapikan meja makan dan mencuci piring. Aku ke kamar dulu. Sebentar lagi jam sembilan.”
Aldrey naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ukuran kamar itu dua kali lebih besar dari ukuran kamar pada umumnya. Tertata rapi dan bersih dengan sebuah lemari pakaian besar dan satu lemari khusus sepatu. Ada sebuah meja kerja berbentuk setengah lingkaran menghadap kaca putih besar, lengkap dengan beberapa barang elektronik di atasnya. Ada lemari kaca untuk buku, majalah, dan piagam-piagam penghargaan. Di sisi ruang lainnya ada sebuah sofa empuk di depan layar televisi yang lebar. Hanya satu yang tidak ada. Kasur. Bukan tidak ada, hanya sudah disulap membentuk sofa empuk yang nyaman untuk orang dengan kelainan tidur.
Aldrey duduk di depan tv dan menyalakannya. Sambil menunggu telepon dari Mr. Canon, lagi-lagi ia menyempatkan diri menonton sinetron Indonesia. Ia tidak tertarik dengan ceritanya, hanya saja cara komunikasi yang agak ‘berlebihan’ dari tokoh-tokoh itu sering kali membuatnya tertawa geli. Seperti, “Kamu ini kenapa sih?” yang mana kata ‘sih’ terdengar berintonasi legato. Atau, penyebutan kata “Ihh” yang intonasinya berlegato ganda. Mungkin dengan kata-kata itu dia bisa menciptakan sebuah lagu seriosa yang penuh dengan legato yang jika diserempet sedikit bisa berubah menjadi lagu dangdut.
Tepat jam sembilan, sebuah panggilan terpampang di layar tv-nya. Ia mengambil remote dan mengaktifkan telepon vidio. Wajah Ayahnya berlatar ruang kerja segera muncul di sana.
Hi Dad!
“Hai! Bagaimana kabarmu? Ada masalah?”
“Baik. Sejauh ini tidak ada masalah.”
“Bagaimana dengan pekerjaanmu?”
“Ada banyak jadwal pemotretan dua hari ke depan. Bagaimana kabar Ayah? Apa tidak ada rencana berlibur ke Indonesia?”
“Yahh, seperti biasa. Selalu sibuk dengan pekerjaan rumah sakit. Banyak pasien yang butuh pendampingan intens. Mungkin bulan depan aku akan berkunjung ke sana. Tapi, apa tidak masalah kau kembali ke Indonesia?”
“Aku rasa tidak. Di sini cukup menyenangkan.”
“Baiklah kalau begitu. Jika kau memerlukan sesuatu segera kabari aku. Sampaikan salamku untuk Lux.”
Aldrey menarik nafas dan, “LUX! DADDY TITIP SALAM!!” Ia berteriak kencang. Tak ada balasan suara. Sekali lagi, pikirnya. “LUXX!!”
“PELANKAN SUARAMU!!” Lux membalas dengan satu teriakan keras dari lantai bawah.
HAHAHAHA!!Mr. Canon tertawa terbahak-bahak. “Kau masih tidak berubah! Baiklah, aku pikir semuanya baik. Selamat malam.”
See you, Dad.
Telepon berakhir. Aldrey mematikan tv dan ia termenung di sana untuk sesaat. Tiba-tiba ia teringat pada poster yang ditempel di depan toko buku itu. Save Me. Rasa penarasannya muncul. Ia bangkit berdiri dan keluar dari kamar.
“Lux!”
“Ya!” Suara Lux terdengar berasal dari ruang santai. Aldrey berlari ke sana untuk menemuinya.
“Hei, besok aku ingin ke toko‒“ Kalimatnya terhenti. Ia melihat salah satu buku yang baru dibeli Lux. Sampulnya mirip dengan gambar pada poster itu. Ia mengambilnya. Save Me.
“Itu buku baru. Penulis buku itu sudah menerbitkan banyak novel. Aku sangat tertarik dengan cerita-ceritanya. Oh, kau mau pergi ke mana besok?”
“Tidak jadi.” Ia masih memperhatikan sampul buku itu. “Boleh aku pinjam buku ini?”
“Tentu.” Lux melihat Aldrey dengan sedikit aneh. Biasanya anak itu selalu menolak untuk membaca buku. Baginya buku mirip seperti batu bata. Isinya hanya kata-kata yang sering membuat sakit kepala. Dia hanya membaca buku kalau tidak bisa tidur. Benda yang satu itu merupakan obat tidur yang paling mujarab ketimbang mantra mbah dukun. Sama sekali tidak ada unsur seninya. Baginya, komik adalah ordo keluarga besar buku yang paling memiliki nilai seni. Andai semua buku pengetahuan disusun dalam bentuk komik, ia akan rela menghabiskan waktu jutaan tahun untuk membaca dan mencintai buku-buku itu. Seperti syair lagu ternama, ‘I have loved you for thousand years.’
“Seingatku.. kau tidak suka membaca.”
“Aku mungkin akan menyukainya. Segera.”
“Bukannya kau sendiri yang bilang kalau benda yang mirip batu bata itu sama sekali tidak ada sense artnya. Kau yakin bisa lulus membaca lembar pertama?”
Ck, ck, ck.” Aldrey berdecak diiringi gelengan kepala. “Kau ini sarjana terbaik dengan gelar master! Tapi sayangnya, nilai pikirmu untuk seni hanya dapat C dariku. Ada orang bijak yang berkata kalau kita suka membaca, kita bisa memiliki dunia. Dan memiliki dunia adalah sebuah seni. Seni untuk memiliki dunia! Hahaha!” Aldrey menyukai kata-katanya barusan. “Sepertinya aku selangkah lebih pintar darimu. Mungkin kalau aku tetap melanjutkan studiku, aku bisa mengalahkanmu dan meraih gelar professor muda. Hahaha! Kau harus lebih banyak membaca dan belajar Mas Bro. Ini saran yang bermanfaat bagimu.” Aldrey menepuk pundak Lux sambil berlalu dengan membawa novel itu.
Lux hanya tercengang dengan alis kanan meninggi, mendengar penjelasan Aldrey yang sangat tidak masuk akal.
Hahaha! Seni untuk memiliki dunia! Hahaha!” Tawanya menggelegar di sepanjang anak tangga dan menghilang di balik pintu kamarnya.
Lux tersenyum dan menggeleng kepala kemudian kembali pada buku-bukunya.
Aldrey duduk di depan meja kerja dengan buku itu di tangannya. Tak biasanya dia tertarik dengan buku selain komik. Tetapi cover buku ini cukup memancing keluar rasa penasarannya.
“El’eve.” Itu nama penulisnya. Tidak ada foto penulis. “Nama yang aneh.” Ia membuka plastik pembungkusnya, bersandar nyaman di kursi dan mulai membaca.

*     *     *

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images