Cerita Tentang Mama

06.15


Cerita Tentang Mama

Hari ini aku pulang menimba ilmu dari tanah rantau. Membawa gelar sarjana yang telah lama menjadi impianku, terlebih Mama. Maklum, Mama hanya lulusan SMA. Mama pernah bercerita, dulu ia ingin lanjut kuliah, tapi ekonomi keluarganya sangat tidak memadai. Kakek hanya bekerja sebagai buruh kasar bangunan dan Nenek hanya pedagang kecil. Karena itu, Mama dengan berat hati mengubur impiannya menggapai cita yang lebih tinggi. Ia memutuskan untuk menikah dengan Papa. Kala itu usianya baru 21 tahun, usia yang masih sangat muda. Melihat diriku yang kini berdiri di tangga usia 23 dengan segala tingkah ababilku, tak bisa kubayangkan entah bagaimana waktu itu Mama menjalani hari-harinya sebagai seorang ibu muda.
Teman-teman dan ibu-ibu sebelah datang ke rumah, mampir mengucapkan selamat untukku, sekaligus rumpi tentang hal-hal ‘itu’, apalagi kalau bukan soal suntuk kepala mereka menghadapi tingkah anak-anak di rumah. Tetapi Mama dengan bangga mengatakan, “Saya punya anak yang hebat!” Wuhhh!! Merah pipiku mendengar Mama membanggakanku di depan ibu-ibu. Mereka hanya menjawab Mama dengan gampang, “Yah, Buk, emang anaknya yang udah baik dari sononya. Ibuk beruntung ya, punya anak-anak yang baik.” Ibu yang lain ikut bersuara, “Liat rumahnya sebagus ini, dulu pasti udah hidup senang juga ya. Kalau ekonomi udah mapan, pasti lebih enak ngurus anak-anak. Gak perlu tiap hari kerja lembur. Anak-anak juga dapat perhatian. Ya, pantes anaknya baik-baik semua.” Hahahahaha! Aku tertawa dalam hati, berusaha keras agar bibirku tak memunculkan senyum apa pun, kutahan sekuat mungkin sampai telingaku terasa panas.
SALAH! Kehidupan keluarga kami berawal dari sebuah rumah kontrakan sempit, dengan atap bocor, dan dapur yang rajin kedatangan kecoa, lipan, berbagai jenis serangga dan non serangga lainnya. Ditambah lagi caci hina dari mertua Mama. Dulu ketika umurku masih enam tahun, Mama sering curhat padaku, soal mertuanya yang memandang dia dan keluarganya sebelah mata. Yah, bisa dikata keluarga dari Papa cukup berada, namun apa daya, cinta selalu pulang ke hati mereka berdua. Alhasil, mereka nikah tanpa restu alias kawin lari. Dan dimulailah hari-hari berat kehidupan keluarga kami. Dengan wajah sejuta rasa sedih, Mama berkata, “Sakit hati mendengar omelan Nenekmu yang sangat menyepelekan Mama. Apalagi, tatapan Kakekmu yang terlihat sangat merendahkan. Tapi kita gak boleh benci ya, nak. Harus hormat pada orangtua. Dan kamu.. Kamu adalah kado yang diberikan Tuhan untuk Mama. Kamu harus bisa berkuliah, jangan mau hanya tamat SMA seperti Mama. Susah nyari kerja. Kamu harus jadi anak yang membanggakan. Dengan begitu, orang-orang tidak akan menyepelekan kita lagi. Janji ya, nak.” Aku ingat Mama mencium dahiku waktu itu. Meski tubuhku kecil, aku punya hati yang besar untuk memahami perasaan Mama. Diam-diam kutorehkan janji polos dalam diri, aku akan jadi anak yang baik.
Kehidupan keluarga kami mengalami jatuh bangun, bahkan sering sangat jatuh. Penghasilan Papa dari pekerjaannya sebagai supir angkutan umum sangat tidak menentu. Terkadang ia hanya membawa setoran bersih (hasil dari pembagian gini gitu dengan mandor) sebesar seribu rupiah, terkadang lima ratus, kadang juga seribu lima ratus, dan sering pula nol ratus. Pernah sekali, Mama hanya memasak tiga telur cepluk, cukup untuk aku, Mama, dan Papa. Tapi saat akan makan malam, ketiga telur berharga itu lenyap digondol makhluk non serangga, apa lagi kalau bukan kucing. Miris sekali waktu itu. Tapi dengan lapang dada, Mama menyiapkan nasi dan mengganti lauk dengan kerupuk dan kecap. Aku ingat dia berkata, “Ya sudahlah gak apa-apa. Mungkin kucingnya juga punya anak yang lagi kelaparan. Besok pasti ada rejeki lain. Hari ini disyukuri saja kita masih bisa makan nasi, pake kecap ada krupuknya lagi. Hahaha!” Hahh.. Mendengar tawanya yang memberi semangat, makanan di hari itu berubah rasa; kerupuk bagaikan ayam gorong, dan kecap laksana sup kaldu. Nikmat betul jika segala hal dilakoni dengan penuh syukur.
Kehidupan kami mulai berubah ketika Kakek memberi ijin kami untuk menempati rumahnya di komplek perumahan tentara pensiunan. Dan Nenek meminjami Mama satu kios baju miliknya. Dari sana, Mama mulai putar pikiran untuk mengelola kios itu dengan pinjaman modal dari Nenek yang sebenarnya tidak seberapa. Mama mulai mengisi kios itu dengan helai-helai baru yang jumlahnya dapat dihitung jari-jari. Perih hatiku ketika melihat para pembeli menolak baju yang disodorkan Mama karena modelnya yang kalah saing dari kios tetangga. Ah ya, belum lagi upeti yang harus disetorkan Mama setiap bulan pada Nenek sebagai ganti modal dan kios yang telah dipinjamkannya. Alhasil, ia sering pulang dengan tangan kosong. Tapi Mama selalu berkata, “Tuhan pasti akan membuka tingkap-tingkap rejeki bagi hamba-Nya yang setia.” Sungguh tangguh iman Mama menghadapi kesusahan kala itu. Lagi-lagi, kecap dan kerupuk menjadi teman butir-butir nasi kami. Tak sekali pun kami, anak-anaknya, menyimpan sungut-sungut dalam hati. Sumpah, kami tak berani. Sungguh tak tahu diri jika kami bermanja lagi di saat hidup seperti ini. Hanya syukur yang setia terucap dalam hati. Meski aroma rendang rumah sebelah tercium lezat, tapi makan nasi bertemankan krupuk dan kecap di dalam keluarga ini jauh lebih nikmat.
Bukan hanya perkara kecap dan kerupuk yang selalu menjadi teman makan kami, kesulitan ekonomi waktu itu pun menjalar sampai ke pakaian dalam kami. Aku ingat pernah melihat di jemuran belakang tergantung dalaman Mama yang sudah bertambah ukurannya -molor- dan tambah kolongannya -robek-, hal ini berlaku pula untuk dalaman Papa, juga aku. Mengatasinya cukup mudah. Tinggal jahit kedua sisi pinggangnya untuk mengecilkan ukuran, atau cara yang lebih ekspres; ikat dengan karet gelang. Hahahaha! Lucu memang, jika diingat saat ini. Aku ingat ucapan Mama waktu itu, “Asal kalian bisa sekolah, pakai karung pun Mama rela.” Ia berkata dengan sungguh-sungguh. Dan satu lagi janji yang kuikat dalam hati, aku akan menjadi orang berhasil.
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, usaha dagang Mama memperoleh titik terang. Karena kejujuran dan kegigihannya, banyak pemasok yang mempercayakan pakaian-pakaian mereka untuk dijual Mama, dan itu semua dengan pelunasan di belakang. Alhasil, sedikit demi sedikit, kios kering itu mulai disesaki dengan lusinan dan pajangan baju yang tak kalah model dengan tetangga. Untung yang sedikit-sedikit dikelola Mama dengan baik hingga ia mampu melunasi hutang modal dari Nenek dan mengumpulkan biaya membeli kios itu dari Nenek. Dari sanalah kehidupan kami terus berjalan. Aku tak mengerti istilah roda kehidupan. Aku hanya paham tangga-tangga hidup. Kadang naik, kadang harus turun. Turun bukan untuk terpuruk, tapi untuk mempersiapkan langkah, berlari menuju tangga puncak.
Dari usaha dagang Mama, kami dapat bersekolah. Dari sana, Mama dapat merenovasi rumah tua pemberian Kakek. Dan dari sana pula, Mama menghantarku sampai ke bangku kuliah. Dan hari ini aku pulang. Kembali dari tanah rantau, menggali ilmu serta makna hidup. Membawa gelar sarjana yang telah lama menjadi impianku, terlebih impian Mama yang tak berkesempatan duduk di bangku kuliah. Padaku ia titipkan mimpi yang pernah ia kubur, mengenai angan dan cita. Teman-teman dan ibu-ibu sebelah datang ke rumah, mengucapkan selamat, sekaligus numpang rumpi ini itu. Mama hanya menanggapi dengan senyum dan sedikit kata. Tak begitu menanggapi dugaan ibu-ibu tentang hidupnya yang seperti tanpa susah. Kulihat senyum di wajahnya yang kini penuh sejuta bahagia. Hanya aku yang paham bagaimana kala itu Mama berjuang melawan kerasnya hidup. Sungguh. Ia sosok yang hebat. Satu janji terakhirku dengan harga mati, Ma, aku akan membahagiakanmu.
Terima kasih, Ma.

P. Sandra D.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Strorial.co

Terang dan Gelap

06.55


Catatan 13 Mei 2013

Alkisah, dahulu ada dua benda bersinar di dunia. Bernama, 'Terang' dan 'Gelap'. Awalnya kedua benda itu hidup damai dengan sisinya masing-masing. Si 'Terang' memancarkan sinar yang menerangi dan menghangatkan. Sedangkan si 'Gelap' memancarkan kelam yang membutakan dan menyesatkan.

Selang beberapa masa, muncullah hasrat dalam kedua benda itu. 'Terang' merasa dirinya paling benar. Ia menginginkan agar 'Gelap' dilenyapkan dan dunia hanya dihuni oleh dirinya. 'gelap' juga merasa benar. Ia merasa 'Terang' terlalu naif dan meninggikan diri. Ia merasa diremehkan. Akibatnya, mereka saling membenci dan ingin saling menguasai.

Peperangan pun tidak terelakkan. Keduanya beradu saling menghantam. Namun, tidak ada di antara mereka yang lebih kuat maupun lebih lemah. Keduanya seimbang. Tetapi tidak ada yang mau mengalah.

Perbuatan kedua benda itu diketahui oleh Yang Agung dan Ia merasa sangat kecewa pada mereka. Maka Yang Agung menghancurkan kedua benda itu dalam satu benturan maha dasyat. Keduanya hancur, melebur, dan berpencar di dunia.

Namun Yang Agung tidak melenyapkan mereka, tetapi malah mempertemukan mereka dalam satu dinia yang baru. Di mana ada 'Gelap', di sana akan ditempatkan sedikit 'Terang'. Dan di mana ada 'Terang', di sana akan terlihat setitik 'Gelap'.

Keduanya saling mengisi, hidup bersama, namun tidak ada yang mampu berkuasa. Hanya Yang Agung yang bertahta dan menjadi penengah atas keduanya. Itulah keseimbangan.

P. Sandra D.

Kenali Dirimu Bagian 2: Kestabilan Emosional

05.27


Cara mengerjakan tes


Sekali lagi Anda sebaiknya berada dalam kerangka pikiran tegas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan cepat. Tes ini harus diselesaikan dalam waktu sekitar sepuluh menit, tetapi tidak ada perbedaan penting bila Anda memerlukan waktu lebih lama atau lebih cepat.
Nb: Tulisakan jawaban Anda pada selembar kertas.

(1) Apakah Anda ingat (A) atau tidak (B) pernah membuat jengkel seseorang dalam setahun terakhir?

(2) Apakah Anda pernah (A) atau belum pernah (B) kesulitan bernapas ketika Anda tidak sedang berolahraga?

(3) Apakah Anda menggunakan aspirin, kodein, obat penenang, pil stimulan, pil tidur, atau obat-obat lain lebih dari sekali dalam sebulan. Iya (A) atau tidak (B).

(4) Apakah Anda sering merasa tidak bahagia (A) atau bahagia (B)?

(5) Apakah Anda mempunyai alasan (A) atau tidak (B) untuk percaya bahwa Anda tidak dapat mengelola situasi kehidupan semudah orang lain pada umumnya?

(6) Apakah ada (A) atau tidak ada (B) situasi sehari-hari ketika Anda merasa sangat menyadari siapa diri Anda?

(7) Apakah Anda pernah (A) atau belum pernah (B) menderita diare lebih dari sekali dalam dua tahun terakhir?

(8) Apakah Anda merasa takut (A) atau tidak (B) pada ketinggian, elevator, terowongan, atau harus keluar rumah?

(9) Apakah Anda percaya bahwa diri Anda adalah orang yang emosional (A) atau tidak (B) dalam banyak situasi kehidupan sehari-hari?

(10) Apakah banyak orang menganggap Anda sebagai orang yang sensitif (A) atau tidak (B)?

(11) Terakhir kali Anda mulai belajar ketrampilan baru, apakah Anda merasa percaya diri (B) atau tidak (A)?

(12) Sejauh yang Anda ketahui, apakah Anda pernah (A) atau belum pernah (B) berjalan ketika sedang tidur?

(13) Apakah Anda pernah (A) atau belum pernah (B) merasa sangat menderita selama beberapa jam setelah menghadapi situasi yang terasa memalukan bagi Anda?

(14) Apakah Anda merasa sangat terganggu (A) atau tidak (B) bila seorang teman tidak memberi salam pada Anda?

(15) Apakah Anda biasanya percaya diri (B) atau tidak (A)?

(16) Apakah Anda pernah (A) atau belum pernah (B) bertemu dengan sebanyak tiga orang yang Anda anggap jelas tidak bersahabat dengan Anda dalam setahun terakhir?

(17) Apakah Anda ingat (A) atau tidak (B) pikiran Anda tiba-tiba terasa hampa ketika sedang bekerja dalam lima tahun terakhir?

(18) Apakah Anda pernah (A) atau belum pernah (B) cuti sakit lebih panjang dari teman-teman pada umumnya?

(19) Agakah Anda merasa bingung (A) atau tidak (B) bila Anda diinterupsi (diganggu) ketika sedang bekerja?

(20) Apakah Anda biasanya mudah tertidur dan tidur dengan nyenyak (B) atau tidak (A)?

(21) Apakah Anda merasa jengkel (A) atau tidak (B) terhadap gangguang ringan?

(22) Dalam keadaan darurat, apakah Anda biasanya bertindak dengan tenang dan efisien (B) atau tidak (A)?

(23) Apakah Anda sering khawatir (A) atau tidak (B) mengenai kesehatan Anda?

(24) Apakah Anda banyak berkeringat (A) atau tidak (B) tanpa berolahraga?

(25) Apakah banyak orang menganggap Anda seorang pemalu (A) atau tidak (B)

(26) Apakah setiap hari Anda berlatih fisik dengan keras (A) atau tidak (B)?

(27) Apakah Anda sering melamun (A) atau tidak (B) ketika Anda seharusnya bekerja?

(28) Apakah Anda biasanya bersikap toleran terhadap keanehan orang lain (B) atau tidak (A)?

(29) Apakah Anda ingat (A) atau tidak (B) pernah mengalami mimpi buruk dalam lima tahun terakhir?

(30) Apakah Anda kadang-kadang tanpa penyebab yang jelas merasa bahagia atau sedih (A) atau tidak (B)?

Sekarang hitung berapa jumlah A dan B yang Anda peroleh.

Berikut penjelasan berdasarkan jumlah huruf B:
30-29 = Tidak tergoyahkan
28-27 = Tenang sekali
26-25 = Tidak dapat diganggu
24-23 = Tenang
22-21 = Seimbang
20-18 = Mantap
17-14 = Sedang
13-11 = Simpatik
10-9 = Mudah berubah pendirian
8-7 = Emosional
6-5 = Sensitif
4-3 = Terlalu sensitif
2-1 = Gugup
0 = Neurotik


Jawaban yang Anda berikan menentukan apakah Anda secara emosional sensitif atau tidak peka. Anda yang melingkari 20 huruf B atau sekitar itu sangat pandai mengendalikan semosi, tampaknya tidak pernah merasa kecewa, tidak banyak berubah dan seimbang, dan mungkin menjalani hidup tanpa gejolak naik dan turun seperti yang dialami oleh orang dengan tipe yang lebih sensitif. Anda yang melingkari lebih banyak dari 20 huruf A termasuk orang yang emosional dan mudah berubah pendirian, dan mungkin lebih banyak merasakan ketegangan mental dari hidup daripada kebanyakan orang lain. Di lain pihak, Anda yang melingkari 22 huruf B adalah orang yang sedikit berdarah dingin dan mungkin mencoba mengatur hidup sedemikian rupa sehingga mendatangkan beberapa tantangan untuk memberikan ketenangannya.


Sumber: "Tes Kepribadian", editor Irwin Saputra, Scientific Press.

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images