CERPAN "The End"

06.31


  THE END

Story 01

Ini adalah kisah cintaku, setahun yang lalu. Meski sudah berlalu cukup lama, tapi kenangan manis bersamanya tak akan pernah bisa kulupakan.
Waktu itu aku adalah seorang gadis yang sedang memasuki tahap usia remaja dewasa. Aku duduk di bangku SMA tepatnya kelas 1-SMA.
Masa yang sangat menyenangkan buatku, karena sifat anak-anak masih bercampur dengan usia remajaku.
Seperti yang biasa dilakukan siswa baru, aku berkenalan dengan semua teman-teman di kelasku. Dan dari sinilah kisahku bermula. Aku berkenalan dengan seorang anak cowok, teman sekelasku, namanya Rinchard. “Aneh?” pikirku saat itu ketika aku merasakan jantungku berdegub kencang, merasa kikuk dan kaku saat berjabat tangan dengannya. Tapi aku tak paham apa maksud dari debaranku saat itu dan aku tidak terlalu menghiraukannya.
Hari demi hari pun kulalui, aku semakin dekat dengan teman-teman sekelasku, tapi tidak demikin halnya dengan Rinchard. Aku jarang berkomunikasi dengan Rinchard. Karena Rinchard sendiri pun bisa dibilang seorang yang pendiam, dia hanya bicara pada teman-teman dekatnya saja.
Minggu berlalu dan bulan pun berganti. Tapi belum sampai setengah semester, aku melihat perubahan dalam diri Rinchard, dia sering merenung sendirian, terkadang kelihatan sedih, dan seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Aneh..” pikirku lagi, ketika entah kenapa aku mulai khawatir padanya. Hingga munculah perasaan dalam hatiku yang membuatku ingin mendekatinya, memahaminya, dan menyelami pikirannya.
Akhirnya aku mulai menyadari, ternyata kata “aneh..” itu menunjukkan kalau aku sedang menaruh hati padanya. Kucoba untuk mencari informasi tentangnya pada teman dekatku Carla.
“Carla, apa kamu merasa, kalau akhir-akhir ini  Rinchard.. kelihatan agak aneh?”
“Maksud kamu?”
“Belakangan ini dia sangat pendiam, tidak semangat.. ya, seperti itulah!?”
“Hmm.. Aku juga merasa begitu. Tapi dia terlalu pasif, pendiam, dan sepertinya tertutup. Jadi aku kurang tahu soal dia?!”
“Begitu, ya?”

Esok paginya, ketika akan memasuki pelajaran pertama aku tak melihat Rinchard di kelas. Dan aku segera menanyakannya pada teman sebangkuku yang kebetulan sekretaris kelas kami.
“Via, sepertinya hari ini Rinchard tidak masuk, apa ada kabar darinya?”
“He-e?!” Via mengangguk. “Tadi pagi orangtua Rinchard memberikan surat ini padaku?!” ucapnya sambil menunjukkan sebuah amplop surat. “Isinya kalau tidak salah, hari ini Rinchard tidak bisa hadir karena dia sedang sakit?”
“Sakit?..”
Saat aku mendengar kalau Rinchard sedang sakit, tiba-tiba jantungku berdegub kencang. Aku ingin tahu dia sakit apa, ingin tahu apa sakitnya parah, juga takut kalau-kalau terjadi apa-apa padanya. 
Seminggu telah berlalu, tapi aku tak juga melihat Rinchard. Sampai keesokan paginya ketika aku sampai di kelas, aku melihat Rinchard  duduk di bangku kelas sudut bagian belakang. Aku melihatnya sedang menundukkan kepala, kelihatan pucat, bingung, dan tampak sedih. Tapi aku bisa sedikit lebih tenang, karena aku melihatnya masih dalam keadaan baik-baik saja.
Saat itu kebetulan baru kami berdua yang ada di kelas, teman-teman yang lainnya belum datang. Mungkin karena ini masih terlalu pagi. Aku mencoba memberanikan diri mendekati dan menyapanya.
“Pagi Rinchard?”
Seketika itu juga Rinchard menoleh padaku.
“Oh, Jeslyn? Selamat pagi juga. Hmm.. maaf, bisa tidak jangan memanggilku Rinchard? Panggil dengan namaku yang lainnya saja, Alex, Kilien, Chard, atau yang lain sejenisnya? Aku tidak terlalu suka dipanggil dengan nama Rinchard.”
“Lho? Kenapa? Menurutku nama kamu bagus.”
“Memang bagus. Tapi tiga kata di depannya membuatku terkadang geli mendengarnya.”
“Maksud kamu, ‘Rin’?”
“Hahaha!! Iya! Terdengar seperti memanggil nama perempuan, ‘kan?!”
(Hehe! Dia tidak seperti yang terlihat selama ini... Dia cukup ramah..)” ucap Jeslyn dalam hatinya. “Oh iya Rin! Ehh, maksudku Alex..”
“Tak apa.” potong Rinchard seraya tersenyum.
“Ehmm.. Oh, bagaimana kalau kamu kupanggil Richard saja? Keren ‘kan?”
“Ehm.. Ok?! Kedengarannya nggak buruk?!”
“Richard? Apa kamu sedang ada masalah?” tanyaku dengan gugup.
“Maksud kamu?”
“Ehm.. Begini, biasanya kalau seseorang sedang ada masalah, bisa langsung terbaca di wajah mereka. Kurang semangat dan lebih banyak diam, dan mungkin yang lainnya..”
“Hm.. aku pikir aku baik-baik saja, kok?!” jawabnya dengan nada meyakinkan.
“Ok..” Jeslyn diam sejenak. “Oh iya? Seminggu ini aku nggak melihat kamu di kelas, kudengar dari Via, kamu sakit.”
“Iya..”
“Memangnya kamu sakit apa?”
Sejenak ia diam, tak menjawab pertanyaanku. Tapi kemudian raut wajahnya berubah menjadi sedih, dan sesaat kemudian air mata mulai menetes membasahi pipinya.
“Lho? Kenapa kamu nangis? Apa ada yang salah dengan kata-kataku?”
“Tidak.. sebenarnya aku..” ucapnya terbata-bata. “Aku bingung, aku takut! Beban ini terlalu berat untuk kujalani, Jes.”
“(..Richard?) Tak apa, ceritalah.. Kalau ini rahasia, aku janji tidak akan cerita pada siapa pun bahkan pada diaryku. Biasanya, menceritakan masalah kita, dapat mengurangi sedikit sesak yang menggumpal dalam hati kita. Dan biasanya, seseorang akan merasa sedikit lebih tenang, jika ia sudah menceritakan masalahnya.”
Sambil meneteskan air mata, Rinchard mulai menceritakan masalahnya padaku.
“Sebenarnya saat itu aku tidak datang.. itu karena aku sedang dirawat di rumah sakit. Hari itu setelah pulang dari sekolah dan tiba di rumah, lagi-lagi perutku terasa sangat sakit, tapi saat itu sakitnya benar-benar menusuk, aku tidak tahan menahankan sakitnya. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi, tapi saat bangun, aku sudah ada di sebuah ruangan di rumah sakit. Dan tak sengaja aku mendengar pembicaraan dokter dengan kedua orangtuaku di luar ruangan.
 Aku dengar, dokter mengatakan, kalau aku terserang kanker liver dan sudah sangat parah. Sebenarnya aku masih bisa diobati kalau saja aku berobat jauh-jauh hari sebelumnya. Tapi aku tidak pernah mau cerita pada orangtuaku. Aku takut mereka khawatir. Dan dokter memvonis, kalau aku tidak akan bertahan lebih lama lagi..
 Kenapa?..” Rinchard mulai menangis ter-isak.
“Kenapa, harus aku yang menerima ini?! Aku tak pernah tahu kalau akan jadi begini akhirnya. Aku sama sekali tidak tahu apa pun soal sakitku. Aku pikir ini hanya sakit perut biasa. Tapi satu hal yang sudah pasti aku tahu, hidupku tidak lama lagi..
 Kalau boleh aku berharap, aku tidak mau menjalani hidupku seperti ini..”
“Richard..”
“Kenapa Tuhan tidak adil padaku?! Kesalahan apa yang sudah aku lakukan, sampai aku harus menerima ini!!
 Jeslyn, aku takut!? Sangat takut?! Aku takut mati..” kalimat terakhir terdengar lebih pelan.
Aku diam, dan saat itu juga jantungku berdegub kencang, bulu tanganku berdiri. Kalimat terakhirnya terdengar sangat menakutkan. Begitu horor..
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Ditambah lagi, aku tidak sanggup melihatnya menangis. “Kasihan..” pikirku, padahal dia masih sangat muda, tapi harus menjalani cobaan yang berat. Kalau sekarang aku berdiri di posisinya, aku mungkin hanya akan menangisi hidupku, menyesal kenapa aku harus hidup kalau tahu aku hanya akan menjalani kehidupan yang seperti ini. Di saat remaja seusia kami yang lainnya menikmati masa remaja mereka, dia malah harus menjalani sisa-sisa kehidupan yang diberikan padanya.
“Richard, jangan menangis.. Menangis tidak akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Kamu harus percaya, Tuhan sangat sayang sama kamu. Dia pasti punya rencana yang indah di balik ini semua. Kamu tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan, kamu harus kuat! Dan kamu tidak boleh mengatakan kalau Tuhan itu tidak adil.”
“Aku harap aku bisa melihat di mana letak keadilanNya padaku saat ini..”
“Suatu saat nanti kamu pasti bisa melihatnya..”
“.. Terima kasih.. kamu sudah mau mendengar. Tapi tolong rahasiakan ini, ya?”
“Pasti?! Aku janji, bahkan aku juga akan merahasiakannya dari diaryku?!”
“Hehehe! Tidak harus segitunya, kok?!”
Kukeluarkan sehelai tisu dan menghapus air matanya. Kemudian ia berkata..
“ .. Jeslyn aku tahu hal ini tidak pantas kuminta..
 Tapi boleh aku memelukmu.., karena biasanya kalau aku sangat sedih, aku pasti memeluk ibuku.. Bisa tidak kamu berpura-pura jadi ibu saat ini.. sekali ini saja..”
“…” Aku diam dan bingung.
“Tapi kalau kamu keberatan, tidak apa-apa, kok? Aku juga tidak bermasuk memaksa?! Dan sumpah, aku juga tidak bermaksud yang tidak-tidak. Aku bukan laki-laki yang seperti itu. Hanya saja terkadang aku memang terlalu kekanak-kanakan..”
(Rinchard..)
Aku segera meneluknya, sekejap ocehannya berhenti. Ia agak sedikit terkejut, tapi kemudian ia membalas pelukanku. Sesaat dadaku terasa sesak, sepertinya aku bisa merasakan apa yang dirasakannya. Dia berusaha keras menahan tangisnya di balik punggungku.

 Beberapa hari kemudian setelah Rinchard menceritakan masalahnya padaku, ia terlihat semangat kembali. Saat aku melihatnya tersenyum, aku juga ikut tersenyum. Aku sangat senang tiap kali melihat senyuman manis di wajahnya.


*           *           *


 
Story 02

Tak terasa, ujian semester pertama pun dimulai. Aku, Rinchard, dan teman-teman yang lainnya sedang menjalani ujian. Sering aku melihat Rinchard kelihatan pucat, dan aku sangat cemas tiap kali melihatnya memegang bagian perutnya.
Hehe!.. Rinchard juga sering mendapatiku sedang memperhatikannya, dan ia membalasnya dengan senyuman manis.
Aku akui, Rinchard memang bisa dikatagorikan anak cowok yang manis dan juga cool. Dan sejujurnya, aku memang sudah jatuh hati padanya. Tapi aku enggan mengatakannya. Pernah terlintas sesuatu dalam pikiranku, ‘Aku tidak boleh suka padanya. Bagaimana jika suatu hari nanti dia pergi untuk selamanya. Aku hanya akan menjadi hati yang hancur dan kesepian.’
Tapi akhirnya aku membuang pikiranku itu. Aku merasa terlalu egois kalau harus membunuh perasaanku, hanya kerena ia tak bisa hidup lama sepertiku dan takut kalau suatu waktu nanti dia akan pergi meninggalkan aku. Jadi aku putuskan untuk terus menyukainya, meski mungkin dia tidak menaruh hati padaku. Tapi pikirku ‘itu tak masalah’. Bisa mencurahkan perasaanku sebagai seorang teman yang baik untuknya saja sudah cukup untukku.

Seminggu lebih kami menjalani ujian semester pertama. Seperti biasa, setelah ujian semester belum ada libur. Tapi kami wajib datang ke sekolah, meski guru-guru tidak mengajar.
Siang itu, Rinchard bersama teman-temannya sedang bermain basket di lapangan. Aku memperhatikannya dari atas bersama dengan temanku yang lainnya, ia kelihatan sangat keren sewaktu memasukkan bola ke ring.
Tak lama, akhirnya aku merasa bosan. Aku kembali ke kelas dan di kelas hanya ada aku seorang. Teman-temanku yang lainnya beramai-ramai ke kantin. Saat itu suasana di luar kelasku begitu ramai, tapi entah kenapa aku tidak merasakan keraian itu. Mungkin karena aku tidak suka dengan banyak suara, jadi aku memilih untuk tidak menghiraukan suara-suara itu Aku duduk di bangkuku, meletakkan kepalaku di atas lipatan kedua tangaku di atas meja, lalu kupenjam mataku.
Tapi kemudian terdengar satu suara yang memanggilku. Suara yang tidak bisa kuacuhkan. Suara yang begitu akrab di telingaku.
“Jeslyn?!”
Segera aku melihat ke pintu, ke arah datangnya suara itu. Sesaat aku terkejut, tapi kemudian aku tersenyum pada Rinchard.
Kenapa kamu sendirian di sini? Kenapa gak ikut sama yang lainnya ke kantin?”
“Hemm, malas.. aku lebih suka sendirian begini?” jawabku gugup, sambil melihat wajahnya yang kelihatan agak pucat.
“Kenapa kamu suka sendirian? Ehm.., kamu suka suasana yang tenang, ya?”
“Iya, aku suka sekali suasana yang tenang. Oh iya? Kamu nggak main basket lagi?”
“Tadi aku sedikit pusing. Tapi sepertinya sudah baikkan. Nih, aku mau main lagi?! Kalau gitu aku pergi dulu, ya?!” ucapnya dengan samangat meski sepertinya ia kelihatan tidak begitu baik.
Kemudian Rinchard mulai berjalan menuju keluar. Tapi, tiba-tiba saja ia berhenti, ia mulai memegang perutnya. Segera ia mendekati bangku terdekat, dan duduk di sana. Kepalanya tenggelam dalam lipatan tangan kirinya, sedang tangan kanannya memegang bagian perutnya.
Aku segera berlari menghampirinya dan duduk di sampingnya. Aku meletakkan tangan kananku di atas bahu kanannya dan merangkul bahu kirinya dengan tangan kiriku.
“Richard!! Kamu kenapa?” tanyaku  cemas.
“Eh..” Rinchard sama sekali tak mengatakan apa-apa, ia hanya menunduk dan memegang bagian perutnya.
Tiba-tiba air mataku mengalir begitu saja. Aku sangat takut kehilangan dia. Lalu ia menoleh kepadaku dengan wajah yang seputih kapas.
“Jeslyn..? Tolong.. jangan menangis..?”
“Bertahanlah Richard !! Aku akan memanggil bantuan?”
Sebelum aku sempat berdiri, ia sudah tak sadarkan diri. Aku panik, tapi segera aku memanggil bantuan dan Rinchard segera dilarikan ke rumah sakit.

Tiga hari hampir berlalu, aku sangat gelisah, karena Rinchard belum juga hadir di kelas, padahal aku sangat ingin bertemu dengannya.
Keesokan paginya, seperti biasa aku selalu datang lebih pagi dan lebih awal dari temanku yang lainnya, karena aku suka sekali suasana pagi yang tenang. Aku mulai berjalan memasuki ruangan kelas, berharap hari ini bisa melihat Rinchard di kelas.
Saat aku akan memasuki kelas..
“Jeslyn??”
Seperti yang kuharapkan, aku melihat Rinchard hari ini. Dan dengan sangat cepat ia berdiri dari bangkunya, dan berjalan..
“Richard kamu sudah kembali!! Aku sangat..?
Belum lagi aku selesai bicara, Rinchard sudah mendekapku.
“.. Senang bisa melihat kamu..”
“.. Aku takut.. Jeslyn aku sangat takut, aku tidak suka ada di rumah sakit. Aku takut saat aku tidur, aku tidak akan bangun dari tidurku. Aku takut tidak bisa melihatmu lagi!?”
Rinchard masih memelukku, sampai kemudian aku merasakan tetesan air matanya yang membasahi lengan bajuku.
“Richard.. jangan menangis. Tangisanmu rasanya begitu menyayat hati..”
“Maaf, tapi aku tidak bisa menahan air mataku.. Aku takut.. sangat takut Jeslyn? Begitu takut untuk menjalani hari-hari terakhirku..”
Kemudian Rinchard melepaskan aku dari pelukannya, sejenak aku diam. Kutatap wajahnya yang bisa memancarkan kesedihan dan ketakutannya dengan jelas. Entah kenapa aku mulai berkata yang tidak-tidak dalam hatiku. Seperti memberontak..
“Ya Tuhan, kenapa beban seberat ini harus Kau berikan pada Richard. Dia masih sangat muda. Tidak bisakah Kau biarkan dia hidup lebih lama, setidaknya agar dia bisa menikmati masa remajanya dengan teman-temannya. Bapa, kenapa tidak Kau berikan saja penyakit ini pada orang-orang yang berhati dengki dan kepada para penjahat yang berperi kebinatangan di negeri ini?! Kenapa harus pada Richard..”
Kuambil sehelai tisu dari saku rokku, kemudian menghapus air matanya. Lalu mengajaknya duduk.
“Richard, sudahlah jangan menangis terus?”
“Aku sangat cengeng, ya? Padahal aku laki-laki, tapi cengeng setengah mati..
 Tapi, bukannya aku memang sudah setengah mati?..”
“Bukan?! Bukan itu maksudku?! Andaikata aku di posisi kamu, mungkin aku pun akan sama seperti kamu, menangis dan menangis. Dan mungkin aku akan terus mengurung diri di kamarku, menghindar dari teman-teman dan orang yang dekat denganku, memberontak pada Tuhan, menyesali kenapa aku harus hidup kalau harus menjalani kehidupan yang seperti ini, dan mungkin aku akan mempercepat proses kematianku.
 Tapi.. kalau boleh jujur, aku sangat kagum sama kamu.. Kamu cukup berani untuk menjalaninya meski sejujurnya kamu sangat takut. Kamu tidak terlalu memberontak sama Tuhan, dan tidak melakukan hal-hal yang gila. Banyak orang, saat dia tahu kalau hidupnya tidak akan lama lagi, dia benar-benar menikatinya hari-hari terakhirnya tapi dengan cara yang salah. Tapi kamu berbeda, sangat berbeda..”
“Tapi.. beberapa hari yang lalu, akhirnya pikiranku terbuka.. Aku menyerah pada buku kehidupan yang ada di tangan Tuhan, tapi bukan berarti aku merasa kalah. Aku akan tetap menikmati masa remajaku meski tak akan lama.. Sebenarnya tak mudah untuk menjalaninya tanpa ari mata. Air mataku ini menadakan kalau aku hanya manusia biasa, yang punya rasa takut dengan kata “mati”.
.. Aku berpikir, mungkin ini semua sudah menjadi jalan kehidupanku. Inilah novel kisah kehidupanku yang sudah diselesaikan Tuhan setiap babnya. Sekarang Ia sedang membacanya ulang untuk memberi sedikit pengeditan, dan mungkin sekarang ia sedang membaca bab-bab terakhir dari novelNya. Dan bab itulah yang sedang kujalani saat ini. Dan aku hanya bisa menanti kata The End dari novelNya.”
(Kata-katanya dewasa sekali.. Aku yakin dia pasti kuat! Hehe! Dan sepertinya harus kuakui, aku benar-benar suka padanya..)” pikirku.
“Dan satu lagi, awalnya aku juga tak sebaik yang kamu pikirkan, Jes? Sejujurnya beberapa hari yang lalu aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Tapi, ada sesuatu yang menahan.. Tepatnya ada seseorang yang membuatku tak mampu melakukannya..”
Benarkah?! Boleh aku tahu siapa orangnya?” tanyaku benar-benar ingin tahu, meski nantinya aku tahu orang itu bukan aku.
“Dia sudah ada di depanku..” ucapnya seraya menatapku dengan senyum lembut. Bagai disambar, sekejab itu juga jantungku berdetak tak karuan, aku hampir tak percaya dengan ucapannya, tapi aku senang mendengarnya. Begitu cepat, sampai-sampai aku tak bisa menghindar dari ciuman hangatnya yang mendarat di dahiku.
Dengan sedikit gugup dan malu, juga terlihat kikuk, aku memandangnya. Tapi segera aku melangkah keluar dari ruangan kelasku. Aku senyam-semyum seperti orang setengah tidak waras. Ketika sudah jauh dari kelasku, aku bertemu dengan Leon. Dia adalah sahabatku yang paling baik dan paling manis.
“Leon?!” ucapku menyapanya, masih tersenyum-senyum.
“Jeslyn, kenapa kamu senyam-senyum begitu?!”
“Ahh?! Tidak apa-apa, kok?!”
“Masa?! Aku nggak percaya?!”
“Benar?! Tidak ada apa-apa?!”
“Baiklah?.. Jeslyn, bisa kita bicara?” ucap Leon dengan nada sedikit serius.
“Ya?! Mau bicara apa!?”
“Jeslyn, sebenarnya aku sudah lama sekali memendam perasaan ini. Jeslyn apa kamu sayang samaku?”
“Iya, aku sangat sayang sama kamu?”
“Ohh yaa?? Apa kamu juga menyukai aku?”
“Hmm..” aku tersenyum. “Tentu saja?!” lanjutku.
“Kalau begitu apa kamu mau jadi pacarku?”
Sekejab itu juga aku terdiam, bingung, karena Leon salah mengartikan maksud dari kata-kataku.
“Kenapa kamu diam?”
“Leon? Maaf sbelumnya.. tapi sepertinya kamu salah mengerti maksudku. Aku memang sayang sama kamu, tapi hanya sebagai sahabat, dan karena aku sudah menganggap kamu seperti kakakku sendiri?”
“Jadi kamu tidak memiliki perasaan itu padaku?”
“Aku sangat minta maaf Leon, bukan maksudku mau menyakiti kamu. Tapi aku tidak memiliki perasaan seperti yang kamu rasakan. Sekali lagi aku minta maaf, Leon? Aku benar-benar tidak bermaksud menyakiti perasaan kamu..”
“Hmm, ya sudahlah?! Tidak apa-apa?! Aku nggak akan dan nggak akan mungkin memaksa kamu untuk menyukai aku juga. Karena aku sama sekali tidak memiliki hak untuk itu?”
“Aku benar-benar minta maaf, Leon?” ucapku dengan nada merasa bersalah.
“Hei, jangan begitu?! Aku tidak akan marah, kok?! Tidak apa-apa, ok?!”
“Aku sangat mengagumi sahabat seperti kamu?! Kamu benar-benar bisa memahami seseorang. Aku juga suka dengan sikap kamu yang selalu berpikir lebih dewasa. Meski terkadang dari luar kamu terlihat kasar dan keras tapi sebenarnya kamu punya hati yang lembut. Sejujurnya, aku merasa sangat beruntung bisa punya sahabat seperti kamu?”
“Jangan terlalu memujiku. Rasanya telingaku sudah memanjang!?  Aku tidak sebaik itu juga, kok?!
 Tapi kalau boleh aku tahu, apa ada seseorang yang kamu suka?”
“.. Ada.”
“Ohh yaa?! Siapa? Apa aku mengenalnya?!”
“Mungkin kamu kenal. Dia teman sekelasku, namanya Rinchard.” ucapku dengan senyum kecil.
“Rinchard, ya? Hmm..” dia mencoba mengingat. “Oh dia?! Ya, aku kenal dengannya.”
“Sepertinya, bukan hanya suka, tapi aku juga menyayanginya?”
“Aku yakin, cepat atau lambat dia pasti akan mengungkapkan perasaannya sama kamu!?”
“Kenapa kamu bicara seyakin itu?”
“Ya iyalah!? Habiss, mana ada cowok yang nggak tertarik sama gadis semanis dan selembut kamu? Sangat perhatian, penyabar, dan sangat keibuan?!”
“Hahaha! Aku tidak sebaik itu, kok!? Tapi, terimakasih atas pujiannya, ya?!” ucapku sambil tersenyum.
“Iya?!”
“Leon aku pergi dulu ya, mau ke kantor?”
“Ok?!”
“(Jeslyn.. Sangat manis, seperti namanya. Tapi sayang, gadis manis ini menutup pintu kecil di hatinya untukku… Tapi aku sangat yakin, suatu saat nanti, pintu kecil itu akan terbuka untukku..)” pikirnya.


*           *           *

 

Story 03

Saat Leon akan berjalan menuju kelasnya, Rinchard berjalan keluar dari ruangan kelas. Tapi tiba-tiba saja, langkahnya menjadi sempoyongan. Karena merasa heran, Leon berhenti berjalan, ia bingung melihat Rinchard yang sempoyongan sambil menunjukkan expresi wajah yang kesakitan.
Rinchard berjalan semakin mendekati Leon, tapi Leon hanya diam tak bergerak, ia tak begitu menanggapinya, tapi ia menunggu. Hingga akhirnya Rinchard menabrak tubuh Leon, tapi Leon masih diam dan tenang, tak ada respon terkejut darinya.
“Eh.. Maaf..” ucap Rinchard dengan kesadaran yang tak lagi penuh.
Rinchard masih berdiri di depan Leon, memandang wajah leon yang tampak samar-samar. Ia bingung akan berjalan ke mana.
Akhirnya Rinchard kehilangan keseimbangan, ia akan roboh. Untung Leon segera menahan tubuh Rinchard, dan meletakkan tangan kiri Rinchard di atas bahunya. Ia membantu Rinchard berjalan ke kelasnya dan membantunya duduk di bangku.
Sambil menunggu Rinchard berhenti merintih, Leon hanya duduk diam dan menunggu. Bisa dibilang, Leon tipe cowok yang dingin dan tenang, ia juga seorang yang sedikit misterius dan ia bisa membaca pikiran seseorang, meski terkadang tak seratus persen benar.
Sesaat kemudian, Rinchard agak tenang, rasa sakitnya mulai hilang.
“Bagaimana, apa kau sudah merasa cukup baik?” tanya Leon dengan ketus.
“Ya..” jawab Rinchard singkat  dengan nada yang lemah.
“Rinchard, kutunggu kau sepulang sekolah di taman belakang sekolah. Kalau kau tidak datang, kuhajar kau besok!!”
“Ya, nanti aku ke sana..”
Leon segera meninggalkan ruangan kelas dengan menyembunyikan kepalan tangannya. Agaknya dia merasa kesal.

Akhirnya sekolah pun usai, seperti janji Rinchard, Rinchard menemui Leon di taman belakang sekolah dan Leon sudah menuggu di bangku taman. Rinchard menghampirinya, kemudian duduk di samping Leon.
“Leon..  terima kasih ya, kau sudah menolongku tadi?”
“Hehh!! Kau tak perlu berterima kasih dulu!! ucap Leon sinis. “Itu sama sekali nggak penting buatku! Asal kau tahu saja, ya!? Sebenarnya tadi aku ingin membiarkanmu tergeletak di situ atau pura-pura tidak melihat?! Kalau saja bukan karena Jeslyn menyukaimu, mungkin aku sudah menghajarmu!? Meski kau sudah hampir mati sekalipun!” ucap Leon dengan dingin.
“Jadi kenapa tidak kau lakukan?”
“Aku kasihan, melihat orang lemah sepertimu!?”
“Kalau memang kau keberatan menolongku, kenapa tidak meminta pada orang lain saja? Atau seperti yang kau katakan tadi, tinggalkan saja aku di sana. Jadi kau tak perlu repot-repot.”
“Kau ini bodoh, ya? Aku tahu, kau tidak mau membuat orang lain mencemaskanmu. Dan aku juga tahu, tadi kau mau bersembunyi di tempat sepi ‘kan? Agar kau bisa mati dengan tenang, tanpa harus melihat orang lain menangisimu?!”
“Ya, tidak salah lagi?..”
“Hehh?!.. Pikiranmu sangat mudah terbaca. Tapi ada alasan lain kenapa aku ingin kau ke sini. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan?!”
“Apa?”
“Tapi, jangan pernah kau berpikir untuk berbohong, karena aku bisa membaca pikiranmu.”
“He-‘m..” Rinchard mengangguk.
“Kau sakit apa?”
Rinchard terdiam, ia bingung akan menjawabnya.
“Jawab?!”
“.. Kerusakan hati.. sangat parah..”
“Berapa lama lagi kau akan hidup?!” tanya Leon mulai geram.
“… Tak lama lagi. Hanya dalam hitungan bulan dan beberapa minggu..”
“Begitu, ya? Aku mau tanya.. kau tidak menyukai Jeslyn ‘kan?!”
“.. Kalau boleh jujur.. Aku sangat menyayanginya..”
Leon tak bisa menahan kegeramannya lebih lama lagi. Ia benci pada Rinchard yang dianggapnya sangat egois. Akhirnya ia melepaskan kegeramannya. Ditariknya kera baju Rinchard, lalu mendaratkan tinjunya di pipi kanan Rinchard.
“Berani sekali orang yang sudah mau mati sepertimu menyukai Jeslyn?!!”
Leon berdiri, mengangkat kera baju Rinchard, mendorongnya, sampai punggung Rinchard menghantam tembok pembatas taman. Rinchard terduduk, ia merasa tubuhnya begitu lemah, dan tiba-tiba sakitnya kembali terasa. Wajahnya memucat, ia menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangan kanannya yang terpangku di atas lipatan kaki kanannya. Tangan kirinya mengepal di atas perutnya.. mencoba menahankan sakit yang ia rasakan.
Leon menghampirinya, ia berjongkok.
“Angkat kepalamu?!!”
“Eh..” Rinchard merintih. “Bisa.. tunggu sebentar?”
Leon diam, sesaat ia merasa takut, merasa bersalah, merasa kasihan, tapi juga masih merasa kesal terhadap Rinchard.
“.. Rinchard? Kau kenapa? Apa sakit lagi?!” nada suara Leon melunak.
“H.. sakit..” ucap Rinchard hampir tak terdengar.
“Tunggu! Aku akan memanggil bantuan?!”
Saat akan beranjak, Rinchard menarik tangan kanan Leon. Rinchard mengangkat kepalanya dan menghadapkan pandanganya pada Leon.
“Eh.. Jangan.. Duduklah..”
Leon menurut, ia duduk di depan Rinchard.
“Satu hal.. bisa jangan panggil aku Rinchard? Cukup Richard saja. Tiga kata di depan namaku itu terdengar seperti nama perempuan..” ucapnya dengan senyum tak utuh.
“Kau masih bisa bercanda di saat-saat begini?”
“Hehe..”
Rinchard kembali menenggelamkan kepalanya. Rasa sakitnya belum juga berkurang, dan sialnya dia lupa membawa pil-pilnya yang hampir mirip dengan pil ekstasi itu.
Leon mengangkat kepalanya, memandangi gumpalan awan-awan putih yang bergerak perlahan di langit biru.
“Sebenarnya aku benci kau menyukai Jeslyn. Tapi aku juga kagum pada keberanianmu menghadapi semua ini. Kau tahu.. sebenarnya sudah lama aku menyukai Jeslyn. Dulunya aku dan dia hanya sahabat, danaku tak pernah berpikir akan menyukainya. Entah sejak kapan aku jatuh hati padanya.
 Tapi yang sangat aku suka darinya adalah sisi keibuan yang ada padanya. Dia begitu pandai merawat orang sakit, bahkan dulu supaya Jeslyn datang ke rumahku untuk merawatku, aku sengaja hujan-hujanan dan tidak makan seharian, supaya aku bisa dirawatnya. Dia juga seorang pendengar yang baik, aku sering datang padanya dan memuntahkan semua masalahku. Dia selalu menyemangatiku saat aku gagal dalam melakukan sesuatu, atau saat aku putus asa. Dia juga membantuku mencari jalan keluar tiap kali aku menggangap hanya jalan buntu yang aku temui.. Satu nasihat darinya yang selalu aku ingat, “Jalan buntu itu seperti tembok besar yang mengahalangimu. Hanya ada dua cara untuk melaluinya.. berbalik arah atau melompati tembok itu dengan siap menghadapi resiko yang ada di baliknya.”” ucap Leon masih memandangi langit.
Rinchard sudah merasa sedikit lebih baik, rasa sakitnya sudah berkurang. Diangkatnya kepalanya.
..Mungkin kau berpikir kalau aku ini orang yang tak berperasaan, ya? Dan mungkin kau juga mau mengatakan, apa aku ini tidak tahu betapa sedihnya Jeslyn jika suatu waktu nanti aku akan meningal. Kau salah kalau berpikir seperti itu, dan kau juga salah kalau kau mengira aku ini orang yang kuat. Sejujurnya, beberapa hari yang lalu aku berniat mau bunuh diri. Tapi aku tidak berani melakukannya, bukan berarti aku masih takut mati, tidak.. aku sudah sama sekali tidak peduli dengan kematian. Buatku kematian adalah kewajiban yang harus kujalani dan hidup adalah hak yang kuterima. Aku tidak melakukannya, karena aku ingin meninggalkan suatu kenangan yang manis pada Jeslyn. Menitipkan kenangan tentang diriku padanya.
 Aku ingin membuatnya merasa bahagia bersamaku, meski hanya beberasa saat saja.”
“.. Maafkan sikapku tadi, ya?
 Tak kusangka, kau tidak seperti laki-laki yang ada dibayanganku sebelumnya..”
“Tak masalah. Aku juga minta maaf, karena sudah berani menyukai cinta pertamu.”
“Dari mana kau tahu Jeslyn cinta pertamaku?”
“Baru saja kau mengakuinya.
 Hanya cinta pertama yang mampu bertahan cukup lama di hati seseorang. Cinta pertama mempunyai kesan yang berbeda. Biasanya orang yang mengalami cinta pertama akan berkata ‘aku akan setia menantinya’. Dan itulah yang bisa kutangkap dari perkataan-perkataanmu tadi, meski tak kau ucapkan, tapi tersirat dari kalimatmu.”
“Apa kau sudah merasa cukup baik?”
“Lumayan..”
Sejenak suasana sepi, meraka saling diam. Kemudian..
“Apa Jeslyn tahu tentang penyakitmu?” Leon memecah keheningan.
“He-‘m, dia sudah tahu..”
“Kau janji akan membuatnya bahagia sebelum kau pergi ‘kan?”
“Janji..”
“Ingat!? Kalau sampai kau tak menepati janji, akan kukejar kau sampai ke neraka?!”
“Kau tak perlu khawatir, aku pasti akan membuat Jeslyn bahagia. Aku pasti bisa membuatnya melepas kepergianku dengan ikhlas.
 Dan satu lagi, kau tak perlu repot-repot mengejarku sampai ke neraka. Buang-buang waktu kau mencariku di sana, karena aku yakin, tempatku pasti di surga.” ucap Rinchard sambil tersenyum.
“Ck! Dasar kau!? Ya sudah, apa kau bisa berdiri? Ayo kita pulang?”
Leon berdiri.
“Bisa tolong bantu berdiri orang yang sudah mau mati ini?” ucap Rinchard mengulurkan tangan kanannya.
Segera Leon menarik tangan kanan Rinchard.
“Terimakasih.. Oh iya, ternyata pukulanmu cukup mengerikan, ya? Selain membuat memar di pipi dan di bibirku yang seksi ini, ternyata juga bisa membuat penyakitku kambu. Sepertinya aku harus waspada dengan kedua tanganmu itu?!” ucap Rinchard sambil memijat pelan sisi pinggir bibir sebelah kanannya.
“Aku ‘kan sudah minta maaf?!” ucap Leon dengan sedikit berteriak.
“Iya?! Aku tahu? Kau tidak perlu harus berteriak ‘kan?”
“.. Apa perlu kau kubantu berjalan sampai ke depan gerbang?”
Rinchard tersenyum geli. Ia berpikir, ternyata Leon tak sekeras yang dibayangkannya, laki-laki yang satu ini memiliki sisi lembut dalam dirinya. Dan lagi ia juga sudah membayangkan bagaimana kalau Leon memapahnya berjalan sampai keluar gerbang, bisa-bisa mereka dianggap pasangan ... ya, seperti itulah.
“Hmm.. tidak. Terima kasih.” Rinchard tersenyum.
Mereka meninggalkan taman itu, dan pulang dengan rute perjalan yang berbeda.

 
*           *           *


Story 04

Esok paginya. Di sekolah, di lantai tiga tempat ruangan kelas mereka, Rinchard sedang berdiri di pinggir dinding pembatas sambil memandangi ke bawah. Tiba-tiba saja Leon datang mengejutkannya.
“Heyy?!” ucap Leon setengah berteriak sambil menepuk pundak Rinchard.
“Hahh!!! Kau ini?!”
“Pagi-pagi begini, kau melamunin apa? Yang jorok-jorok, ya?!”
“Hahh..” Rinchard menghela nafas, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ck! Maaf?! Kau ini tidak bisa diajak bercanda, ya?”
“Hehh.. bukannya tidak bisa diajak bercanda. Tapi candaanmu itu cocoknya untuk waktu tengah malam, tahu?! Pagi-pagi mana seru melamunin yang jorok-jorok?! Ha! Ha! Ha! Ha!” Rinchard tertawa.
“Ha! Ha! Ha! Ha! Ternyata kau cukup gila juga, ya?!!”
Akhirnya aku tiba di lantai tiga, dan aku merasa cukup heran dengan kedua teman baikku itu. Kenapa mereka bisa sedekat itu, padahal mereka berbeda ruangan, saling menegur saja jarang, apalagi berkomunikasi.
Aku segera menghampiri mereka.
“Richard?  Leon?? Kenapa kalian kelihatan dekat sekali?”
“Kami baru saja jadian semalam?!” jawab Leon sambil merangkul bahu Rinchard.
“Jadian? MAKSUDNYA?!” ucapku sambil mengerutkan alis dalam-dalam.
“Jeslyn, sebaiknya kamu tidak usah mendengarkan ucapannya?!
 Semalam tak sengaja kami bertemu di kafe, dan dari sanalah kami mulai dekat. Ternyata dia cukup asik diajak ngobrol.” jawab Rinchard sambil tersenyum dan menunjukkan wajah yang meyakinkan.
 “Ohh, begitu, ya?! Leon memang asik diajak ngobrol. Dia juga sahabatku yang paling baik. Tapi memang terkadang dia sedikit tidak waras!? Hihihi!” aku tersenyum geli.
“He-‘m?! Aku setuju dengan kamu?!”
 Oh iya, Jeslyn?!, pulang sekolang nanti, kamu ada waktu tidak?” tanya Rinchard sedikit gugup.
“Ehm.. Ada sih?! Memangnya kenapa?”
“Bisa kita bicara di taman belakang, nanti?”
“Ehm.. bisa?! Tapi nanti aku agak telat sepuluh menit, soalnya ada rapat OSIS? Gimana?”
“Nggak apa-apa, kok?! Aku tunggu kamu?”
Ok, kalau gitu aku ke kantor dulu, ya?”
“Iya?! Jawab Leon dan Rinchard hampir bersamaan.
Aku pergi ke ruangan kelasku, meletakkan tasku, kemudian pergi ke kantor untuk mengambil peralatan kelas. Aku tak tahu apa yang dibicarkan kedua sahabatku itu setelahnya.
“Apa yang ingin kau bicarakan dengan Jeslyn, nanti?”
“Aku yakin kau sudah tahu.”
“.. Semoga sukses, ya?”
“Apa kau tulus mengatakan itu?”
“Bodoh?!” ucap Leon sambil mendorong pelan bahu Rinchard.
“Aduh?!” Rinchard menyentuh bahu kanannya yang didorong Leon. “Bisa tidak, jangan membunuhku sekarang?”
“Aku mendorongmu pelan, kok?!”
“Aku rasa tanganmu itu punya sentuhan ajaib?! Soalnya sentuhan tanganmu itu terasa sakit meski kau menyentuhnya pelan!?”
“Apa tanganku sehebat itu, ya?” Leon menatap kedua telapak tangannya dengan wajah serius.
“.. Kau percaya, ya?! HA! HA! HA! HA!”
“Hahhh!! Kau memang bajingan kecil!!”

Tak terasa, bunyi yang dinanti-nantikan setiap siswa akhirnya berbunyi, yaitu lonceng pulang. Leon pergi pulang duluan, sedangkan Rinchard menungguku di taman belakang sekolah, seperti janji kami tadi pagi. Sementara aku sedang mengikuti rapat OSIS.
Tiga puluh menit yang membosankan di ruangan rapat OSIS pun selesai. Aku tak menyangka kalau rapatnya akan selama itu. Aku berjalan secepat mungkin, tak sabar ingin menemui Rinchard. Tak lama aku tiba di depan gerbang taman, dari kejauhan aku melihat Rinchard yang sedang duduk menungguku di bangku taman di bawah sebuah pohon besar. Ia tersenyum padaku, dan aku membalas senyumannya.
Sesaat kemudian aku sudah duduk di samping Rinchard.
“Maaf aku telat?! Soalnya banyak yang harus dibicarakan!?”
“Tidak apa-apa, kok?!”
Tapi kemudian kami diam. Rinchard memandangi langit biru. Dan aku sangat menikmati keindahan dan ketenangan di taman itu. Di sekelilingku aku melihat bentangan rumput hijau yang luas, yang dihiasi dengan bunga-bunga yang indah. Kupandang ke atas terlihat langit biru yang bersih disinari cahaya matahari yang cerah, angin sejuk yang bertiup lembut meniup helaian rambutku dan sekujur tubuhku dengan sejuk. Aku merasa sangat nyaman di sana.
Sesaat kemudian Rinchard memecah keheningan.
“Di sini nyaman ‘kan?”
“He-‘m?..” ucapku menganggukkan kepala.
“..Jeslyn?”
“He’m!?” aku menatapnya.
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan kamu?”
“.. Apa?”
“.. Sebenarnya aku.. aku suka kamu..“
“…”
Aku diam. Gugup, tapi senang dengan pernyataan Rinchard.
“Jeslyn.. apa kamu menyukai aku?”
“…” Aku masih terdiam.
“.. Tidak apa-apa kok, kalau kamu tidak suka.. Tidak masalah. Aku tidak akan memaksa..”
“Tidak? Tidak?! Bukan itu.. Sebenarnya, aku juga suka kamu..”
“Kamu yakin, kamu suka samaku? Bukan karena kasihan ‘kan?” ucap Rinchard mengerutkan dahinya.
“Tidak.. aku benar-benar suka sama kamu?”
“… Kalau begitu, bersediakah kamu menjadi kekasihku?” ucap Rinchard sambil menunjukkan bunga mawar putih yang sedari tadi disembunyikannya di balik punggungnya.
“Hem?” aku tersenyum.. sangat senang. “Kamu mengatakannya terlalu formal?! Tapi.. aku bersedia?!” ucapku dengan senyum paling manis.
“Benar?!”
“He-‘m?!” aku menganggukkan kepala.
“Terima kasih?! Boleh aku peluk kamu?!”
Aku mengangguk, dan segera Rinchard memelukku erat. Aku membalas pelukannya. Terasa dadanya yang hangat, dan aroma farfumnya yang khas. Aku begitu nyaman bersamanya.

*           *           *

 
Story 05

Keesokan paginya saat aku tiba di lantai tiga, aku bertemu dengan Leon yang sedang berdiri di pinggir dinding pembatas.
“Pagi Jeslyn!?” Leon menyapaku.
“Leon?!” ucapku sambil berjalan cepat menuju Leon, kemudian memeluknya.
“Sepertinya kamu bahagia sekali hari ini?!”
“Bahkan sangat bahagia?!” ucapku sambil melepaskan pelukanku.
“Ayo cerita?! Kenapa kamu sampai seceria ini?!”
“Semalam aku dan Richard sudah jalan?!”
“Kalau begitu selamat ya? Richard pasti akan menjadi kekasih yang baik buat kamu, aku sudah merasakannya semalam?!”
“Merasakan apa?!” alisku berkerut.
“Apa lagi, kalau bukan ciumannya?! Dia pintar sekali berciuman?!”
Seketika itu juga seseorang yang menjitak kepala Leon dari belakang.
“Kau ini!? Ini masih pagi, tahu?! Jeslyn, sebaiknya kamu jangan terlalu mendengar perkataan sahabatmu yang rada tidak waras ini?!”
“Hihihihi!” aku tertawa geli melihat sikap mereka berdua. “Ya sudah?! Aku permisi dulu, ya? Ada tugas yang harus kukerjakan di kantor OSIS!?”
Ok?!” jawab Leon.
Kemudian aku meninggalkan mereka di sana.
“Kau ini?! Pagi-pagi pikiranmu sudah porno?!”
“Hehehe! Kau sudah mencium Jeslyn, belum?!”
“Bodoh!? Kau pikir aku segila itu?! Mana aku berani selancang itu!?”
“Kalau begitu, berikan ciuman pertamanmu untuk Jeslyn, padaku?!”
“Uweekk?!” Rinchard mengeluarkan lidahnya dengan mimik yang jijik.
“Ha! Ha! Ha! Ha! Aku bercanda!!??”
Rinchard meninggalkan Leon sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dan Leon mengikuti Rinchard dari belakang.

Tidak terasa, ujian semester dua sudah selesai. Liburan sekolah pun tiba. Lima bulan lebih aku sudah jalan dengan Rinchard.
Dia sangat perhatian, sangat lembut. Ia tahu kalau aku sedang ada masalah. Dalam satu minggu, ada saja kejutan yang diberikan Rinchard untukku. Ia sering membawaku ke tempat-tempat yang indah, tempat yang sejuk, tenang, dan nyaman. Pokoknya tempat dan suasana yang aku sukai. Aku benar-benar bahagia memiliki seseorang seperti Rinchard.
Satu hal lagi, Rinchard begitu pandai membuatku terhanyut dalam setiap kejutannya. Ia bisa membuatku lupa pada penyakitnya. Setiap kali aku menanyakan keadaannya, dia selalu menjawab “Jangan khawatir?” dengan memasang senyum yang manis dan wajah yang meyakinkan.

Sabtu pagi itu, Rinchard lagi-lagi mengajakku ke sebuah tempat yang begitu indah. Sebuah sungai kecil yang ada di pinggiran sebuah hutan. Cahaya matahari pagi yang menembus pepohonann dan menyinari sungai, membuat suasana pagi sangat indah dan membuat hatiku terasa begitu tenang. Sampai akhirnya Rinchard mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
“Jeslyn, berikan tangan kiri kamu?”
“Ada apa?” tanyaku sambil memberikan tangan kiriku.
Kemudian Rinchard menyematkan sebuah cincin kecil yang manis di jari manisku.
“Richard, kamu tak perlu repot-repot memberikan cincin ini untukku?” ucapku, meski di sisi lain aku sangat senang menerimanya.
“Cincin adalah lambang pengikat. Cincin diberikan untuk seseorang yang memang sangat berarti bagi kita. Dan aku memberikan cincin ini, karena kamu adalah seseorang yang sangat berarti bagiku..
 Bisa tolong kamu pejamkan matamu?”
Segera kupejamkan mataku, tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Dan kemudian aku merasakan sentuhan bibir Rinchard yang mendarat dengan lembut di bibirku. Hanya sesaat, tapi begitu hangat, dan sangat berarti. Kemudian ia memelukku.
“Jeslyn, kamu sudah tahu kalau aku tidak akan hidup lebih lama lagi ‘kan? … Karena itulah, aku selalu berusaha memberikan kejutan untuk kamu. Aku ingin kamu mengenang kenangan manis bersamaku.” ucapnya seraya melepas pelukannya dariku.
“Kamu tahu, tidak ada satu pun jiwa di dunia ini yang ingin dilupakan saat mereka tiada nanti. Dan hanya orang bodoh dan tak berperasaan yang berusaha melupakan semua kenangan tentang seseorang, untuk melenyapkan kesedihannya dan rasa kehilangannya.
  Jangan pernah lupakan aku.. meski aku tahu suatu saat nanti akan ada seseorang yang menggantikan posisiku. Tapi sisakanlah satu ruang kecil di hatimu untukku..” lanjutnya.
Ucapannya begitu menyayat hatiku, sangat perih. Saat itu juga, tiba-tiba aku merasa sangat takut kehilangan dirinya. Meski aku tahu, aku tidak punya hak untuk memiliki hidupnya.
“Aku berjanji.. tidak akan melupakan kamu..” ucapku seraya mendekapnya kembali, sangat erat.
Tak terasa hari menjelang sore. Rinchard mengantarku pulang ke rumah.

Hampir tiga hari aku tidak mendengar kabar Rinchard. Ia tidak mengunjungiku ke rumah, juga tidak meneleponku.
Ternyata pagi dihari ketiga itu, Rinchard kembali ke tempat terakhir kami bertemu. Ia merenung sendirian di pinggiran sungai itu.
Saat ia tengah tenggelam dalam suasana indah di tepi sungai itu, tiba-tiba penyakitnya kambu lagi. Ia memegang bagian perutnya, merintih kesakitan. Ia tak bisa bergerak, sangat sakit, begitu menusuk. Lalu ia merasa seperti mual, ditutupnya mulutnya dengan tangan kanannya, tapi ia tak mampu menahan darah yang mengalir keluar dari mulutnya. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi mengeluarkan suara pun dia tidak bisa. Seketika itu juga ia merasa sangat takut, karena dia belum siap untuk mati sekarang. Tapi apa daya, ia hanya bisa pasrah dan berharap akan ada yang melihatnya di sana dan menolongnya. Ia tak mampu lagi untuk tetap terjaga, dan akhirnya ia roboh.
Saat itu entah kenapa dan bagaimana, Leon tak sengaja sedang melukis tak jauh dari tempat itu. Dan tak sengaja Leon melihat seseorang yang sepertinya sedang tiduran di tepi sungai. Tapi ia juga merasa aneh, akhirnya ia mendekati orang tersebut dengan langkah yang cepat.
Saat ia tiba, betapa terkejutnya dia mendapati Rinchard tak sadarkan diri dengan darah yang bersebaran di mulut dan di tangan kanannya.
“RICHARD?!!” Leon segera mengangkat bahu Rinchard. Tanpa pikir panjang, Leon segera menggendong Rincard di punggungnya dan membawa Rinchard ke mobilnya. Dengan cepat Leon melaju ke rumah sakit terdekat, dan setibanya di sana, Rinchard segera di bawa ke UGD.
Leon menunggu di luar ruangan. Ia mondar-mandir cukup lama di depan pintu ruangan, sampai akhirnya dokter keluar dari ruangan Rinchard.
“Dokter?! Bagaimana keadaan teman saya?!”
“Maaf, teman kamu tak bisa bertahan lebih lama lagi. Kami sudah melakukan semampu kami. Tapi sepertinya, penyakitnya sudah sangat parah.”
Segera Leon masuk ke ruangan Rinchard. Ia duduk di samping ranjang Rinchard. Ia menungu cukup lama. Akhirnya hari menjelang sore, dan Rinchard sadar dari pingsannya.
“Leon?” ucap Rinchard dengan nada yang lemah.
“Richard?!”
“Kenapa wajahmu sedih sekali?”
“Richard.. kata dokter kau..” Leon tak mampu menyambung kalimatnya.
“Hei? Sudahlah, kau tak perlu sedih begitu. Aku saja yang menjalaninya tak kelihatan sedih sepertimu. Dokter itu pasti mengatakan kalau aku tak bisa bertahan lebih lama lagi ‘kan?”
“Richard, kenapa kau bisa sampai sekuat ini menghadapi masalah yang sebenarnya sangat berat untuk dijalani. Kau tahu, kurasa kalau sekarang ini aku ada di posisimu, aku akan menangis setiap hari.. karena aku takut menjalani hari-hariku menuju kematian..”
“Jeslyn.. Jeslyn yang membuatku sekuat ini.. dia yang menjadi semangatku.. Melihat senyumannya yang manis, rasanya satu hari bagiku sudah sama seperti satu minggu.”
.. Richard.. Terima kasih, kau sudah menepati janjimu, untuk membuat Jeslyn bahagia?”
“Bodoh! Kau pikir aku melakukannya untukmu? Aku melakukannya karena memang aku mencintai Jeslyn dengan sepenuh hatiku..”
“Aku tahu..”
“Leon.. aku tahu waktuku akan tiba..”
“Kau jangan terlalu banyak bicara, bodoh?!”
“.. Sebenarnya aku iri padamu. Kau sangat sehat, beda denganku.. Aku hanya jiwa yang berdiam dalam raga yang akan menemui ajalnya.
 Aku iri, karena aku tidak punya waktu lebih lama sepertimu untuk menemani Jeslyn..
 Karena itu.. aku titipkan cinta yang ada dalam jiwaku pada ragamu. Kau yang akan menggantikan aku untuk menjaga, mencintai, dan menyayangi Jeslyn.
 Mungkin itu permintaan terakhirku.. bisa tolong kau kabulkan?”
“.. Pasti sobat?! Aku berjanji?!”
“.. Terima kasih.. Leon, bisa tolong kau bawa aku keluar dari rumah sakit ini? Aku bosan dengan rumah sakit. Rumah sakit membuatku merasa kalau aku benar-benar sudah mau mati.. Bisa tolong kau antar aku ke rumah Jeslyn?”
“Tentu?! Aku akan membawamu pada Jeslyn?”
“Terima kasih..”


*           *           *


Story Ending

Leon membawa Rinchard keluar dari rumah sakit dan membantunya berjalan ke mobil. Keadaan Rinchard semakin melemah. Dua puluh menit di perjalanan, akhirnya Rinchard dan Leon tiba di rumahku.
Sebelum mengetuk pintu, Leon menatap Rinchard. Sesaat kemudian matanya berkaca-kaca dan segera dipeluknya erat sahabatnya itu.
(..Selamat jalan sobat.. Aku tidak akan pernah melupakanmu..)” ucap Leon dalam hatinya.
Rinchard membalas pelukan Leon seraya menepuk punggungnya. Kemudian Leon melepas pelukannya.
“Senang bisa bersahabat denganmu, Richard?”
“Aku juga sangat beruntung bisa bertemu dan memiliki sahabat sepertimu?” ucapnya dengan senyum.
“Sekarang, selesaikan tugasmu sebagai seorang lelaki dan seorang kekasih, kawan?!”
“He-‘m?” Rinchard mengganguk pelan.
Kemudian Leon mengetuk pintu.
“Jeslyn?! Jeslyn?!” ucap Leon setengah berteriak dari luar.
Aku segera berlari menuju pintu rumah, dan membukan pintu.
“Oh? Kalian berdua, ya? Ayo masuk? Kebetulan sekali, orangtuaku sedang di luar kota?! Aku bosan sendirian di rumah?!”
Rinchard berusaha menunjukkan tidak terjadi apa pun.
“Jeslyn? Bisa kita bicara di luar saja? Aku rasa malam ini akan ada banyak bintang?! Pasti seru kalau kita bicara-bicara sambil memandangi bintang.”
“Ehm? Ok?!” ucapku tanpa merasa curiga sedikit pun.
“Aku menunggu di dalam saja, ya? Ada acara televisi yang tidak boleh kulewatkan?!” ucap Leon dengan senyum kaku. Dipandangnya untuk terakhir kali sahabatnya itu, kemudian masuk ke dalam rumah.
“Ayo kita duduk di situ?” ucapku sambil menggandeng tangan Rinchard menuju bangku yang ada di taman sederhana di samping rumahku.
“Tumben kamu dan Leon main ke rumahku? Ada apa?!”
“Ah tidak? Tadi di jalan tak sengaja aku bertemu dengan Leon, katanya dia mau main ke rumah kamu, ya sudah aku ikut saja?” ucap Rinchard dengan wajah yang kelihatan sangat pucat.
Tiba-tiba saja Rinchard meletakkan kepalanya di bahuku. Kemudian dia memandang ke atas langit. Di sana tampak satu bintang yang cahayanya cukup terang.
“Kamu bisa lihat bintang yang ada di atas sana?”
“Iya?” jawabku saat melihat ke langit. “Dia sendirian.. tanpa bulan.. dan tanpa bintang yang lainnya..”
“Salah.. dia tidak sendirian. Itu karena dia adalah bintang yang cukup besar dibandingkan bintang yang lainnya, dan dia bintang yang paling dekat dengan bumi, jadi dia muncul lebih dahulu dari pada bintang yang lainnya. Sebentar lagi akan ada bulan dan berjuta bintang yang akan menemaninya di sana.. Hanya tinggal menunggu waktu saja..
 Kamu tahu.. saat ini aku seperti bintang itu..”
Detik itu juga, darah seakan naik turun di tubuhku. Bulu di belakang leherku dan di sekujur tanganku berdiri. Aku merinding bukan karena angin yang terasa dingin, tapi karena aku merasa ada jiwa yang tak lagi utuh dalam raga seseorang. Dan aku harus siap untuk mengantar jiwa itu pergi.
Air mataku mengalir. Aku tahu Rinchard akan pergi.. untuk selamanya.
“Lihat.. Bulan sudah mulai muncul di sana, dan sekarang bintang yang sendirian itu berada tepat di sampingnya. Sebentar lagi pasti akan muncul bintang-bintang yang lainnya..”
Aku tak mampu berkata apa pun. Hanya sedih, sedih, dan sangat sedih. Tapi aku harus kuat.
“Jeslyn.. kamu tidak akan melupakan janjimu ‘kan?”
“Tidak.. Aku berjanji..”
Detik itu juga, kurangkul tubuh Rinchard yang terasa dingin. Aku ingin memeluknya sampai detik itu berhenti.
“Kamu ingat tidak? Kamu pernah berkata, kalau Tuhan pasti punya sebuah rencana yang indah di balik ini semua..?”
“Ia.. Aku ingat.. Sangat ingat..” ucapku dengan menahan isak tangisku. Aku tidak ingin Rinchard mendengar suara tangisku.
“Kamu tahu, Ternyata kamulah rencana indah yang sudah Tuhan hadiahkan untukku. Tak pernah terpikir olehku sebelumnya, kalau aku akan mendapatkan seorang kekasih yang baik sebelum aku mati. Tuhan memang adil, hanya saja kita selalu terlambat menyadarinya.
 Ia memberikan aku kesempatan untuk bertemu denganmu..
 Ia akan membawaku pergi, tapi Ia tidak membiarkanku merasa sendirian di akhir menuju perjalananku..
 Jeslyn.. terima kasih banyak..”
Ia melepas pelukannya sejenak. Menatap wajahku, menghapus air mataku, menyentuh lembut kedua sisi pipiku dan untuk terakhir kalinya ia memberikan ciuman lembut di bibirku. Kemudian kembali didekapnya tubuhku, segera kurangkulkan erat kedua tangaku di punggungnya.
Kudengar tarikan nafasnya yang panjang..
(Inilah akhirnya.. Aku sudah siap..)
“Pergilah kekasihku.. Pergilah dengan tenang..
 Cintaku abadi untukmu..” Tangisku mulai pecah.
“.. Aku mencintaimu, Jeslyn..”
Ia tersenyum manis di balik punggungku. Ia sangat puas dengan perjalan hidup yang telah dilaluinya. Kudengar bisikan kecil yang keluar dari mulutnya, samar-samar namun terdengar..
“The End..”
Selesai..


Setahun telah berlalu, setelah kepergian Rinchard. Kini Leon menjadi kekasihku, menepati janjinya pada Rinchard setahun yang lalu. Ia sahabat sekaligus kekasih yang baik.
Siang itu kami berdua berdiri di samping tempat peristirahatan terakhir Rinchard. Mengantarkan bunga untuk memperingati genapnya satu tahun ia menjadi penghuni alam surgawi.
Kupandang ke langit biru yang cerah, samar-samar tampak seberkas wajah dan senyuman kecil Rinchard yang dibentuk oleh awan-awan putih yang menggumpal di langit. Seperti mengisyaratkan suatu pesan yang hangat ..
“Tersenyumlah.. karena hanya senyumanmu yang mampu membuatku bahagia..”




The End




Kehidupan layaknya sebuah bintang yang muncul lebih dahulu di langit..
Kau, aku, atau mungkin orang lain yang kita kasihi akan pergi terlebih dahulu meninggalkan dunia ini..
Mereka seperti bintang itu, awalnya terlihat kesepian..
Tapi sebenarnya ia sedang menanti..
Menanti bintang lainnya yang akan menemaninya di langit..
Menanti sang bulan yang dicintainya..

-P. Sandra. D.


Hi teman-teman semua, terima kasih untuk kamu yang sudah membaca cerpanku ini, ya?
Aku minta maaf jika ada penulisan yang sedikit salah dari cerpan ini. Jika, kalian menemukan kesalahan, mohon beritahu aku ya? Oh iya, jangan segan-segan memberi komentar dan kritikan. Kalau ada pertanyaan, aku akan sangat senang menjawabnya.
Terima kasih sekali lagi.  ^_^

Don't copy, pleaseeeeeeeeee!  :)

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images