Cerpen "Mata Abu-abu"

02.20



Mata Abu-abu
                                                                                                                                                     
Nama anak laki-laki itu, Bianka. Setiap pagi ia selalu berdiri sejenak di depan pintu gerbang sekolah. Menatapi setiap anak dari kumpulan komunitas putih abu-abu. Setiap anak yang memiliki titik hitam di atas kepalanya. Mata kelabunya menerawang, menerobos masuk pada sebuah gambaran. Kematian. Ah! Kasihan mereka.
“Selamat jalan.” Ucap Bianka pelan kepada setiap putih abu-abu yang memiliki setitik hitam di atas kepalanya.
Nama Bianka sangat populer di sekolah itu. Beberapa menganggapnya sangat spesial. Beberapa menganggapnya paranoid. Beberapa lagi menganggapnya anak kutukan, karena mata kelabunya yang terlihat mati. Wajahnya dingin seperti matanya. Tanpa ekspresi, tanpa jiwa.
Popularitasnya dimulai ketika itu. 16 Mei 2010. Bianka sedang duduk di kantin dengan Gilang, sohibnya, bersama anak laki-laki lain yang sepantaran dengannya. Kepala sekolah baru saja lewat tak jauh di depan mereka.
“Sebaiknya kalian menyiapkan bunga duka untuk kepala sekolah. Besok. Jam 2 siang.” ucap Bianka dengan bibir tertarik membentuk senyum aneh yang menakutkan.
“Gila apa, lu! Siang bolong gini, bicara lu horor gitu!” seru Gilang menganggap perkataan Bianka hanya sepintas lelucon.
“Mata lu unik, ya! Gue pingin punya mata kayak lu!” cetus seorang di antara mereka.
“Gue sebaliknya.” ucap Bianka, dingin.

Menggemparkan. Menakutkan. Mereka yang siang itu berada bersama dengan Bianka, begidik saat Bianka lewat di depan mereka. 17 Mei, jam 2 siang. Berita duka sekaligus isu mengerikan beredar dengan cepat di setiap pelosok kelas. Kepala sekolah baru saja meninggal. Dibunuh. Mulai saat itu, Bianka memperoleh banyak julukan. Sang Penglihat. Paranormal. Malaikat Maut. Pembawa sial. Kematian.

*   *   *

Kisah, anak laki-laki bernama Bianka.
Anak laki-laki itu meringkuk di sudut kamarnya. Suara tangis pilu berbumbu duka menerobos pintu kamarnya. Aromanya perih menusuk mata. Memekik di telinga. Rasa-rasanya baru tadi pagi ia bersenda gurau dengan ibu. Sampai ketika matanya melihat sesuatu muncul di atas kepala ibu. Setitik hitam. Ia melihati titik itu. Udara seakan berkurang. Menyesakkan. Ia melihat gambaran. Rancangan maut.
Ah! Itu hanya ilusi mata yang diciptakan oleh otak. Mungkin ini efek samping begadang nonton bola semalaman. Sampai akhirnya berita kematian ibu sampai di telinga Bianka. Kecelakaan maut yang terjadi di jalan raya merengut kehidupan ibunya. De javu. Ia melihat tragedi itu sebelum tragedi naas itu terjadi.
Ia masih meringkuk di sudut ruangan itu. Menyalahkan diri atas kejadian itu. Tubuhnya mati rasa. Kakinya lemas untuk beranjak dari sana. Ia tak mampu keluar dari kamar itu dan menyaksikan tubuh ibu yang terbaring di dalam peti peristirahatan terakhir.

*   *   *

Bianka membenci dongeng dan mitos. Ia selalu menolak didongengi oleh nenek dan kakek. Baginya dongeng adalah racun yang dapat merusak otak dan mental. Karbondioksida yang meracuni tubuh. Menjadikan anak seorang penghayal. Baginya, mitos hanyalah sebuah kumpulan kisah dan cerita yang ditambahi bumbu-bumbu kebohongan untuk memperenak rasanya. Fiksi. Non-fakta. Non-realita.
Tapi, dongeng dan mitos seperti nutrisi tambahan dalam hidup. Kenyataannya, realita kehidupan kerap kali dikelilingi dengan bebauan fiksi.
Malam itu, untuk pertama kalinya Bianka meminta ayah mendongeng. Ia sedikit menyesal dengan dakwaannya terhadap dongeng dan mitos. Saat ini ia malah tenggelam dan terbenan dalam kisah non-realita, Sungai Banyuwangi.
Matanya mulai sayu. Dongeng ayah membuainya untuk tidur. Untuk pertama kali ia merasakan kecup hangat ayah di dahinya. Ayah menjauh dari tepi ranjang. Ah! Apa itu?! Setitik hitam. Persetan! Saat ini Bianka hanya ingin tertidur. Melebur dengan kisah Sungai Banyuwangi dalam rajutan mimpi. Samar-samar terlihat tarikan kecil di sudut bibir ayah. Sebuah senyuman. Dan pintu ditutup.

*   *   *

Tak menangis. Tak histeris. Tak juga bergeming. Bianka hanya berdiri terpaku memandang sesosok tubuh membiru tergantung di langit-langit kamar mandi. Ayah sudah lelah. Ia memilih untuk mengistirahatkan diri selamanya. Pensiun dari segala hal yang menyangkut kehidupan.
Bianka menoleh pada cermin di sana. Manik mata cokelat itu kini berubah menjadi abu-abu. Hawa mengerikan meruak keluar dari manik mata itu. Ruangan serasa menyempit. Suplai udara berkurang. Mata Bianka terpejam. Jatuh. Tidak sadarkan diri.
Kenyataan diungkap. Ia kini seorang diri, ditemani mata aneh itu. Mata yang menjadi saksi bahwa kematian dapat dilihat.

*   *   *

Kematian.
Anak itu berlari. Menabrak bahu Bianka tanpa menoleh. Hanya terus berlari. Mata Bianka mengikuti lesat lari anak laki-laki itu. Seorang anak yang dibalut dalam jahitan putih abu-abu. Sama dengannya. Dari arah yang sama, Bianka melihat Gilang berlari dan segera merangkul bahunya. Ia terengah-engah.
“Lu memang sohib gue yang paling setia! Gue terharu banget! Meskipun lu aneh, tapi hanya lu yang niat benget nungguin gue tiap pagi di depan gerbang!”
“Tinggi banget PD lu!” ucap Bianka dengan senyum setengah.
“Ayo!”
Selalu. Setiap pagi. Setiap hari. Banyak pasang mata yang melempari Bianka dengan tatapan aneh plus najis. Beberapa dari mereka membentuk kerumunan, merangkai obrolan terbaru dan terhangat yang lengkap dengan fitnah sebagai penyedap rasanya. Bianka objek topiknya. Ia sudah membiasakan diri dengan hal itu. Tak lagi terusik. Tak lagi peduli.
Hati. Jiwa. Perasaan. Simpati dan empati. Semuanya sudah lama mati dari diri Bianka. Anugrah mengerikan itu menenggelamkan jiwanya dalam samudra terdalam dan tergelap. Kematian, memang adalah nama yang tepat untuk menggambarkan dirinya.
Tak sekali pun Bianka pernah merasa iba melihat mereka yang ditemani si titik hitam.  Ah, sudah biasa! Lagipula, itu adalah takdir mereka. Bianka tidak mau ikut campur dengan urusan kematian. Menjauhkan diri dari gambaran pahlawan siang bolong yang menghadang maut mengeksekusi manusia. Paling-paling ia hanya tersenyum. Senyum manis yang mengerikan. Mengucapkan kata perpisahan. Tak lama, orang itu akan terhapus dari daftar absen kehidupan.

*   *   *

Tidur panjang.
Aneh. Untuk kedua kalinya orang itu menubruk Bianka. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Bianka sampai terhempas. Seperti sebelumnya, orang itu tidak menoleh. Ia melesat bagai tiupan angin. Menghilang di tikungan pertigaan. Bianka mengumpat. Ingin sekali ia mengejar orang itu. Menyemburkan amukan protes. Tapi, sudahlah. Hanya tinggal menunggu waktu, sampai akhirnya si titik hitam muncul di atas kepala orang itu. Ajal.
Bianka menapaki tepi jalan. Selalu memandang ke bawah. Tidak mau melihat jejalan manusia yang hilir lalu di sana. Menghindari si titik hitam. Entah kenapa terlintas pertanyaan aneh di kepalanya; apakah si titik hitam juga akan muncul di atas kepalanya. Kapan. Seperti apa dewa maut merajut ajalnya.
Lelah. Bianka muak dan ingin melepaskan diri dari kungkungan mata mengerikan itu. Berapa banyak design kematian yang ia lihat dengan mata itu, tidak terhitung.

*   *   *

Suatu malam, Bianka duduk di pojok sebuah angkuta umum. Memandangi kerlip lampu hias jalanan. Terhanyut di dalamnya. Indah. Membawanya pada memori masa silam. Ia duduk manis di bangku tengah kendaraan roda empat ayah. Ayah dan ibu menyanyikan senandung lagu klasik, favorit mereka berdua.
Angkuta itu berhenti di perempatan ketika lampu merah menyala. Hey! Anak laki-laki putih abu-abu. Berjalan menunduk. Terlihat hampa dan kosong. Bianka tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Apa itu?! Mengapa si titik hitam melayang di atas kepalanya. Rancangan maut. Kasihan. Cepat sekali. Sebentar lagi.
Tergugah. Bianka ingin melihat wajah anak itu. Mengucapkan salam perkenalan sekaligus perpisahan. Ia keluar dari angkuta. Mengikuti jejak anak laki-laki itu dengan langkah cepat. Aneh. Apakah anak itu tahu, Bianka mengikutinya. Mengapa ia mempercepat langkahnya. Membuat Bianka tertinggal jauh di belakang.
“Hei! Tunggu!” Teriak Bianka memanggil anak laki-laki itu. Tidak ada respon. Anak itu terus berjalan ke depan tanpa menoleh. Siapa anak itu. Bianka ingin segera mendapatkannya. Melihat wajahnya. Memeluknya sejenak.
Ah, tidak lama lagi.
Si hijau menyala. Sesuatu datang dengan cepat. Hantaman besar terjadi. Tubuh Bianka terhempas ke bahu jalan. Darah merah segar mengalir. Tak lama orang-orang berkerumun di sekitar Bianka. Suara-suara ngeri dan histeris menggema.
Sebentar lagi..
Si putih abu-abu menoleh. Bianka mencoba melihat wajah itu. Berbayang-bayang. Terlihat samar-samar. Jelas, sekilas. Anak itu tersenyum. Senyumnya manis. Bianka mencoba mengenalinya. Tidak asing. Ya, tidak asing. Bianka.
Bibirnya bergerak. Mengucapkan sesuatu.
“Selamat tidur panjang, Bianka.”.



Oleh    : Puspita Sandra Dewi

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images