Cerpen "Lose Memory"

00.38

 
Kisah ini sebenarnya terlalu panjang untuk diceritakan, dan terlalu sakit untuk dikenang kembali.
Siang itu aku menunggu kedatangan kekasihku Ray direstoran yang biasa kami datangi. Aku duduk ditempat yang biasa kami duduki, tepatnya disamping kaca putih berukuran kira-kira 4x3 meter dan tak jauh dari pintu masuk, sehingga dari tempat dudukku aku bisa melihat pemandangan diluar dari dalam restoran.
Siang itu matahati bersinar agak terik, membuatku meneguk kembali lemon tea yang ada dihadapanku. Tak lama kemudian aku melihat seseorang yang sepertinya tidak asing bagiku tapi tentu saja dia bukan Ray. Tak kusangka orang itu berjalan menuju restoran dan masuk melalui pintu masuk dan duduk bersebrangan dari tempatku duduk, sehingga kami saling berhadapan.
Kulihat kembali baik-baik wajah yang sepertinya tidak asing bagiku itu. Ku putar kembali memori masa laluku dan akhirnya kutemukan identitas pria yang tak jauh dari hadapanku itu. Ternyata dia adalah Kevin, cinta pertamaku dan orang yang sudah kubuang dari memori kehidupanku. Detik itu juga kuputar ulang ingatanku untuk mengingat kembali kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan dengannya.
Bermula dari enam tahun yang lalu ketika aku berusia dua belas tahun dan duduk di bangku kelas 1 SMP. Saat itu sudah memasuki bulan November, latihan untuk menyambut perayaan natal sudah dimulai. Aku dengan dua orang temanku dan Kevin dengan dua orang temannya kebagian tugas untuk mengisi acara dengan tarian adat.
Saat itu aku dekat dengan seorang teman menariku, sebut saja namanya Reta dan kebetulan dia anak dari kakak mamanya Kevin, jadi mereka masih bersaudara dekat. Kebetulan saat itu dia berpasangan dengan Kevin, sedang aku dengan yang lainnya. Awalnya aku tidak memiliki rasa apapun dengannya tapi kami sering sekali adu mulut, begitu juga dengan Reta. Kami berdua tidak bisa akrab dengan Kevin.
Hingga suatu waktu kami bertukar pasangan, dan tak sengaja saat aku sedang menari aku melihat mata Kevin yang tajam, dan detik itu juga jantungku berdegub dengan kencang, pikiranku tak lagi konsentrasi membuat gerakannku jadi kacau. Saat itu juga pelatih menyuruh kami untuk istirahat sejenak.
Seperti biasa aku duduk berdua dengan Reta. Entah kenapa aku menceritakan hal itu kepada Reta. Tapi aku sangat terkejut ketika Reta menjawab, “Tapi kak, aku sudah terlebih dahulu merasakan hal itu terhadap Kevin. Meski kami terlihat tidak akrab, tapi sebenarnya aku sudah duluan menyukainya. Lagian dari segi posisi, aku yang lebih berhak mendapatkan Kevin. Maaf ya kak, bukan maksudku melarang kakak untuk menyukai Kevin hanya saja sebaiknya kakak mundur. Lagi pula aku dan dia sudah dijohkan.” Katanya sambil beranjak dari sampingku. Saat itu juga aku bagai disambar halilintar, aku tak tahu kata-kata apa yang tepat untuk mewakili perasaan yang saat itu sedang kuhadapi. Tapi yang jelas saat itu juga air mataku mengalir. Aku tak tahu apa penyebabnya, apakah karena perkataan Reta atau kerena rasa berkecil hati yang saat itu kuhadapi.

*   *  *

 
Sehabis perayaan natal, semua yang ikut mengisi acara natal termasuk kami diajak berlibur kesebuah pemandian alam. Masih teringat jelas diingatanku, saat itu aku sangat senang sekali karena bisa bermain dengan Kevin, meski bukan permainan yang asik tapi bisa dibilang seperti gaduh-gaduh kecil. Kami saling memersikkan air, saling mengejar dalam air. Bahkan dia sempat-sempat menarik tali braku saat aku hendak berenang untuk menjauh darinya.
Sepulang dari berlibur, aku begitu bahagia hatiku seperti berbunga-bunga. Aku tak tahu kata apa yang tepat untuk mewakili perasaan yang saat itu sedang kurasakan. Tapi entah kenapa setiap memori bahagia yang aku lalui bersamanya harus dibarengi juga dengan memori yang menyedihkan ataupun yang mengecewakan.
Siang itu Reta datang kerumahku, kebetulan sedang tidak ada orang dirumah jadi kami bisa lebih leluasa berbicara. Tapi entah kenapa Reta menyampaikan sesuatu padaku mengenai Kevin.
“Kak, tau nggak sih, semalam adalah malam yang paling menyenangkan bagiku?” Katanya sambil tersenyum-senyum.
“Menyenangkan?”
“Iya? Soalnya semalam aku berbincang-bincang dengan kak Kevin?”
“Oh ya? Apa-apa saja yang kalian bicarakan?”
“Banyak. Salah satunya soal siapa yang sedang disukai kak Kevin.”
“Terus dia bilang siapa?” Tanyaku ingin tahu.
“Sabar! Sabar dong kak! Pertama aku tanya sama dia apakah dia suka sama kakak.”
“Dia jawab apa?” Tanyaku berharap jawabannya adalah ‘Iya’.
“Dia jawab, ‘tidak’. Yang dia suka itu aku.”
Saat itu juga aku bagai ditimpa sesuatu yang sangat berat, hatiku terasa seperti ditikam puluhan pisau. Rasanya sangat sakit membuat nafasku serasa sesak sesaat. Rasanya air mataku mau tumpah, tapi aku mencoba menahannya.
“Reta. Bisa kita sambung pembicaraannya lain waktu? Kakak sedang tidak enak badan.”
“Oh! Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu, ya? Kakak istirahat saja.” Katanya sambil beranjak keluar dari rumah.
Sesegera mungkin aku menutup pintu rumah sessaat setelah ia keluar dari gerbang rumahku. Saat itu juga aku merasa benar-benar tak enak badan, dan segera aku masuk kedalam kamarku dan mengunci pintu. Kurebahkan tubuhku diatas tempat tidur sambil mengulang kembali perkataan Reta itu, dan tak sadar air mataku mengalir begitu saja.
(“ . . . Aneh. Kenapa aku harus menangisi seseorang yang baru kukenal beberapa saat saja. Padahal aku hanya menyukainya dan tidak lebih. Dan kenapa juga aku harus berharap pada seseorang yang tak menaruh harapan padaku?”) Ucapku dalam hati mencoba untuk membesarkan hatiku.

*   *   *

Minggu itu setelah aku pulang dari kebaktian minggu aku melihat papan pengumuman sensus warga gereja. Saat itu juga aku segera mencari nama Kevin. Setelah aku menemukannya, betepa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa Kevin memiliki tanggal kelahiran yang sama denganku. Ketika aku tengah serius memperhatikan hal itu, seseorang menepuk pundakku.
“Kak!” Ucapnya seraya menepuk pundakku.
“Hehhh! Kamu bikin kaget saja!” Ucapku pada Prety, yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri.
“Emang kakak lagi liatin apa sih?”
“Ini, tanggal kelahiran Kevin.” Ucapku sambil menunjuk pada tanggal itu.
“Memang ada apa dengan itu?”
Kuletakkan jari telunjukku pada tanggal kelahiran Kevin, lalu ku geser perlahan jariku menuju pada tanggal kelahiranku. Saat itu juga Prety sontak mengerti.
“Astaga! Kakak dan Kevin, punya tanggal kelahiran yang sama!” Ucapnya seakan percaya tak percaya.
“Iya. Tepatnya bisa dibilang persis sama. 17 September 1992.”
“Wahhhh! Kayaknya beneran jodoh ni, kak?!”
“Aku harap begitu...
 Kakak pulang duluan, ya?” Kataku ingin mengakhiri pembicaraan.
Segera aku meninggalkan papan pengumuman itu dan pergi meninggalkan Prety yang masih melihat papan pengumuman. Sambil berjalan kaki menuju rumahku yang tak jauh dari gereja, aku memikirkan kembali tanggal itu. Saat aku sedang memikirkannya, terlintas sesaat wajah Kevin dipikiranku, entah kenapa saat itu juga seperti aura panas merasuk kedalam tubuhku, jantungku berdenyut kencang. Langkahku terhenti sesaat, kulihat pepohonan tertiup angin ringan.
Tanpa pikir panjang, kulanjutkan kembali perjalananku menuju rumah. Setelah sampai dirumah, kulihat kedua orang tuaku dan kedua saudaraku sedang menungguku dimeja makan. Segera saja aku mengganti pakakianku dan menuju ruang makan untuk makan bersama keluargaku. Setelah selesai makan siang, aku pamit kepada kedua orang tuaku, untuk pergi kerumah sahabatku Rachel. Rachel adalah sahabatku sedari kecil, bahkan kami sudah seperti bersaudara.
Setelah menempuh perjalanan kaki kira-kira sepuluh menit, akhirnya aku sampai didepan rumahnya, dengan segera ia membukakan pintu dan mengajakku kekamarnya. Disana aku mulai bercerita tentang semua unek-unek dihatiku.
“Say, aku mau cerita ni.”
“Soal Kevin pastinya kan?”
“Iya.”
“Memang ada apa? Tapi tunggu dulu, kalau dlihat dari wajah kamu yang asem, pasti beritanya nggak enak!”
“Iya. Tadi sewaktu pulang gereja, tak sengaja aku melihat papan pengumuman sensus warga gereja. Dan disana kulihat kalau ternyata tanggal lahirku dan tanggal lahir Kevin itu sama.”
“Apa?! Sama?! Maksudnya sama-sama 17 September 1992?!”
“Iya.”
“Wahhh! Bahaya ni! Biasanya orang yang memiliki tanggal kelahiran yang sama, tidak akan pernah bisa akur, apalagi berjodoh. Bisa beda pendapat terus, bisa beranten mulu! Gak baik ini!”
“Tapi aku suka sekali padanya.”
“Tenang aja ya, sayang? Jodoh nggak kemana kok?! Biarkan saja semuanya berjalan seiring waktu. Biarkan waktu yang memberikan jawabannya sama kamu.”
“Iya, makasih ya?” Ucapku masih memasang wajah asam.
“Ya udah?! Dari pada kita suntuk mikirin jodoh, lebih baik kita nonton film horror. Kemarin aku baru beli banyak film horror. Gimana?!”
“Boleh! Boleh! Ayo kita nonton sekarang. Aku nggak sabar ingin menguji adrenalinku!” Kataku semangat, seraya melupakan hal tadi.

*   *   *

Lima tahun hampir berlalu, aku dan Rachel bertumbuh semakin dewasa. Tapi sayangnya aku dan Kevin tidak satu SMA, tapi rasa sukaku kini berubah menjadi rasa cinta yang dalam. Aku tak tahu mengapa aku bisa sangat mencintai seseorang yang sama sekali tidak pernah menaruh hatinya padaku. Tiap kali aku berusaha melupakannya, tiap kali itu juga aku semakin sulit melupakannya.
Saat itu pertengahan awal bulan November, sudah mulai mendekati Natal. Latihan untuk menyambut Natal sudah dimulai. Tapi entah kenapa, tiap rasa sakit yang kurasakan itu terjadi disaat mendekati Natal.
Kebetulan aku, Kevin, dan Prety serta lima teman kami yang lainnya kebagian tugas untuk mengisi acara dengan vokal group, dan seperti biasanya latihan dirumahku.
Kini hal yang menyakitkan hatiku, dimulai lagi dari sini. Aku dan Prety berteman baik. Tapi aku dan dia berbeda karakter, tidak seperti halnya aku dengan Rachel. Dia sangat agresif dan mudah bergaul dengan lawan jenisnya. Entah kenapa aku merasa, kian hari ia kian berusaha mendekati Kevin, padahal ia tahu kalau aku menyukai Kevin. Hingga akhirnya dipertengahan bulan November Kevin menyatakan cintanya pada Prety didepanku. Sontak aku bagai disengat listrik ribuan volt tak mampu berkata apapun, hanya bisa terdian dan terpatung melihat mereka berpeluk mesra. Dan ketika Prety menoleh kearahku, aku sama sekali tidak melihat raut penyesalan diwajahnya. Saat itu juga dendam amarah muncul dihatiku, tapi aku tak sampai hati meluapkannya.
Saat itu juga aku berpikir, kalau akulah wanita yang paling lemah. Aku tak pernah berani mengungkapkan perasaanku, karena aku terlalu menjaga harga diriku, terlalu egois dan berharap kalau dialah yang akan menyatakan perasaannya kepadaku.
Dan dari situ aku mulai berkomitmen (“Ketika perasaan itu singgah dihatiku, maka aku akan mengungkapkannya, tak peduli dia suka atau tidak, yang penting dia sudah mengetahui perasaanku. Ketika rasa itu hilang, hancur, atupun pergi, maka aku akan membuka hatiku untuk rasa yang baru.”)

*   *   *

Akhirnya, setelah tamat dari SMA, aku dan Rachel memutuskan untuk pergi kuliah diluar kota, sebelum aku dan Rachel berangkat, aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku pada kevin. Aku mengajaknya bertemu disebuah restoran kecil.
“Kevin... Sebenarnya...
 Sebenarnya aku sudah menyukaiku sejak 6 tahun yang lalu.” Ucapku dengan gugup.
“Lalu?”
“Aku ingin tahu bagaimana perasaan kamu padaku?”
“Jujur. Sebenarnya aku gak pernah punya rasa apapun terhadap kamu. Maaf ya?! Lagian aku sudah memiliki seseorang yang sangat kucintai.” Ucapnya tanpa basa-basi.
Saat mendengar jawabannya, entah kenapa dadaku terasa begitu sakit dan sesak, air mataku seakan mau meleleh, tapi berusaha menahannya, aku tak mau terlihat sebagai wanita yang lemah dihadapannya. Saat itu juga aku merasa kalu tubuhku menjadi kaku, dunia serasa sunyi dan senyap.
Untungnya Rachel yang memahami perasaanku, saat itu juga langsung menarik tanganku dan segera keluar dari restoran itu. Dan sejak dari itu aku bersumpah untuk melupakannya.
Dan berakhirlah sudah putaran memory yang pernah kubuang dari ingatanku. Saat itu juga jelaslah diingatanku siapa sosok yang ada tak jauh dari hadapanku itu. Rasa menyesal dan sakit kembali timbul dihatiku, untungnya Ray telah tiba dan saat itu juga kuajak Ray untuk pulang.
“Ray, kita pulang aja, yuk?” Ajakku dengan wajah ceria, mencoba menyembunyikan rasa amarah dihatiku.
“Lho? Kok pulang sih? Apa kita nggak makan dulu?”
“Tiba-tiba aku jadi pingin jalan-jalan sama kamu?”
“Jalan-jalan? Kamu ini permintaannya suka yang aneh-aneh, ya?”
“Ayolah? Gimana kalau kita piknik dipuncak?”
“Emmm? Boleh! Tapi kamu yang masak ya?!”
“Iya?!”
Aku segera berjalan keluar dari restoran sambil menggandeng tangan Ray. Dan ketika kami hendak menuju motor Ray, seseorang menarik tangan kiriku. Dengan segera aku dan Ray menoleh pada orang itu.
“Scarlet?! Apa kamu tidak mengenali aku?”
“Tidak, saya tidak kenal dengan kamu.” Ucapku dengan mimik yang tak meragukan.
“Scarlet, aku Kevin! Aku tahu kamu berpura-pura! Tolong maafkan aku, aku baru sadar kalau ternyata aku mencintai kamu?! Kembalilah padaku. Berikan aku kesempatan?!”
“Maaf teman. Tapi aku tak mengenal kamu.”
Kataku sambil menarik tanganku dari genggamannya, dan menarik Ray menuju motornya.
“Ayo, sayang?”
“Sayang, kamu kenal orang tadi?”
“Tidak?! Aku tak pernah mengenalnya.”

*     *     *

Original by: Puspita Sandra Dewi 
 
 

CERPEN "Hadiah Kecil untuk Shyrena"

00.26

 
Malam itu mimpiku membangunkanku dari tidur lelapku, kulihat di samping kiriku, suami dan putri kecilku masih tertidur lelap. Masih jelas terbersik diingatanku, kalau saat itu aku memimpikan Shyrena yang memelukku erat sambil berkata, “Aku sangat menyayangimu.”, sesaat sebelum aku terbangun.
Shyrena adalah sahabatku sejak aku masih duduk di Taman Kanak-kanak. Shyrena adalah sahabatku yang terbaik, dia orang yang rela melakukan apa saja untuk memberikan yang terbaik untukku. Rasanya aku tak sanggup membendung air mataku jika mengingat kembali kisah persahabatan kami.
Kisah ini bermula dari 27 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Saat itu aku adalah seorang gadis kecil yang pendiam, hal itu membuatku tidak memiliki teman di kelas. Hingga suatu kali Shyrena menghampiriku saat aku duduk terpaku di bangkuku, dan ia duduk di sampingku.
“Hai? Kenapa kamu diam terus?” tanyanya dengan lembut sambil tersenyum.
“Eh.. aku tidak punya teman.”
“Aku juga tidak punya teman, mereka semua tidak mau berteman denganku, karena aku tidak memiliki uang jajan seperti mereka.” ucapnya polos. “Kalau begitu kita berteman saja?! Kamu mau ‘kan berteman denganku?” lanjutnya, sambil tersenyum.
“Mau!?” jawabku dengan senyum sambil menganggukkan kepala.
Mulai dari saat itu, aku selalu pergi bersama dengannya kemana pun saat berada di sekolah. Hingga suatu hari disaat jam istirahat, kami mengeluarkan bekal kami masing-masing kecuali Shyrena.
“Kamu tidak makan?” tanyaku, tapi ia hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. “Kenapa? Kamu membawa bekal, ‘kan?” lanjutku, dan sekali lagi ia hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya.
Saat itu juga dengan segera kubuka bekalku yang berisi tiga potong sandwitch yang cukup besar dan membagikan sepotong untuknya.
“Ini. Kamu pasti lapar.” ucapku, sambil menyodorkan sepotong sandwitch di tanganku.
“Terima kasih banyak.” ucapnya sambil tersenyum seraya mengambil potongan sandwitch itu dari tanganku, dan sebelum ia memakannya ia berdoa terlebih dahulu. Setelah itu ia memakan sandwitch itu dengan lahap, bahkan sebelum aku menghabiskan sepotong sandwith yang ada di tanganku.
“Ini, makan saja?!  Sepertinya kamu sangat lapar.” ucapku sambil mendekatkan kotak bekalku padanya.
“Tidak usah, terima kasih.”
“Tidak apa, makan saja. Aku sudah kenyang sekali. Tadi pagi aku menghabiskan dua potong sandwitch dan segelas susu.”
Dengan malu-malu ia mengambil sepotong sandwitch itu.
“Terima kasih banyak, Mischelly.” ucapnya dan kemudian memakan sandwitch itu.

*     *    *

Waktu berlalu, aku sudah sangat dekat dengan Shyrena, saat itu usia kami 8 tahun dan kami duduk di bangku SD kelas 3.
Siang itu, kami duduk berdua di dalam kelas, teman-temanku yang lain pergi ke kantin untuk makan siang. Tak sengaja saat aku akan keluar untuk membuang sampah, aku menyenggol meja guru dan vas bunga yang ada di atasnya pecah menjadi beberapa bagian.
Shyrena segera menghampiriku, dan mulai mengutip pecahan vas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Sedang aku hanya berdiri terpaku, yang saat itu yang kurasakan hanya ketakutan akan hukuman yang akan diberikan oleh guruku, hal itu membuat kedua telapak tanganku dingin, berkeringat, dan gemetar. Saat Shyrena telah selesai membersihkan pecahan itu, ia segera menggandeng tanganku dan membawaku duduk. Tak lama setelah itu, bel masuk pun berbunyi, jantungku berdebar dengan kencang, keringat mengalir di dahiku, tenganku basah kerena ketakutan.
Ibu guru pun masuk ke dalam ruangan dan ketika dilihatnya vas bunga itu tidak lagi ada di atas meja, dia menanyakannya kepada kami. Hingga tiga kali ia bertanya, tapi tak satu pun dari teman-teman kami mengetahuinya. Ia mulai marah dan pergi keluar sambil memeriksa tempat sampah, saat ia masuk kembali, dengan suara menggelegar ia bertanya,
“Siapa yang sudah memcahkan vas bunga?!!”
Aku semakin ketakukan, air mataku mulai jatuh, dan untuk sekali lagi ia bertanya,
“Siapa yang sudah memecahkan vas bunga?!! Jika tidak ada yang mengaku, maka kalian semua akan saya hukum!!!!”
Tapi tiba-tiba Shyrena mengangkat tangannya, saat itu yang terbersik di pikiranku adalah kalau Shyrena pasti akan memberitahukan kalau akulah pelakunya. Tapi ternyata tanpa ragu ia berkata,
“Saya yang memecahkannya, bu.”
“Kemari kamu!!” ucap ibu guru dengan sangat marah, dan dengan segera ia mengambil rotan, “Angkat kedua tangan kamu!!”.
Segera rotan itu menghantam kedua telapak tangan Shyrena masing-masing sebanyak 20 kali. Setelah itu Shyrena kembali duduk di sampingku, dan ia melihatku sambil tersenyum, seakan tak merasakan sakit apa pun, kemudian tangannya mengahapus air mata di wajahku, saat itu kurasakan tangannya begitu hangat, mungkin akibat pukulan dari rotan itu.
Pelajaran pun dilanjutkan, saat menulis aku melihat tangan Shyrena yang bergemetar sambil memegang pena. Saat itu juga kuambil buku catatannya dan mencatatkan semua untuknya. Dia hanya tersenyum melihatku sambil berkata, “Terima kasih.”.

Tak terasa, persahabatanku dengan Shyrena sudah terjalin lama, hinga usia kami 12 tahun, dan kami sudah duduk di bangku SMP kelas 1.
Siang itu setelah pulang dari sekolah, kami melewati sebuah toko boneka dan di sana aku melihat sebuah boneka beruang putih yang lucu. Aku begitu menyukainya, sampai-sampai aku tidak sadar kalau telah terpaku berdiri di sana.
“Mischelly? Apa yang kamu lihat?”
“Eh..! Tidak ada. Ayo kita pulang?” ucapku, dengan masih memikirkan boneka beruang itu.
Bulan pun terus berlalu, hingga saat itu tepatnya pada bulan Maret tanggal 20, yaitu hari ulang tahunku. Siang itu, bibiku memberitahuku kalau ada seorang gadis kumel menungguku di luar gerbang. Dengan penuh penasaran aku segera pergi untuk melihatnya, saat kubuka gerbang betapa terkejutnya aku, ternyata gadis kumel itu adalah sahabatku, Shyrena, dan ia membawa boneka beruang putih yang dibungkus rapi dengan plastik hias yang indah, di tangannya.
“Ini untuk kamu Mischelly?! Aku tahu kamu sangat menyukai boneka ini.” ucapnya sambil menyerahkan boneka itu padaku. “Selamat ulang tahun, ya?” lanjutnya.
Setelah menerima boneka itu, air mataku mengalir karena terharu dan aku langsung memeluknya, ia pun memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku dengan lembut, aku begitu nyaman dipelukannya.
“Bagaimana kamu bisa membeli boneka ini?”
“Mudah saja. Aku tinggal bekerja sebagai pembersih toilet dan pencuci piring di sebuah rumah makan.” ucapnya sambil tersenyum.
“Ayo masuklah?!” ajakku sambil menggandeng tangannya.
“Tidak perlu. Aku sangat kotor. Lagipula, pasti saat ini seluruh keluargamu sudah berkumpul di dalam sana. Aku tidak ingin membuatmu malu karena memiliki seorang teman yang kumel.”
“Tapi kamu adalah sahabatku. Aku tidak peduli apa yang dikatakan mereka!”
“Sudahlah. Sekarang pergilah masuk ke dalam dan berkumpullah bersama mereka. Lain kali aku berjanji akan datang ke sini dengan penampilan yang lebih pantas.”
Air mata pun mengalir kembali di pipiku, dan kembali lagi ia menghapus air mataku. Kemudian ia pergi dari hadapanku lalu menghilang di perempatan jalan.

*   *   *

Sang waktu terus berputar. Dan kini aku dan Shyrena sudah berusia 16 tahun, dan saat itu kami duduk di bangku SMA kelas 2.
Pagi itu aku membongkar isi tasku, dan membolak-balik bukuku, mencari uang sebesar duaratus ribu untuk pembayaran uang sekolahku bulan itu. Aku mulai takut, firasatku mengatakan uang itu pasti hilang.
“Kamu mencari apa, Chelly?” tanya Shyrena yang saat itu duduk di sampingku.
“Uang.” ucapku dengan nada bergetar.
“Uang apa?”
“Uang sekolah.”
“Uang sekolah? Kamu simpan di mana tadinya?”
“Sudah aku masukkan ke dalam tas, tapi aku tidak tahu bagaimana bisa hilang.” ucapku. Dan lagi-lagi aku hanya bisa menangis, dan ketakutan karena aku tidak berani mengatakannya kepada orang tuaku.
“Tenang Chelly, kita akan cari jalan keluarnya!?”
“Tapi bagaimana? Dari mana kita bisa mencari uang sebesar itu?”
“Sudah jangan menangis lagi?” Aku akan mencari jalan keluarnya untukmu?!” ucapnya dengan lembut sambil menghapus air mataku.
Seminggu pun telah berlalu, aku tak menemukan jalan keluar apapun untuk masalahku, tapi aku tak berani bertanya pada Shyrena, aku takut merepotkannya. Yang bisa kulakukan hanyalah berputar-putar di rumahku dan membongkar kamarku berharap dapat menemukan uang itu. Dan aku tak berani berkata jujur ketika orang tuaku menanyakan apa yang sedang kucari.
Esoknya, seperti biasa aku selalu datang lebih awal dari teman-temanku. Dan ketika akan memasuki kelas kulihat di samping tempat dudukku Shyrena yang sedang berdoa, dan wajahnya terlihat begitu teduh. Aku menunggunya selesai, karena aku tak mau mengganggunya. Setelah ia selesai berdoa, barulah aku masuk dan duduk di sampingnya.
Dan kemudian kulihat Shyrena mengeluarkan beberapa lembar uang limapuluhribuan dari saku bajunya, dan ia memberikannya langsung ke tanganku, sambil menggenggam tanganku dengan kedua tangannya yang terasa kasar.
“Untuk apa ini Shyrena?” tanyaku bingung.
“Pergilah, bayar uang sekolah kamu. Aku tahu kamu pasti belum menemukan uang itu.” ucapnya dengan senyum manis.
“Tapi dari mana kamu mendapatkan uang sebesar ini?” tanyaku sambil menangis, mengingat betapa baiknya sahabatku itu.
“Mudah saja. Setiap pulang sekolah aku bekerja di toko material, dan aku membantu mengangkat bahan-bahan material. Mereka memberiku upah Rp. 25.00 per hari, dan mungkin aku akan terus bekerja di sana.” ucapnya dengan senyum yang lembut.
Dan saat itu juga aku segera memeluknya erat, kemudian pergi untuk membayarkan uang sekolahku. Air mata penuh haru dan kagum bercucuran di pipiku.

Waktu pun kembali berlalu, saat itu usia kami 20 tahun dan kami duduk dibangku kuliah.
Siang itu aku berdiri di samping Shyrena sambil merangkul pundaknya, menyaksikan pemakaman kedua orang tuanya dan seorang saudara laki-lakinya. Mereka meninggal karena sakit keras yang sudah lama berdiam dalam tubuh mereka. Tapi anehnya tak setetes pun air mata keluar dari mata Shyrena, yang ada hanya senyum di wajahnya. Saat itu ia berkata,
“Dengan begini, mereka tidak perlu lagi harus mengerang kesakitan, karena semuanya sudah berakhir. Sekarang mereka bisa tidur dengan tenang.”
Mendengar ia mengucapkan hal seperti itu, air mata pun kembali mengalir di wajahku, tak kusangka ia wanita yang begitu tegar. Jika aku menjadi dia, mungkin aku akan menangis meraung-raung karena kini aku hanya tinggal seorang diri.
Setelah dari itu, Shyrena memutuskan untuk berhenti kuliah dan terus bekerja di toko bahan bangunan. Setiap ada kesempatan, aku selalu mengunjunginya dan membawakan makanan untuknya.

Waktu terus berputar, tahun terus berganti. Dan tak terasa, persahabatan kami sudah sangat dekat. Kami bagaikan saudara. Dan saat itu usia kami 27 tahun, tak disangka aku akan menikah.
Sehari sebelum acara pernikahanku berlangsung, mamaku memberitahuku kalau ada seorang wanita yang berpakaian kotor mencariku dan menungguku di luar gerbang. Aku segera berlari ke luar gerbang dan di sana aku begitu terkejut melihat sahabatku Shyrena sedang menungguku dengan pakaian yang begitu kotor dan wajah yang penuh debu, sambil membawa tas kotak yang besar dan cantik di tangannya. Dan saat aku sudah ada di depannya, segera ia memberikan tas itu ke tanganku.
“Apa ini?” tanyaku tanpa melihat isi tas itu.
“Bukan apa-apa. Tapi aku mohon kenakanlah itu disaat pernikahan kamu, aku ingin sekali melihat kamu mengenakannya.” katanya dengan senyum, dan segera pergi dari hadapanku dan menghilang di perempatan jalan.
Aku segera masuk ke rumah dan menuju kamarku, aku membuka tas itu dan mengeluarkan isinya. Seketika itu juga air mataku mengalir deras, ketika kulihat bentangan gaun pengantin putih yang begitu indah dan bercahaya pemberian Shyrena.
Aku tak mampu berkata apa pun. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan banyak hal sedemikian rupa untukku, aku tak tahu budi apa yang pernah kuperbuat untuknya.

Akhirnya hari pernikahanku pun tiba, aku begitu bahagia mengenakan gaun pengantin yang diberikan Shyrena. Aku tak sabar menanti kehadirannya. Sebelum acara dimulai, tiba-tiba seorang penjaga pintu memberitahuku kalau ada seseorang yang menungguku di luar dan sangat ingin bertemu denganku. Saat itu juga aku tahu kalau itu pastilah Shyrena. Dengan segera aku melangkah cepat dan ternyata benar itu adalah dia. Dia yang sangat kucintai dan kukasihi. Dia sahabatku, Shyrena. Ia mengenakan pakaian yang kotor dan wajahnya penuh debu.
“Kenapa kamu berpakainan seperti ini?”
“Aku minta ijin sebentar pada bossku untuk datang kemari melihatmu mengenakan gaun ini. Dan ternyata benar, kamu terlihat begitu cantik mengenakannya!” katanya dengan senyum.
Aku mengeluarkan sapu tanganku dan membersihkan wajahnya dari debu, mataku mulai berkaca-kaca, aku ingin sekali menangis.
“Jangan menangis. Aku tidak ingin melihatmu menangis dihari bahagiamu ini?!”
Mendengar perkataannya yang tulus, aku langsung mendekap tubuhnya yang penuh debu.
“Shyrena, bukan hari ini yang membuatku bahagia. Tapi yang membuatku sangat bahagia adalah karena aku memiliki seorang sahabat seperti kamu.”
“Terima kasih, Chelly.. Ayo, pergi masuk ke dalam. Aku tidak mau keluarga suamimu mengetahui kalau mereka mempunyai menantu yang berteman dengan seorang yang kumel, itu akan membuat suamimu malu.” ucapnya sambil membersihkan gaunku dari debu yang berasal dari tubuhnya dengan sapu tangannya.
“Tapi aku ingin sekali kamu masuk, dan melihatku. Aku tidak peduli dengan pendapat mereka tentangku. Aku mohon Shyrena, setelah ini aku akan tinggal bersama suamiku di luar kota. Dan kita.. pasti akan jarang bertemu.” ucapku sambil mengenggam erat tangannya.
“Jangan takut Chelly, aku akan tetap berada di sini. Lagipula yang memisahkan kita hanyalah jarak, jika kamu merindukanku, kamu bisa mengunjungiku kapan saja ‘kan?” ucapnya dengan senyum yang lembut di wajahnya, setelah itu ia memelukku erat, kemudian ia pergi dari hadapanku.
Setelah acara pernikahanku selesai, aku dan suamiku pergi meninggalkan kota kelahiranku, menuju kota kelahiran suamiku.

*     *    *

Aku tak dasar kalau air mataku sudah mengalir membasahi pipiku, mengenang kasih Shyrena kepadaku. Seduhan suara tangisku membuat suamiku terbangun.
“Sayang, kenapa kamu menangis?”
“Tidak ada apa-apa.” ucapku sambil menghapus air mataku.
“Tidak ada, apanya?” Ayo kita bicara di luar, jangan sampai kita membangunkan Sheren.” ucapnya dengan berbisik.
Kami segera meninggalkan kamar dan menuju ruang keluarga, dia menyuruhku duduk dan mengambilkan segelas air untukku.
“Ayo cerita, kenapa kamu menangis?”
“Aku teringat pada, Shyrena.”
“Shyrena?”
“Iya, dia sahabat terbaikku. Dialah orang yang telah memberikan gaun pengantin tempo hari, padaku. Dia sangat menyayangiku, begitu juga denganku, dan dia sudah seperti saudara kandung bagiku. Aku tidak tahu budi apa yang sudah kulakukan padanya, sehingga ia berbuat begitu banyak kasih padaku.”
“Lantas, di mana dia saat pernikahan kita berlangsung?”
“Saat itu ia berpenampilan begitu kotor, ia tidak mau masuk ke dalam ruangan meski aku sudah memaksanya, ia takut membuatmu malu di hadapan keluargamu, karena memiliki istri yang berteman dengan seorang kumel.”
“Ya Tuhan?! Kenapa kamu tidak pernah cerita padaku? Di mana dia sekarang?”
“Dia ada di kota asalku.”
“Besok kita akan menjemputnya. Kita akan memberikan rumah kosong kita yang ada di sebelah untuknya. Sayang, kamu harus tahu, begitu sulit untuk mendapat seorang sahabat sejati, jika aku menjadi kamu aku tak akan meninggalkannya hidup sendiri dalam kesusahan!?”
Saat itu juga aku langsung memeluk suamiku dan menangis di pundaknya.
“Aku ingin dia berada di sisiku. Shyrena orang yang telah mengajarkanku arti dari persahabatan dan cinta kasih. Aku akan membawanya ke sini. Aku tak akan meninggalkannya sendiri lagi!!”

Esok pagi pun tiba, aku dan suamiku segera pergi menuju kota asalku, dan menuju tempat Shyrena bekerja. Setelah tiba di sana, aku langsung turun dari mobil, dan di sana kulihat Shyrena sedang mengangkat karung-karung semen menuju gudang penyimpanan. Hatiku bagai teriris pisau berkali-kali, melihat Shyrena yang kukasihi kini begitu kurus, kering, dan pucat. Aku tak sanggup lagi membendung air mataku, dan dengan segera aku berlari mendapatkan dirinya dan memeluknya erat sambil menangis di pundaknya.
“Shyrena ini aku, Mischelly. Maafkan aku tak pernah mengunjungimu.” ucapku setelah melepas pelukanku.
“Mischelly, aku sangat merindukan kamu?!” ucapnya sambil menghapus air mataku dengan tangannya yang kasar.
Sambil menggenggam erat tangannya aku berkata,
“Aku tahu kamu akan selalu mengabulkan permintaanku. Karena itu kabulkanlah permintaanku yang satu ini.. ikutlah bersamaku sekarang juga dan jangan coba-coba untuk menolaknya.”
Dengan senyuman lembut, ia menganggukkan kepalanya. Dan dengan segera aku membawa Shyrena pergi dari tempat itu, dan kami langsung menuju kota asal suamiku.
“Apa kamu belum berkeluarga?” tanyaku sambil membersihkan debu di wajahnya.
“Mana mungkin ada pria yang menyukai wanita buruk rupa dan pekerja kasar sepertiku.” ucapnya sambil tersenyum.
“Kamu adalah gadis tercantik dan termanis dan terbaik yang pernah ada. Hanya lelaki bodoh yang tak mampu melihat sisi lain dari kecantikanmu.”
Setelah itu kami tiba di rumahku, aku mengajaknya turun dan langsung membawanya menuju rumah yang akan kami berikan kepadanya. Ray, suamiku, meninggalkan kami berdua di sana.
“Shyrena, sekarang kamu dan keluargamu natinya akan tinggal di rumah ini. Anggap saja ini sebagai hadiah ulang tahun yang selama ini tak sempat kuberikan pada kamu, dan kamu tidak boleh menolaknya!” ucapku sambil menggandeng tangannya.
“Kalau begitu, apa lagi yang bisa kuucapkan selain terima kasih banyak pada kamu.”
Segera aku membawa masuk Shyrena dan menyuruhnya mandi, setelah itu aku memberikannya pakaian yang rapi dan lebih pantas untuk dikenakannya.
Setelah 5 bulan ia tinggal bersama kami, ia bertambah gemuk, wajah dan kulitnya kini menjadi bersih, dan wajahnya yang manis kini telah terlihat jelas.
Dan diusianya yang ke 32 tahun, akhirnya ia mendapatkan seorang pria yang tulus mencintainya.

Dan tibalah hari pernikahannya. Aku mengambil gaun pengantin yang dulu pernah dihadiahkannya padaku.
“Kali ini, akulah yang akan melihat kamu mengenakan gaun indah ini.” ucapku sambil tersenyum.
Dan untuk pertama kalinya aku melihat ia meneteskan air mata, dan memelukku dengan erat.
“Kamu adalah sahabat yang paling berarti untukku.” ucap Shyrena.
Di acara pernikahannya, ia diminta untuk mengatakan siapa orang yang paling dikasihinya. Ia menjawab,
“Orang yang paling kukasihi adalah sahabatku sendiri yaitu, Mitchelly. Aku tidak tahu ia masih mengingat kejadian ini atau tidak, sekitar 27 tahun yang lalu, saat kami duduk di bangku Taman Kanak-kanak.
 Siang itu aku sangat lapar, aku tidak makan hampir dua hari agar ayah, ibu, dan adik laki-lakiku yang sedang sakit bisa makan, dan disaat itulah ia memberikanku dua potong sandwitch yang cukup besar dan begitu enak, sehingga laparku berkurang. Mungkin itu tidaklah berarti untuknya, tapi tidak denganku yang saat itu hampir mati kelaparan. Dan untuk membalas kebaikannya aku berjanji, selama aku masih hidup dan sehat, aku akan berusaha untuk membuatnya bahagia.” ucapnya dengan senyum manis sambil memandang ke arahku, dan saat itu juga ruangan dipenuhi dengan tepuk tangan penuh kagum, dan air mata haru termasuk juga diriku.

“(Terima kasih, Shyrena)”.

*    *    *

 
Terima kasih teman, kalian sudah mau membaca cerpen ini sampai selesai.
Aku sudah pernah mencoba mengirim cerpen ini ke sebuah redaksi, hanya saja mereka mengembalikannya, karena cerpen ini lebih dari tujuh halaman. Tapi, aku akan mencoba mengedit sesi-sesi mana saja yang diperlukan, dan menambah fell dibagian end nya.
Aku sangat mengharapkan masukan dari kalian.
Oh iya, kalau ada pertanyaan, aku akan sangat senang menjawabnya.
Terima kasih.



Don't copy pleaseeeeeeeeee!!!   :)

Legenda Pohon Enau

00.22

 
 Legenda Pohon Enau
(Cerita Rakyat dari Tanah Karo)
| Posted and Renew by: P. Sandra D. |
 
 
Tumbuhan enau atau aren adalah tumbuhan yang dapat menghasilkan banyak hal. Hal ini membuatnya populer sebagai tanaman serba-guna setelah tumbuhan kelapa. Salah satu hasil yang terkenal dari pohon adalah tuak (nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi masyarakat Batak di Sumatera Utara.
 
Dalam tradisi orang Batak, tuak juga dipergunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu (seperti menanam tanaman) dan manulangi (menyulangi). Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu yang telah meninggal dunia. Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. 
 
Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kasih sayang si Beru kepada abangnya yang bernama Tare Iluh. Hingga suatu waktu si Tare Iluh dipasung oleh penduduk suatu negri. Beru Sibou ingin menolong abngnya, tapi bagaimana caranya?
 
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Anaknya yang pertama seorang laki-laki yang diberi nama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan yang diberi nama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
 
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istrilah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari harus bekerja keras, akhirnya wanita itu pun jatuh sakit dan meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya si Beru yang masih kecil akhirnya menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibiknya, adik perempuan dari ayah mereka.
 
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Tare Iluh sudah mulai berpikir secara dewasa. Dan ia memutuskan untuk pergi merantau mencari uang dengan hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
 
“Adikku, Beru!” demikian Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, bang?!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibik. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat kamu?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibik. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemanimu dan bibik di sini.” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, bang! Tapi, abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil!” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.
 
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibik dan adiknya, Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa seperti kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukan abangnya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu saat pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
 
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga adiknya Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Berhari-hari Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyeberangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, Beru Sibou bertemu dengan seorang kakek tua.
 
“Selamat sore, kek!” tanya Beru.
“Sore, cucuku! Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang. Apakah kakek tahu di mana negeri itu?”
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya.”
 
Setelah menyampaikan sarannya, sang kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskan abangnya.
 
Sudah berjam-jam Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
 
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dengan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku untuk dimanfaatkan bagi kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
 
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Air matanya menjelma menjadi nira (tuak) yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
 
Suatu hari, jelmaan Beru Sibou bertemu dengan seseorang, dan ia menceritakan tentang abangnya Tare Iluh yang dipasung dan pengorbanannya, agar abangnya dilepaskan. Ternyata orang itu adalah penduduk dari negri tempat abangnya dipasung. Setelah orang itu bercerita kepada semua penduduk di negrinya, akhirnya Tare Illuh dibebaskan.
 
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo masih meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu menyanyikan lagu enau setiap kali mereka ingin menyadap nira.
 
Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antaranya adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta mengetahui akibat buruk dari suka bermain judi. Sifat tenggang rasa ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi nilai tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Puisi "Terluka.."

00.19


Menyendiri di kamar
Duduk dan menangis di sudutnya
Mengingat dirimu yang telah pergi
Meninggalkanku tanpa sebab.

Aku berjalan dan terus berjalan
Tanpa kau, dia, ataupun mereka
Melawan rasa lelah dan jenuh
Namun aku tak kuasa melakukannya

Bagaikan petir di siang hari
Yang menyambar hatiku
Disaat dia datang membawa kabar
Yang mampu membuat jiwaku mati seketika

Kau tak mengerti apa yg kurasakan
Kau tak tau
Dan tak kan pernah tau
Mengapa ada air di pelupuk mata

Aku terdiam
Tak ada yg bisa aku perbuat
Selain menangis
Dan mengingat semua yang pernah trjadi

Hidupku hampa,
Hatiku sakit
Batinku mati
Itulah yang ku rasakan

Jangan tanyakan mengapa dan ke mana aku akan melangkah
Jangan halangi jalanku lagi
Tak perlu kau mengusap kesedihan ini
Karna itu akan menyakitinya

Pergilah kau sayang bersama dia
Bahagiakan di sisimu
Jaga cintamu padanya
Aku rela meninggalkanmu



Oleh: Melda Sri Bulan

Judul : P. Sandra D.  (judul sementara).

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images